(Catatan Politik)
Ketika menulis skripsi tentang
Golkar, saat yang sama waktu itu, Golkar sedang mengalami problema dan hampir
dibubarkan. Problema itu terus mendera
Golkar seiring dengan waktu yang menambah usia partai itu yang semakin tua. Semakin
tua beringin itu, semakin dia diterpa pelbagai badai ambisi kekuasaan. Melihat
tingkah para politisi, masyarakat umum semakin hari semakin muak dengan situasi
yang tengah menjadi tontonan yang tidak menarik.
Tetapi kondisi ini tetap mendera partai-partai politik, seiring dengan
ambisi para elite politik yang haus akan
kekuasaan.
Dua
kubu dalam satu tubuh partai, mencerminkan keterbelahan yang semakin parah.
Ketika pilkada serentak yang sudah diambang pintu maka gesekan kedua kubu dalam
lindungan “beringin” semakin kuat terasa. Namun ketika kubu Agung Laksono
dinyatakan menang dan upaya islah semakin terbuka, walau hanya dalam
kesepakatan terbatas. Sebuah kesepakatan yang boleh dikata sebagai kesepakatan
‘terpaksa’ untuk melanggengkan langkah kedua kubu menjaring calon kepala daerah
untuk disandingkan calon yang diusung dari partai lain. Menjadi pertanyaan penting di
sini adalah, ke kubu manakah seorang calon kepala daerah yang diusung
berdasarkan kesepatakan kedua kubu di partai Golkar itu berpihak?