Fenomenologi Ontologi di dalam
Pemikiran Martin Heidegger
Reza A.A Wattimena
Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai
fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk
memahami realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran
pada obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu. Pada
kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger
yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat
Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai
“Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang
berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.[1]
Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah
diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bab-bab sebelumnya.
Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam metode Sokratik. Di dalam
kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada
para pendengar kuliahnya, supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan
semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi
dengan pemikiran terbuka.
Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna
“ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat
selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep
tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata Ada? Apa arti
penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki
beragam makna. Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang
bernama Hubert Dreyfus pernah berpendapat, bahwa Ada adalah latar belakang dari
semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas
Sheehan, ahli Heidegger lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep
yang mencakup keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap
bentuk pengetahuan manusia tanpa terkecuali.