![]() |
Pertemuan keluarga di Waiwadan, 23 Juni 2018 |
Melihat foto yang dikirim oleh adik Arnold Janssen Geroda
Belido melalui WhatSApp, menggugah nuraniku untuk melihat lebih jauh tentang
situasi keluarga besar saya yang ada di
Gelong Lama Ledan. Sebuah foto yang menggambarkan kebersamaan yang tidak lazim
dibangun selama ini. Mengapa saya berani mengatakan bahwa kebersamaan ini tidak
lazim seperti yang terekam dalam kamera?
Karena pertemuan ini bersifat mendadak dan menjadi sebuah bentuk
pemberontakan sunyi dari kelompok yang mempertahankan nuansa keakraban
keluarga. Kebersamaan ini dibangun di atas “luka” ini membahasakan betapa dalam
relung refleksi orangtua kami yang semakin sepuh tak tak berdaya di hadapan
garangnya anak-anak mereka.
Kehadiran anak-anak dalam keluarga menjadi harapan keluarga. Lahir dalam sunyi, cuma tangis yang memecah keheningan dan jeritan kesakitan “inak” yang sedang melahirkan kami. Tetapi jeritan kesakitan “inak” tak dipedulikannya karena baginya, kehadiran sang bayi memberi kebahagiaan tersendiri dalam hari-hari hidup. Bayi yang terbungkus dengan “kenola,” balutan kain ala kadarnya untuk sang bayi yang baru lahir menjadi cermin perjuangan “inak” dalam kesederhanaan. Menghadirkan seorang anak bagi seorang “inak” adalah menghadirkan “maut” baginya. Tetapi semua situasi genting dilalui dengan senyum sebagai bahasa kasih, bahasa terakhir seorang perempuan yang memiliki rahim.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, orangtua terus
membesarkan sambil berharap (pa’o pole)
bahwa suatu saat nanti anak-anak menjadi besar dan menjadi kebanggaan keluarga
dan lewo tanah tercinta, Gelong Lama Luat, Luat Lama Ledan. Harapan ini adalah
harapan wajar dari orangtua bahwa ketika anak-anak menjadi dewasa dapat memberikan
sesuatu yang baik, dan bisa memberi makna pada hidup ini. Harapan itu rupanya
semakin pudar karena kebanyakan anak dalam keluarga menampilkan egoisme
sekaligus menegaskan diri bahwa dia lebih hebat dari yang lain, termasuk orang
tua. Penegasan diri sebagai orang hebat tidak ditunjukkan melalui prestasi dan
hal-hal positif lain tetapi justeru menampilkan sisi kekerasan sebagai bahasa
terakhir dalam mematahkan orangtua dan
anak-anak lain yang dianggap lemah.
Mencari akar masalah
Perselisihan yang terus terjadi
dalam keluarga besarku, membuat saya bertanya diri. Di mana letak persoalan
yang sebenarnya? Persoalan utama adalah kurangnya sikap hormat anak-anak terhadap
orang tua dan anak-anak terhadap anak-anak. Dalam kalangan anak-anak sendiri
terbangun sikap penguasa dan egoistik dan melihat saudara-saudara lain sebagai
rival. Hal lain yang tidak kalah menarik adalah anak-anak sulung mau merebut “ongen
tapo dan nure-rekan” di tangan orang tuanya sendiri. Upaya pengambilan warisan
yang sedikit jumlahnya ini mencerminkan
generasi muda yang tidak kreatif dan tidak bisa menciptakan lapangan kerja baru
untuk menghidupi dirinya.
Berapa besar hasil dari “onge tapo” yang cuma sebidang itu? Pertanyaan
ini merupakan pertanyaan di tengah kegelisahan menghadapi ketidakrukunan dalam
keluarga besarku karena upaya untuk memperebutkan “nure-rekan dan onge tapo”
yang tidak seberapa. Generasi muda harus membangun pola pikir yang baru sebagai
cara cerdas dalam membuka lapangan
kerja. Beberapa minggu yang lalu, ada keluarga datang dari Lewoleba, namanya Januarius Laga Sedu, anaknya Opu Ola Taka di Ongebelen. Dia datang
menghadiri diklat di Cianjur – Jawa Barat. Dua minggu lebih dia mengikuti
diklat itu dan setelahnya mampir ke rumahku di Tangerang. Kami berdua
berdiskusi panjang tentang bagaimana membangun ekonomi di kampung.
Januarius atau di kampung disapa dengan Rius yang kebetulan
dalam diklat itu belajar tentang bagaimana membuat mesin tetas telur ayam. Tekad
yang dibangun adalah mau membuat mesin tetas telur ayam dan mengolah makanan
ayam dengan bahan lokal. Rius sudah
membuktikan diri dengan bisa merakit mesin tetas dan membuat makanan ayam
berbahan lokal. Satu hal yang menarik dari Rius adalah mau menciptkan lapangan
kerja baru dan tidak mau merebut “onge tapo” warisan orang tua yang cuma
beberapa pohon saja.
Inilah salah satu contoh yang mau menunjukkan kerja keras
generasi muda. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang, diharapkan bisa berbuat sesuatu untuk menghidupi dirinya dan memangkas pola berpikir lama yang selalu
bergantung pada “onge tapo dan rure rekan.” Mari, kita melihat peristiwa zaman ini di
kampung kita sambil mencari dan menciptakan lapangan kerja baru untuk
menghidupi diri dan keluarga.
Melihat foto kembali, merekam rasa haruku terhadap wajah
orang tua yang semakin sepuh. Mestinya orang tua menghadapi masa tua dengan
tenang dan menyenangkan tetapi kenyataan berbicara lain. Mudah-mudahan
perjumpaan orang tua dan anggota keluarga besar di Waiwadan pada 23 Juni 2018
menjadi titik awal membaharui kembali situasi keluarga yang kian retak.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment