Di Kupang, Nusatenggara Timur, tiap pagi saya membaca koran harian POS KUPANG. Sesekali membaca TIMOR EXPRESS alias TIMEX. POS KUPANG milik Kelompok Kompas Gramedia, sedangkan TIMEX milik Grup Jawa Pos.
Meski berada di bawah manajemen konglomerat media, penampilan kedua koran utama di NTT ini tidak menarik. Mirip koran-koran lawas tahun 1980-an, bahkan 1970-an, ketika teknologi komputer belum dikenal. Desainnya pas-pasan. Foto-foto tidak menarik. Tata letak payah.
Yang jadi masalah utama koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT, adalah kertas. Kertas sangat mahal dan harus dibeli di Jawa. Karena itu, kertas yang dipakai POS KUPANG dan TIMEX berkualitas rendahan. Dan itu akan sangat terlihat pada hasil akhir koran ketika berada di tangan pembaca. Foto-foto tidak bisa tajam.
Toh, kita orang masih bisa baca koran, bukan? Urusan penampilan, eye catching, belum masuk dalam kamus pengelola koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT. Yang penting, berita-beritanya.
Saya jadi teringat masa kecil ketika bapak saya masih berlangganan koran mingguan DIAN yang terbit di Ende, Flores. Tata letak, desain, mutu kertas... semuanya jelek, tapi orang-orang NTT sangat suka membaca si DIAN ini. Termasuk membaca berita kecil-kecil yang tidak signifikan, misalnya, perpisahan anak-anak SD di Ende atau Ruteng.
Khusus untuk urusan isi atawa konten, saya harus angkat topi untuk POS KUPANG dan TIMEX. Hampir semua beritanya, dari halaman pertama sampai terakhir, berita-berita lokal. Ini yang sulit saya temukan di Jawa yang koran-korannya sangat Jakarta-sentris. Apa-apa yang dari Jakarta dikasih porsi sangat besar oleh koran-koran di Jawa.
Media-media NTT beda. Mereka sejak dulu berani mengangkat isu lokal, bahkan sangat lokal, di halaman depan sampai akhir. Kecuali berita olahraga yang banyak diwarnai liputan sepak bola liga-liga Eropa dan persiapan Piala Dunia.
Maka, setiap hari saya menikmati isu politik tentang pemilihan bupati Flores Timur yang terkatung-katung. Simon Hayon bersama pasangannya, terkenal dengan paket Mondial, dijegal KPU Flores Timur karena berbagai alasan. Kemudian Victor Lerik, ketua DPRD Kota Kupang, yang ditahan karena kasus pidana mengancam akan mencekik seorang pengusaha. Ada lagi berita tentang Daniel Hurek, wakil wali kota Kupang, yang membayar pajak bumi dan bangunan.
Isu-isu nasional yang selama ini dianggap besar di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar di Jawa rupanya tak dapat tempat. Berita seputar Komjen Susno Duadji tidak ada. Anas Urbaningrum yang menang pemilihan ketua Partai Demokrat tidak dibahas. Kalau mau tahu isu-isu nasional macam itu, silakan menonton televisi yang memang sangat terang di Kupang. Jangan cari di POS KUPANG, TIMEX, atau FLORES POS!
Salahkah kebijakan redaksional koran-koran di NTT yang sangat fokus ke isu-isu lokal? TIDAK SALAH. Bahkan, seharusnya semua media berani mengedepankan berita-berita dan analisis tentang masalah di daerahnya masing-masing. Bukan malah ikut bergenit-genit ria dengan isu nasional yang sudah banyak dibahas di televisi kayak Metro TV dan TV One atau situs-situs berita macam www.detiknews.com atau www.okezone.com atau www.antara.co.id.
Teman-teman wartawan di NTT sudah lama dipuji kalangan pengamat media atau media watch karena liputan-liputannya yang nyaris 100 persen lokal. Semoga konsistensi media-media NTT ini tetap dijaga. Jangan mau tergoda oleh gaya liputan pers di Jawa yang sangat berkiblat ke Jakarta. Di Kupang, setelah membolak-balik 50-an edisi POS KUPANG, saya jarang menemukan berita kegiatan menteri, bahkan presiden sekalipun.
Isu Simon Hayon, Victor Lerik, kredit mobil anggota DPRD NTT jauh lebih menarik. Berita tentang persiapan turnamen sepak bola Piala El Tari, yang diikuti 21 kabupaten, juga jauh lebih disukai ketimbang pertandingan Liga Super Indonesia. Bisa jadi karena sejak dulu klub-klub NTT tak pernah berhasil menembus kompetisi sepak bola kelas nasional.
Bae sonde bae, Flobamora (NTT) lebe bae! Baik tidak baik, Flobamora lebih baik! Jargon khas NTT ini rupanya berlaku pula untuk media massa di NTT.
Posted by Lambertus Hurek at 9:29 PM
Meski berada di bawah manajemen konglomerat media, penampilan kedua koran utama di NTT ini tidak menarik. Mirip koran-koran lawas tahun 1980-an, bahkan 1970-an, ketika teknologi komputer belum dikenal. Desainnya pas-pasan. Foto-foto tidak menarik. Tata letak payah.
Yang jadi masalah utama koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT, adalah kertas. Kertas sangat mahal dan harus dibeli di Jawa. Karena itu, kertas yang dipakai POS KUPANG dan TIMEX berkualitas rendahan. Dan itu akan sangat terlihat pada hasil akhir koran ketika berada di tangan pembaca. Foto-foto tidak bisa tajam.
Toh, kita orang masih bisa baca koran, bukan? Urusan penampilan, eye catching, belum masuk dalam kamus pengelola koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT. Yang penting, berita-beritanya.
Saya jadi teringat masa kecil ketika bapak saya masih berlangganan koran mingguan DIAN yang terbit di Ende, Flores. Tata letak, desain, mutu kertas... semuanya jelek, tapi orang-orang NTT sangat suka membaca si DIAN ini. Termasuk membaca berita kecil-kecil yang tidak signifikan, misalnya, perpisahan anak-anak SD di Ende atau Ruteng.
Khusus untuk urusan isi atawa konten, saya harus angkat topi untuk POS KUPANG dan TIMEX. Hampir semua beritanya, dari halaman pertama sampai terakhir, berita-berita lokal. Ini yang sulit saya temukan di Jawa yang koran-korannya sangat Jakarta-sentris. Apa-apa yang dari Jakarta dikasih porsi sangat besar oleh koran-koran di Jawa.
Media-media NTT beda. Mereka sejak dulu berani mengangkat isu lokal, bahkan sangat lokal, di halaman depan sampai akhir. Kecuali berita olahraga yang banyak diwarnai liputan sepak bola liga-liga Eropa dan persiapan Piala Dunia.
Maka, setiap hari saya menikmati isu politik tentang pemilihan bupati Flores Timur yang terkatung-katung. Simon Hayon bersama pasangannya, terkenal dengan paket Mondial, dijegal KPU Flores Timur karena berbagai alasan. Kemudian Victor Lerik, ketua DPRD Kota Kupang, yang ditahan karena kasus pidana mengancam akan mencekik seorang pengusaha. Ada lagi berita tentang Daniel Hurek, wakil wali kota Kupang, yang membayar pajak bumi dan bangunan.
Isu-isu nasional yang selama ini dianggap besar di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar di Jawa rupanya tak dapat tempat. Berita seputar Komjen Susno Duadji tidak ada. Anas Urbaningrum yang menang pemilihan ketua Partai Demokrat tidak dibahas. Kalau mau tahu isu-isu nasional macam itu, silakan menonton televisi yang memang sangat terang di Kupang. Jangan cari di POS KUPANG, TIMEX, atau FLORES POS!
Salahkah kebijakan redaksional koran-koran di NTT yang sangat fokus ke isu-isu lokal? TIDAK SALAH. Bahkan, seharusnya semua media berani mengedepankan berita-berita dan analisis tentang masalah di daerahnya masing-masing. Bukan malah ikut bergenit-genit ria dengan isu nasional yang sudah banyak dibahas di televisi kayak Metro TV dan TV One atau situs-situs berita macam www.detiknews.com atau www.okezone.com atau www.antara.co.id.
Teman-teman wartawan di NTT sudah lama dipuji kalangan pengamat media atau media watch karena liputan-liputannya yang nyaris 100 persen lokal. Semoga konsistensi media-media NTT ini tetap dijaga. Jangan mau tergoda oleh gaya liputan pers di Jawa yang sangat berkiblat ke Jakarta. Di Kupang, setelah membolak-balik 50-an edisi POS KUPANG, saya jarang menemukan berita kegiatan menteri, bahkan presiden sekalipun.
Isu Simon Hayon, Victor Lerik, kredit mobil anggota DPRD NTT jauh lebih menarik. Berita tentang persiapan turnamen sepak bola Piala El Tari, yang diikuti 21 kabupaten, juga jauh lebih disukai ketimbang pertandingan Liga Super Indonesia. Bisa jadi karena sejak dulu klub-klub NTT tak pernah berhasil menembus kompetisi sepak bola kelas nasional.
Bae sonde bae, Flobamora (NTT) lebe bae! Baik tidak baik, Flobamora lebih baik! Jargon khas NTT ini rupanya berlaku pula untuk media massa di NTT.
Posted by Lambertus Hurek at 9:29 PM
0 komentar:
Post a Comment