Fenomenologi Ontologi di dalam
Pemikiran Martin Heidegger
Reza A.A Wattimena
Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai
fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk
memahami realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran
pada obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu. Pada
kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger
yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat
Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai
“Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang
berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.[1]
Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah
diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bab-bab sebelumnya.
Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam metode Sokratik. Di dalam
kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada
para pendengar kuliahnya, supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan
semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi
dengan pemikiran terbuka.
Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna
“ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat
selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep
tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata Ada? Apa arti
penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki
beragam makna. Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang
bernama Hubert Dreyfus pernah berpendapat, bahwa Ada adalah latar belakang dari
semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas
Sheehan, ahli Heidegger lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep
yang mencakup keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap
bentuk pengetahuan manusia tanpa terkecuali.
Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak
berkecimpung secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan
Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep Ada
sebenarnya ada di dalam setiap hal, sepertiada batu, ada manusia, ada hewan,
dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang menempati
ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu
berada. Lalu konsep ada manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia
mencari Ada yang mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya,
Heidegger hendak menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat
memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada haruslah
diubah menjadi, apakah yang dimaksud dengan Ada yang mendasari ada-ada lainnya
di dalam realitas?
Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri
karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba
memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang Ada yang digelutinya, sambil
mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang juga merupakan bapak fenomenologi,
yakni Edmund Husserl. Selain itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya
pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam
prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger akan
mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian Frede ketertarikan
Heidegger pada masalah Ada dan ontologi secara keseluruhan dimulai, ketika ia
membaca tulisan Franz Brentano yang berjudul On the Several Sense of Being in
Aristotle. Apa sebenarnya hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno,
terutama di dalam prosesnya untuk memahami Ada?
Heidegger Muda
Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles,
pernah berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang ada
(science of being).[3] Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang, konsep
Ada sudah memperoleh porsi besar di dalam refleksi para pemikir. Mereka kerap
menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”, atau “dasar”. Konsep Ada
melibatkan dua hal yang sangat penting di dalam diri seorang pemikir, yakni
kemampuan berabstraksi, yakni menarik apa yang sama dari segala sesuatu yang berbeda
di dalam realias, dan kemampuan refleksi, yakni menilai diri sendiri dan
berpikir secara mendalam. Para filsuf Yunani Kuno juga ingin bertanya, apakah
Ada itu sesuatu yang tunggal atau jamak? Apakah ada itu satu atau banyak?
Menurut Frede orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan tentang Ada secara
sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang konsep Ada dengan para
sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya
kebenaran mutlak. Bagi mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini.
Maka dari itu hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang
mampu memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika
terkait dengan Ada adalah problem gigantotnacbia, yang berarti problem para
raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal ini. Namun pemikir yang
sungguh-sungguh memberikan pengaruh besar di dalam ontologi, ilmu tentang Ada,
adalah Aristoteles, murid Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada
pemikiran Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran
manusia adalah sejarah kelupaan akan ada (forgetfulness of being).
Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam
ada seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance),
yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri; tidak membutuhkan suatu apapun di luar
dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan
substansi tersebut. Kategori-kategori itu adalah kuantitas, kualitas, relasi,
ruang, waktu, tindakan, afeksi, posisi, dan kepemilikan. Misalnya anda melihat
sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan
predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu dari
kategori-kategori Ada lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya.
Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori Ada bukanlah ciptaan
manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara
logis. Kategori ada adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia.
Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai
seorang realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari
kategori-kategori Ada, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan ia
menjadikan konsep Ada sebagai pusat penyelidikannya, maka ia disebut sebagai
seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya terdiri dari
struktur-struktur obyektif dari Ada. Inti dari struktur obyektif itu adalah
substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel pada substansi tersebut.
Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh di dalam konsep Ada, karena konsep
Ada itu sendiri terdiri dari substansi dan predikat-predikat dari substansi
tersebut, seperti kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan ada
(unified of being). Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori Ada.
Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema
sentral di dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika. Heidegger pun
menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema ini. Baginya konsep ada di
dalam filsafat Aristoteles masihlah kosong. Kekosongan itu diisi oleh para
filsuf abad pertengahan dengan ajaran-ajaran Kristiani, seperti yang misalnya
dilakukan dengan sangat mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Pada filsuf
neothomisme di abad kedua puluh juga masih mengacu pada Aristoteles di dalam
refleksi mereka tentang substansi.[4]
Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui
tradisi berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan
Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism
(yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning
of Duns Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran
revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja namanya
tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Dan
kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya sebagai tema diskusi.
Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner,
pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung argumen yang
kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran manusia tidak akan pernah bisa
didapatkan hanya dengan sekedar mengamati realitas dengan panca indera. Argumen
ini membawanya kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda
dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan
isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa
berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri
bukanlah makanan. Arti dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula
konsep Ada itu sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam
segala sesuatu yang ada di dalam realitas.
Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk
merumuskan konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat
ada sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan pesat
di dalam pemikiran Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya keduanya,
yakni tentang pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns
Scotus, karena ia adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan
substansi Aristoteles. Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk
memahami konsep Tuhan. Memang Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan
yang berusaha memberikan pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya
Tuhan tidak sama dengan substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan
kebaikan di dalam benda-benda lainnya.
Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan
untuk mengembangkan refleksi tentang Ada yang sama sekali baru. Dalam arti ini
ada tidak hanya berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan
kata lain ada menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki
manusia. Pertanyaan tentang ada bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi
antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan manusia
melibatkan konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai
dunianya, dan proses pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih
luas. Tugas filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang
melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu
adalah struktur dari realitas. Itulah Ada.[5]
Namun menurut Scotus konsep ada berbeda-beda untuk setiap
hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan
ada dari akal budi (being of reason). Dalam arti ini kebenaran yang ada di
dalam akal budi tidak otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam.
Pikiran adalah penanda. Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan
petanda memang berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan
dilarang merokok tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk
merokok bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun
menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh
mencerminkan apa yang ada di dalam realitas.
Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh
mempengaruhi Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak
selalu sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian
subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai subyektivitas yang obyektif
(objective subjectivity). Yang obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai
obyektif (object-givenness) oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya
terbesarnya yang berjudul Being and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan
antara bahasa, penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah
merupakan pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah
dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu
sudah tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.
Being and Time
Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional
lainnya yang banyak berbicara tentang ada? Ada jarak waktu 12 tahun sebelum
Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and Time dari karya
sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger di dalam Being and Time
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl. Namun walaupun berhutang pada
Husserl, Heidegger tetap memiliki banyak perbedaan argumen dengannya.
Setidaknya ada dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran
Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa ia sangat
terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul Logical Investigations.
Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan Husserl, Heidegger kemudian
menyadari betul peran fenomenologi di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti
ini bisa juga dikatakan, bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk
menerapkan metode fenomenologi untuk memahami ada.[6]
Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya kita
mengingat kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu konsep kunci di
dalam fenomenolog Husserl adalah intensionalitas. Menurutnya setiap aktivitas
manusia, baik fisik maupun mental, seperti berpikir, selalu mengarah pada suatu
fenomena obyektif di luar dirinya. Dalam arti ini kesadaran tidak pernah
kesadaran pada dirinya sendiri, melainkan kesadaran akan sesuatu. Setiap obyek
di luar diri manusia hanya bisa dipahami sejauh obyek tersebut dipahami oleh
kesadaran. Jika ingin memahami hakekat dari semua benda-benda yang ada di
dunia, maka kita harus melihat kaitannya obyek itu dengan kesadaran manusia
yang mempersepsinya.
Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah
sesuatu yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I). Aku murni
adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia hanyalah
kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari obyek di luar diri kita,
maka yang harus kita lakukan justru adalah memahami kesadaran yang membuat kita
bisa mengetahui obyek tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah
obyek empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat,
terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang berpusat pada ego
manusia.
Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis
transendental (transcendental subjectivist). Subyektivisme transendental
sendiri adalah paham yang berpendapat, bahwa subyektivitas merupakan sumber
dari semua bentuk pengetahuan, pikiran, dan pengalaman manusia. Lalu dimanakah
tempat dunia eksternal? Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik
eksternal. Namun di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda
terlebih dahulu, sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa tampak. Yang
menjadi fokus utama fenomenologi adalah pengalaman subyek dan isi kesadarannya,
ketika berusaha memahami dunia.
Heidegger setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa
ada dari benda-benda terletak di dalam pengertian manusia tentang benda-benda
tersebut. Namun setidaknya ada empat hal dari pemikiran Husserl yang tidak
disetujui oleh Heidegger. Yang pertamaadalah ia tidak setuju dengan
kecenderungan Husserl untuk memusatkan seluruh analisisnya pada manusia sebagai
subyek. Fakta bahwa manusia bisa sadar akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia
memahaminya secara utuh. Di dalam tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan
bahkan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh dalam
kesalahan.[7] Yang kedua Heidegger tidak setuju dengan konsepsi Husserl tentang
“menaruh di dalam kurung”. Tidak mungkin manusia bisa menaruh di dalam kurung
pertimbangan-pertimbangannya tentang dunia eksternal. Sebaliknya
pertimbangan-pertimbangan itu harusnya dijadikan bagian utuh dari proses
penafsiran manusia atas dunianya.
Yang ketiga menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya
akan terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat bahwa dunia
luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran
selalu terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada
kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan,
bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran
manusia.Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada
filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki
dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri.
Penolakan terhadap pandangan-pandangan Husserl ini membantu Heidegger
merumuskan pandangannya sendiri di dalam karya terbesarnya, yakni Being and
Time.[8]
Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama
adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah
filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep ada itu sendiri. Proyek yang
kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis
Heidegger, kedua proyek itu disebut juga sebagai Ontological Analytic of Dasein
as Laying Bare the Horizon for an Interpretation of the Meaning of Being in
General danDestroying the History of Ontology.
Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses
untuk menghancurkan ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan
menerangkan proyek ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan di dalam
pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Desttuktion. Di dalam
bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni
destruction. KataDesttuktion lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya
kesalahan berpikir di dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles.
Kesalahan berpikir itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak
terhindarkan.
Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di
dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada
(forgetfulness of being). Para filsuf berpikir bahwa ada itu tidak memiliki
konsep yang konkret, dan juga bahwa ada hanya bisa dipahami melalui
pengada-pengada, seperti manusia, tuhan, konsep-konsep, dan sebagainya. Cara
berpikir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles
segala sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori ada, seperti kualitas,
kuantitas, substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari
itu seperti sudah ditulis sebelumnya, Ada hanya dapat diketahui melalui
benda-benda konkret di dalam realitas.[9]
Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional
yang mengatakan bahwa ada merupakan konsep yang independen dari pikiran
manusia. Baginya inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang ada
di dalam sejarah, yakni ketika ada dipandang sebagai obyek yang keberadaannya
dapat dilepaskan dari manusia sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes dan
Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek, juga tidak mengurangi kesulitan
di dalam memahami ada tersebut. Manusia seolah adalah subyek yang memandang
dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah subyek yang terpisah
dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia bisa tahu mengenai dunianya? Ini
adalah salah satu tema penting di dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat
pengetahuan.
Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah,
bagaimana kita bisa menjamin kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan
impresi dari subyek atas dunia? Kant dengan filsafatnya hendak menjawab
pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih terjebak pada konsep
benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa dipahami, karena
berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun konsep
benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di dalam pemikiran Kant,
konsep itu menempati peran yang sangat penting di dalam proses pembentukan
realitas itu sendiri. Dengan tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger,
filsafat Kant belum secara radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan
metafisika.
Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di
dalam filsafat modern muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari
obyek, yakni dunia yang dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai
‘membelah dan menghancurkan fenomena’ (splitting asunder of the phenomena).
Keterpisahan subyek manusia dan dunia obyektif yang dipersepsinya adalah
penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam filsafat yang tidak
terselesaikan secara tuntas.[10] Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai
sikap alamiah (natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya.
Sikap berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam
maupun di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap
berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh pengetahuan dari
satu sisi saja, dan tidak dari keseluruhan aspek.
Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi
positivistik, seorang pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek
yang diamati. Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering juga
adalah manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia
(worldless). Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang secara keras oleh
Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek pengamat adalah bagian dari
dunia yang sama dari obyek yang diamati, yakni dunia. Manusia adalah mahluk
yang selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik
maupun mahluk hidup lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada
bersama (being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu
ada.
Namun sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah
menyelesaikan proyek destruksi metafisikanya. Buku yang membuat pemikirannya
dikenal banyak orang, Being and Time, tidak pernah selesai. Niat Heidegger
untuk melakukan destruksi metafisika-ontologi, dan sekaligus mengajukan suatu
cara baru untuk memahami Ada tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada
bagian kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek buku
itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak pernah bisa
menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke tema-tema filosofis
lainnya.
Di dalam Being and Time, Heidegger hendak memahami ada dari
seluruh realitas dalam artinya yang paling dinamis, sesuai dengan perkembangan
dan perubahan realitas itu sendiri. Di dalam metafisika-ontologi tradisional,
konsep ada tidak dipahami dalam temporalitas waktu. Padahal konsep waktu
seperti yang selalu ditekankan Heidegger sangat terkait dengan konsep ada itu
sendiri. Untuk mengubah pemahaman tentang ada itu sendiri, Heidegger lalu
mencoba memahami ada melalui mahluk yang mampu memikirkan dan menanyakan ada,
yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah entitas yang terisolasi,
ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar belakangnya. Manusia adalah mahluk
yang dari dasar dan hakekatnya sudah dibentuk oleh dunia.
Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada
(modes of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan
sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum mencukupi. Modus
mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan ada, dan bukan untuk ada
itu sendiri. Di dalamBeing and Time, Heidegger memang banyak menganalisis
tentang manusia sebagai mahluk penanya ada, dan bukan ada itu sendiri. Jika
Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak
beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada
manusia dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan
tentang ada itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek
filosofisnya.[11]
Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia
pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care). Memelihara
sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam. Karena manusia selalu
berada di dalam relasi keterlibatan (involvement) dengan alam, maka sudah
selayaknya ia ikut merawat dan memelihara alam itu sendiri. Tindak memelihara
disini bukanlah tindakan amal, melainkan sudah melambangkan relasi fundamental
antara manusia dengan alam, dan sebaliknya. Heidegger juga berpendapat bahwa
manusia adalah bagian dari alam keseluruhan, karena ia selalu
ada-di-dalam-dunia (being in the world). Jadi manusia dan alam berada di dalam
kesatuan ontologis yang utuh serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang
tepat dari manusia terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam sebagai
bagian dari diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis Frede dalam
tulisannya tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita sendiri, seluruh
eksistensi kita, ke dalam dunia dan memahami diri kita dan semua hal di dunia
ini dalam bentuk kemungkinan bentukan kita tentang diri kita sendiri.”[12]
Manusia dan alam adalah satu, karena gambaran tentang dunia adalah gambaran
manusia tentang dunia. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.
Segala sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya.
Dan makna itu bisa diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari pemaknaan
itu sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan mencipta ulang dirinya sendiri.
Segala sesuatu yang bermakna bagi manusia juga sudah selalu terletak di dalam
dunia. Manusia dan dunia adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan
masa depan. Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan,
melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini. Masa lalu
memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap terikat dan tertanam di dalam
masa kini. Kekinian itulah dunia (world) yang mengikat dan memberikan makna
bagi kehidupan kita sehari-hari. Manusia terhisap di dalam temporalitas
kekinian, dan kekinian itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia
selalu terlibat dengan dunia di dalam kekiniannya.
Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality) di dalam
filsafat Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau mengatakan, bahwa
manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau memiliki intuisi tentang
waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni
berharap untuk masa depan, mengingat apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta
terikat di dalam kekinian (presentness). Keserentakan dari ketiga momen itu,
yakni yang lalu, sekarang, dan masa depan, itulah yang disebut sebagai
temporalitas, menurut Heidegger. Dalam arti ini kekinian murni (here and now)
adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam kekinian murni,
melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam ketiga momen, yakni masa lalu,
masa kini, dan masa depan.
Fenomenologi sebagai Ontologi
Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan
Heidegger? Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik
fenomenologi ingin kembali kepada obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi
menolak semua rumusan teori, asumsi, maupun prasangka yang seringkali justru
mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan. Fenomenologi ingin memahami
esensi dari kesadaran manusia sebagaimana dilihat dari sudut pandang orang
pertama. Di tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang
berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.
Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun
ia tidak lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran manusia.
Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami ada. Jadi dia menerapkan
fenomenologi untuk memahami ada. Dalam arti inilah fenomenologi berubah menjadi
ontologi. Untuk memahami ada Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya
ada, yakni manusia itu sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan
dunia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah ada
itu sendiri. Ada yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas,
melainkan ada yang menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger adalah
suatu upaya untuk memahami Ada yang menyingkapkan dirinya.***
[1] Pada bab ini saya mengacu pada Dorothea Frede, “The
Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to
Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993.
[2] Lihat, Frede, 1993, hal. 41.
[3] Lihat, ibid, hal. 45.
[4] Lihat, ibid, hal. 46.
[5] Lihat, ibid, hal. 49.
[6] Bdk, ibid, hal. 52.
[7] Lihat, ibid, hal. 53.
[8] Lihat, ibid.
[9] Lihat, ibid, hal. 60.
[10] Lihat, ibid, hal. 61.
[11] Lihat, ibid, hal. 63.
[12] Ibid, hal. 64.
0 komentar:
Post a Comment