Friday, June 4, 2010

PERJAMUAN AKHIR

Oleh: Valery Kopong*

Sebelum pamit dari rumah untuk memulai hidup di perantauan, kami sekeluarga mengadakan makan malam bersama. Ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan keluargaku setiap melepaskan salah seorang anggota keluarga sebelum bepergian jauh. Makan malam menjadi berharga dan nilainya jauh lebih tinggi ketimbang makan malam bersama tanpa melepaskan salah seorang anggota keluarga. Mengapa perlu mengadakan perjamuan malam sebelum melepaspergikan seseorang?
Bagi saya, perjamuan makan malam bersama keluarga sebelum merantau untuk sekian tahun adalah sebuah pengalaman historis yang tak pernah saya lupakan. Dalam moment yang cukup mendebarkan itu, bapak dan mamaku memberikan pesan-pesan terakhir. “Nak, besok kamu pergi untuk memulai hidup baru. Jagalah baik-baik kaki-tangan dan mulut.” Pesan sederhana ini menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Pesan ini berarti bahwa setiap kali kita bepergian jauh maupun dekat, yang perlu diperhatikan adalah tingkah laku dan perbuatan serta tutur kata yang diucapkan. Apabila kita membangun relasi baik dengan sesama maka pola tingkah laku selalu berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku. Demikian juga penuturan kita saat bertemu dan berinteraksi dengan sesama.
Keesokan harinya, sebelum kaki ini melangkah meninggalkan rumah tercinta, dari mulut kedua orang tuaku terucap kata, “jangan lupa untuk pulang kampung.” Rumah adalah tempat kita memulai hidup. Rumah di sini tidak hanya mencakup bangunan secara fisik tetapi lebih dari itu rumah adalah “ruang pengharapan” yang selalu terbuka pintunya secara lebar untuk melepaspergikan anggota keluarga dan menerima kembali anggotanya. Rumah adalah “ruang inspirasi” yang memberikan spirit. Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota.
Sebelum menjalani penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya. Perjamuan yang terselenggara merupakan “pesta pelepasan” sederhana sebelum Ia diserahkan ke tangan-tangan para penyamun. Pesta perjamuan yang diperkenalkan Yesus telah menjadi perjamuan abadi. Dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan memecahkan lalu membagi kepada para muridNya. Demikian juga Ia mengambil piala yang berisi anggur. Perjamuan terakhir karenanya, lebih dikenal sebagai perjamuan cinta kasih karena Yesus memperlihatkan nilai-nilai pelayanan kepada para murid dan dengan suatu harapan, nilai-nilai pelayanan dan cinta kasih dapat dipancar-teruskan dalam kehidupan sehari-sehari bagi umat yang percaya kepadaNya.
Hampir setiap kali menghadiri perayaan ekaristi, aku selalu teringat suasana makan sederhana di saat aku dilepaskan oleh orang tuaku. Makan malam, perjamuan bersejarah itu tetap terkenang dalam memori hidupku dan terus mengingatkan aku untuk kembali ke “ruang perjamuan,” ruang persaudaraan yang selalu mengikat aku dalam pesan-pesan bijak.***
“SAATKU BELUM TIBA”
Pengantar: Tim Voluntas berhasil mewawancari Bunda Maria seputar perkawinan di Kana di Galilea. Kisah ini dimunculkan berkenaan dengan tema Voluntas mengenai keluarga. Sebagai umat beriman, kita mencontohi keluarga Nazareth di mana Maria sebagai ibu Tuhan memainkan peranan penting dalam kehidupan Yesus. Berikut petikan wawancara
=================================================================================
Selamat bertemu Bunda. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior majalah Voluntas, sebuah majalah milik stasi Santo Gregorius. Apakah Bunda ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?
“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk Voluntas, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?
Begini Bunda. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkan Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?
Kami sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai. Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.
Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?
Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi warna sebuah pesta. Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.
Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?
Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.
Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?
Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”
Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”
Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.
Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)