Monday, June 25, 2018

Membangun Kebersamaan di atas “Luka”

Pertemuan keluarga di Waiwadan, 23 Juni 2018
Melihat foto yang dikirim oleh adik Arnold Janssen Geroda Belido melalui WhatSApp, menggugah nuraniku untuk melihat lebih jauh tentang situasi  keluarga besar saya yang ada di Gelong Lama Ledan. Sebuah foto yang menggambarkan kebersamaan yang tidak lazim dibangun selama ini. Mengapa saya berani mengatakan bahwa kebersamaan ini tidak lazim seperti yang terekam dalam kamera?  Karena pertemuan ini bersifat mendadak dan menjadi sebuah bentuk pemberontakan sunyi dari kelompok yang mempertahankan nuansa keakraban keluarga. Kebersamaan ini dibangun di atas “luka” ini membahasakan betapa dalam relung refleksi orangtua kami yang semakin sepuh tak tak berdaya di hadapan garangnya anak-anak mereka.

Kehadiran anak-anak dalam keluarga menjadi harapan keluarga.  Lahir dalam sunyi, cuma tangis yang memecah keheningan dan jeritan kesakitan “inak” yang sedang melahirkan kami. Tetapi jeritan kesakitan “inak” tak dipedulikannya karena baginya, kehadiran sang bayi  memberi kebahagiaan tersendiri dalam hari-hari hidup. Bayi yang terbungkus dengan “kenola,” balutan kain ala kadarnya untuk sang bayi yang baru lahir menjadi cermin perjuangan “inak” dalam kesederhanaan. Menghadirkan seorang anak bagi seorang “inak” adalah menghadirkan “maut” baginya. Tetapi semua situasi genting dilalui dengan senyum sebagai bahasa kasih, bahasa terakhir seorang perempuan yang memiliki rahim.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, orangtua terus membesarkan sambil berharap (pa’o pole) bahwa suatu saat nanti anak-anak menjadi besar dan menjadi kebanggaan keluarga dan lewo tanah tercinta, Gelong Lama Luat, Luat Lama Ledan. Harapan ini adalah harapan wajar dari orangtua bahwa ketika anak-anak menjadi dewasa dapat memberikan sesuatu yang baik, dan bisa memberi makna pada hidup ini. Harapan itu rupanya semakin pudar karena kebanyakan anak dalam keluarga menampilkan egoisme sekaligus menegaskan diri bahwa dia lebih hebat dari yang lain, termasuk orang tua. Penegasan diri sebagai orang hebat tidak ditunjukkan melalui prestasi dan hal-hal positif lain tetapi justeru menampilkan sisi kekerasan sebagai bahasa terakhir  dalam mematahkan orangtua dan anak-anak lain yang dianggap lemah.  
   
Mencari akar masalah
            Perselisihan yang terus terjadi dalam keluarga besarku, membuat saya bertanya diri. Di mana letak persoalan yang sebenarnya? Persoalan utama adalah  kurangnya sikap hormat anak-anak terhadap orang tua dan anak-anak terhadap anak-anak. Dalam kalangan anak-anak sendiri terbangun sikap penguasa dan egoistik dan melihat saudara-saudara lain sebagai rival. Hal lain yang tidak kalah menarik adalah anak-anak sulung mau merebut “ongen tapo dan nure-rekan” di tangan orang tuanya sendiri. Upaya pengambilan warisan yang sedikit jumlahnya ini  mencerminkan generasi muda yang tidak kreatif dan tidak bisa menciptakan lapangan kerja baru untuk menghidupi dirinya.
Berapa besar hasil dari “onge tapo” yang cuma sebidang itu? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan di tengah kegelisahan menghadapi ketidakrukunan dalam keluarga besarku karena upaya untuk memperebutkan “nure-rekan dan onge tapo” yang tidak seberapa. Generasi muda harus membangun pola pikir yang baru sebagai cara cerdas  dalam membuka lapangan kerja. Beberapa minggu yang lalu, ada keluarga datang dari Lewoleba, namanya Januarius Laga Sedu, anaknya Opu Ola Taka di Ongebelen. Dia datang menghadiri diklat di Cianjur – Jawa Barat. Dua minggu lebih dia mengikuti diklat itu dan setelahnya mampir ke rumahku di Tangerang. Kami berdua berdiskusi panjang tentang bagaimana membangun ekonomi di kampung.     
Januarius atau di kampung disapa dengan Rius yang kebetulan dalam diklat itu belajar tentang bagaimana membuat mesin tetas telur ayam. Tekad yang dibangun adalah mau membuat mesin tetas telur ayam dan mengolah makanan ayam  dengan bahan lokal. Rius sudah membuktikan diri dengan bisa merakit mesin tetas dan membuat makanan ayam berbahan lokal. Satu hal yang menarik dari Rius adalah mau menciptkan lapangan kerja baru dan tidak mau merebut “onge tapo” warisan orang tua yang cuma beberapa pohon saja.
Inilah salah satu contoh yang mau menunjukkan kerja keras generasi muda. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki  masing-masing orang, diharapkan  bisa berbuat sesuatu untuk menghidupi dirinya  dan memangkas pola berpikir lama yang selalu bergantung pada “onge tapo dan rure rekan.”  Mari, kita melihat peristiwa zaman ini di kampung kita sambil mencari dan menciptakan lapangan kerja baru untuk menghidupi diri dan keluarga.
Melihat foto kembali, merekam rasa haruku terhadap wajah orang tua yang semakin sepuh. Mestinya orang tua menghadapi masa tua dengan tenang dan menyenangkan tetapi kenyataan berbicara lain. Mudah-mudahan perjumpaan orang tua dan anggota keluarga besar di Waiwadan pada 23 Juni 2018 menjadi titik awal membaharui kembali situasi keluarga yang kian retak.*** (Valery Kopong)


  











No comments: