Tuesday, July 14, 2015

MENGHARAPKAN ISLAH PERMANEN


(Catatan Politik)
Ketika menulis skripsi tentang Golkar, saat yang sama waktu itu, Golkar sedang mengalami problema dan hampir dibubarkan. Problema itu  terus mendera Golkar seiring dengan waktu yang menambah usia partai itu yang semakin tua. Semakin tua beringin itu, semakin dia diterpa pelbagai badai ambisi kekuasaan. Melihat tingkah para politisi, masyarakat umum semakin hari semakin muak dengan situasi yang tengah menjadi tontonan yang  tidak menarik. Tetapi kondisi ini tetap mendera partai-partai politik, seiring dengan ambisi  para elite politik yang haus akan kekuasaan.   
                Dua kubu dalam satu tubuh partai, mencerminkan keterbelahan yang semakin parah. Ketika pilkada serentak yang sudah diambang pintu maka gesekan kedua kubu dalam lindungan “beringin” semakin kuat terasa. Namun ketika kubu Agung Laksono dinyatakan menang dan upaya islah semakin terbuka, walau hanya dalam kesepakatan terbatas. Sebuah kesepakatan yang boleh dikata sebagai kesepakatan ‘terpaksa’ untuk melanggengkan langkah kedua kubu menjaring calon kepala daerah untuk disandingkan calon yang diusung dari  partai lain. Menjadi pertanyaan penting di sini adalah, ke kubu manakah seorang calon kepala daerah yang diusung berdasarkan kesepatakan kedua kubu di partai Golkar itu berpihak?
               
Ini  adalah  pertanyaan  penting  untuk  menjadi  sebuah  refleksi politis bersama karena islah paksa kedua kubu ini menjadi titik awal membuka persoalan-persoalan baru yang akan dihadapi pasca pelaksanaan pilkada. Andaikata pilkada itu akan dimenangkan oleh partai Golkar maka ini membawa tekanan baru bagi pemimpin daerah yang diusung oleh partai Golkar. Dua kubu yang bersengketa mencalonkan seorang pemimpin, pasti akan melahirkan sebuah pengalaman ambigu bagi pemimpin yang bersangkutan. Apakah setelah pascapemilukada bisa terjadi kesepakatan / islah permanen untuk  menyatukan Golkar yang terpecah oleh  dua kubu yang berlawanan?

                  Persoalan yang mendera dua kubu dalam satu partai Golkar, merupakan sebuah persoalan sederhana. Seorang yang awam politik pun pasti tahu tentang titik permasalahan dan solusi yang akan dicari. Problemnya terletak pada pucuk kepemimpinan. Andaikata, pucuk pimpinan berani meletakkan jabatan dan membiarkan anggota lain yang lebih kompeten untuk bertarung secara sehat dan demokratis memperebutkan kepemimpinan itu maka tidak berdampak pada pembelahan kubu itu. Memang, banyak pihak tentu kecewa dengan kehadiran “partai sepuh” yang semestinya menampilkan kedewasaan sikap tetapi justeru sebaliknya. Namun di sisi lain, perpecahan ini membawa dampak positip bagi pemerintahan ini karena melemahkan kekuatan di parlemen karena koalisi partai oposisi begitu kuat. Sampai kapan gesekan politik menemukan islah permanen? (Valery Kopong) 

No comments: