Sunday, October 27, 2013

AIR MATA KEBERPIHAKKAN




(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)

Oleh: Valery Kopong*

Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?  
           
Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
            Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain?  Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia ini. 
            Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negara ini. Kekayaan negara kita bukan lagi kandungan bumi atau hasil-hasil hutan tetapi kekayaan baru yang terhimpun adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
            Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan anak negeri ini untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan.   Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat negeri ini?
            Beberapa penggalan puisi Tanah Air Mata berikut ini dapat menginformasikan sebuah kepolosan tentang gejolak batin dan sekaligus gejolak kehidupan negeri ini.   Kami coba simpan nestapa //  Kami coba kuburkan duka lara // Tapi perih tak bisa sembunyi // Ia merebak ke mana-mana // Bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu // Namun kalian tak bisa menyingkir //  Ke mana pun melangkah // Kalian pijak air mata kami //  Ke mana pun terbang // Kalian kan hinggap di air mata kami // Ke mana pun berlayar // Kalian arungi air mata kami // Kalian sudah terkepung // Takkan  bisa mengelak // Takkan bisa ke mana pergi // Menyerahlah pada kedalaman air mata
            Derita, nestapa seperti yang diproklamirkan dalam puisi tak akan tersingkir dari kehidupan ini. Mereka telah berusaha untuk menguburkannya tetapi derita yang sama masih tetap berdenyut. Semakin dalam derita itu terkubur, semakin cepat pula denyutannya. Kehidupan dan penderitaan tak terpisahkan dari ruang lingkup masyarakat kecil, ia diibaratkan sebagai dua jantung yang berada dalam satu denyutan.
            Kekuatan sebuah puisi bukan semata-mata terletak pada siapa penulisnya, dalam hal ini  seorang penyair tetapi lebih dari itu terletak pada kata-kata yang dipakainya. Kata-kata menjadi “anak panah” dan mulut seorang penyair adalah “busurnya” yang sanggup menikam lawan (pembaca) dengan ketajaman kata-kata. Beberapa penyair yang terkenal keberpihakkannya terhadap masyarakat kecil, lebih memilih permainan kata-kata untuk mengeritik penguasa dan menggilas pemikiran mereka yang terkesan angkuh. W.S. Rendra misalnya, selalu tampil dengan puisinya untuk merobek tirai keangkuhan para pejabat dan berani menyatakan keberpihakkan pada mereka yang dianggap sebagai limbah politik kekuasaan. Penguasa dan kekuasaan, bagi Rendra, bukanlah sesuatu yang mutlak  tetapi merupakan peluang yang perlu dikritik.
            Sutardji pernah menulis bahwa “puisi adalah alibi kata-kata.” Dengan mengatakan demikian maka kata-kata yang mengisi sebuah bangunan puisi diberi kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.  Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Seorang penyair menangkap realitas dan disublimasi dalam kata-kata dan kata-kata tersebut memberi makna pada sebuah puisi. Tetapi untuk memaknai secara mendalam sangat bergantung pada siapa pembaca puisi tersebut yang sanggup membedah makna dengan pisau pemikiran yang tajam dan jernih.****





No comments: