Saturday, May 29, 2010

Di Kupang, Nusatenggara Timur, tiap pagi saya membaca koran harian POS KUPANG. Sesekali membaca TIMOR EXPRESS alias TIMEX. POS KUPANG milik Kelompok Kompas Gramedia, sedangkan TIMEX milik Grup Jawa Pos.

Meski berada di bawah manajemen konglomerat media, penampilan kedua koran utama di NTT ini tidak menarik. Mirip koran-koran lawas tahun 1980-an, bahkan 1970-an, ketika teknologi komputer belum dikenal. Desainnya pas-pasan. Foto-foto tidak menarik. Tata letak payah.

Yang jadi masalah utama koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT, adalah kertas. Kertas sangat mahal dan harus dibeli di Jawa. Karena itu, kertas yang dipakai POS KUPANG dan TIMEX berkualitas rendahan. Dan itu akan sangat terlihat pada hasil akhir koran ketika berada di tangan pembaca. Foto-foto tidak bisa tajam.

Toh, kita orang masih bisa baca koran, bukan? Urusan penampilan, eye catching, belum masuk dalam kamus pengelola koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT. Yang penting, berita-beritanya.

Saya jadi teringat masa kecil ketika bapak saya masih berlangganan koran mingguan DIAN yang terbit di Ende, Flores. Tata letak, desain, mutu kertas... semuanya jelek, tapi orang-orang NTT sangat suka membaca si DIAN ini. Termasuk membaca berita kecil-kecil yang tidak signifikan, misalnya, perpisahan anak-anak SD di Ende atau Ruteng.

Khusus untuk urusan isi atawa konten, saya harus angkat topi untuk POS KUPANG dan TIMEX. Hampir semua beritanya, dari halaman pertama sampai terakhir, berita-berita lokal. Ini yang sulit saya temukan di Jawa yang koran-korannya sangat Jakarta-sentris. Apa-apa yang dari Jakarta dikasih porsi sangat besar oleh koran-koran di Jawa.

Media-media NTT beda. Mereka sejak dulu berani mengangkat isu lokal, bahkan sangat lokal, di halaman depan sampai akhir. Kecuali berita olahraga yang banyak diwarnai liputan sepak bola liga-liga Eropa dan persiapan Piala Dunia.

Maka, setiap hari saya menikmati isu politik tentang pemilihan bupati Flores Timur yang terkatung-katung. Simon Hayon bersama pasangannya, terkenal dengan paket Mondial, dijegal KPU Flores Timur karena berbagai alasan. Kemudian Victor Lerik, ketua DPRD Kota Kupang, yang ditahan karena kasus pidana mengancam akan mencekik seorang pengusaha. Ada lagi berita tentang Daniel Hurek, wakil wali kota Kupang, yang membayar pajak bumi dan bangunan.

Isu-isu nasional yang selama ini dianggap besar di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar di Jawa rupanya tak dapat tempat. Berita seputar Komjen Susno Duadji tidak ada. Anas Urbaningrum yang menang pemilihan ketua Partai Demokrat tidak dibahas. Kalau mau tahu isu-isu nasional macam itu, silakan menonton televisi yang memang sangat terang di Kupang. Jangan cari di POS KUPANG, TIMEX, atau FLORES POS!

Salahkah kebijakan redaksional koran-koran di NTT yang sangat fokus ke isu-isu lokal? TIDAK SALAH. Bahkan, seharusnya semua media berani mengedepankan berita-berita dan analisis tentang masalah di daerahnya masing-masing. Bukan malah ikut bergenit-genit ria dengan isu nasional yang sudah banyak dibahas di televisi kayak Metro TV dan TV One atau situs-situs berita macam www.detiknews.com atau www.okezone.com atau www.antara.co.id.

Teman-teman wartawan di NTT sudah lama dipuji kalangan pengamat media atau media watch karena liputan-liputannya yang nyaris 100 persen lokal. Semoga konsistensi media-media NTT ini tetap dijaga. Jangan mau tergoda oleh gaya liputan pers di Jawa yang sangat berkiblat ke Jakarta. Di Kupang, setelah membolak-balik 50-an edisi POS KUPANG, saya jarang menemukan berita kegiatan menteri, bahkan presiden sekalipun.

Isu Simon Hayon, Victor Lerik, kredit mobil anggota DPRD NTT jauh lebih menarik. Berita tentang persiapan turnamen sepak bola Piala El Tari, yang diikuti 21 kabupaten, juga jauh lebih disukai ketimbang pertandingan Liga Super Indonesia. Bisa jadi karena sejak dulu klub-klub NTT tak pernah berhasil menembus kompetisi sepak bola kelas nasional.

Bae sonde bae, Flobamora (NTT) lebe bae! Baik tidak baik, Flobamora lebih baik! Jargon khas NTT ini rupanya berlaku pula untuk media massa di NTT.
Posted by Lambertus Hurek at 9:29 PM

Sunday, April 11, 2010

MEMAKNAI 500 TAHUN TUAN MA

Oleh: Valery Kopong*

LARANTUKA sepertinya geger oleh perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma. Perayaan ini membawa sebuah titik terang perubahan dan pembaharuan iman. Iman mestinya ditumbuhkan dan dipelihara dari waktu ke waktu. Momentum “perayaan 500 tahun Tuan Ma” menjadi saat teduh untuk melihat kembali peristiwa masa lampau dan memperhadapkan dengan peristiwa masa kini. Perayaan 500 tahun Tuan Ma menjadi simpul iman yang memadukan seluruh peristiwa penting untuk dikemas menjadi sebuah kekuatan yang sangat berharga.
Perayaan ini sebetulnya dilaksanakan secara sederhana namun peristiwa besar ini tidak dibiarkan lewat begitu saja. Karena itu beberapa orang Flores Timur yang berada di luar Flores ingin agar perayaan ini dibuat dengan kemasan yang menarik. Menurut Ketua Panitia Peringatan 500 tahun Tuan Ma, Dr.Jan Riberu, tidak hanya perayaan ini yang difokuskan tetapi aksi yang tidak kalah pentingnya yaitu berbuat sesuatu sesudah perayaan tersebut. “Kita mau meningkatkan kemakmuran spiritual, moral dan jasmani di Keuskupan Larantuka,” tegas Riberu seperti yang dilansir oleh sebuah media cetak nasional.
Apa yang dikonsepkan oleh panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap masyarakat Flores Timur. Kehidupan masyarakat Flotim tidak hanya diberdayakan dari sisi iman tetapi juga kehidupan ekonomi secara keseluruhan. Itu berarti bahwa keselarasan hidup manusia bertumpuh pada dua aspek penting ini yaitu iman dan kehidupan ekonomi. Dua hal ini menjadi nyawa yang dapat mempertahakan denyut nadi perjalanan hidup masyarakat umumnya dan Flores Timur khususnya.
Apa yang diwacanakan ini dapat memberi spirit bagi masyarakat Flotim dan masukan berharga bagi para pejabat Gereja untuk menata kembali pola pendekatan dan pemberdayaan umat dari sisi ekonomi. “Iman itu mesti tumbuh di atas lahan yang subur.” Kehidupan iman umat katolik Flotim terkesan biasa-biasa saja berjalan bagai air yang mengalir. Demikian juga imam, mereka menjalankan pewartaan seperti biasa. Tetapi apakah sudah menjawabi kebutuhan hidup baik spiritual maupun ekonomi?
Panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, telah membuat konsep untuk bagaimana mengelola tanah kering menjadi lahan yang subur dengan membangun sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan. Basis konsep ini muncul tentunya memiliki landasan yang kuat, yakni mengarah pada lahan yang tandus dan kehidupan bahari masyarakat Flotim. Dua wilayah yang disoroti ini (pertanian lahan kering dan kelautan) masih sangat jauh dari sentuhan perhatian Keuskupan Larantuka.
Ketika mengikuti kegiatan live in di Kulon Progo, Yogyakarta, saya begitu terkesan dengan apa yang dilakukan oleh seorang pastor paroki. Setiap hari ia bekerja mengembangkan tambak udang lobster yang berada di sekitar pastoran. Apa yang dilakukan oleh pastor ini sangat jarang saya lihat terutama di Flores. Dia melakukan ini sebagai contoh sederhana untuk bagaimana membuka mata umat agar bisa mengembangkan tambak sebagai salah satu lahan yang mendatangkan nilai ekonomis.
Di sini, saya melihat bahwa apa yang dilakukan pastor merupakan sebuah terobosan dan sekaligus menawarkan jalan pada umat, bagaimana memberdayakan diri sendiri dengan usaha yang ada. Tambak yang dibuat di pastoran, hanyalah sebuah miniatur dan sebagai contoh ketika pastor itu sendiri berbicara tentang pemberdayaan ekonomi. Apa yang dikatakan pastor bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah nilai praksis ekonomis yang sanggup mengajak umat untuk bekerja menata kehidupannya sendiri.
Tawaran untuk membuka sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan pasti akan menelan biaya begitu besar dan mungkin juga hanyalah wacana. Tetapi langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengirim beberapa imam yang bekerja di Keuskupan Larantuka untuk belajar secara intensif tentang bagaimana bertani yang baik di lahan kering serta pemanfaatan sumber-sumber laut. Para imam terutama yang bekerja di Keuskupan Larantuka tidak perlu merasa hina kalau dikirim studi tentang pertanian lahan kering dan kelautan karena pada akhirnya dapat memberi kontribusi yang produktif pada masyarakat. Ketika imam yang menggeluti tentang pertanian lahan kering dan kelautan, ia (imam) menjadi sahabat dekat dan tempat yang paling baik bagi umat untuk menanyakan tentang persoalan ekonomi.

Memaknai perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma dalam terang iman, terbersit sebuah gagasan kepedulian dari orang-orang yang mau agar Keuskupan Larantuka perlu maju, baik dari sisi iman, moral maupun ekonomi. Devosi kepada Maria merupakan ungkapan ketakberdayaan umat dan menaruh harapan penuh pada belas kasihnya. Bunda Maria selalu peduli kepada siapa saja yang berani meminta kepadanya.
Ketika membaca kisah perkawinan di Kana, Maria berperan penting untuk menyelamatkan situasi tuan pesta yang mengalami kekurangan. “Mau apakah engkau dari Aku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuan Maria untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus dilakukan? Maria meminta Puteranya Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya Yesus sendiri terdesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-Nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.***