Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari
paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr.
Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja
Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima
kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian
dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah
berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam
untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”
Bapak Kardinal menyampaikan dua hal penting,
yaitu lingkungan dan inspirasi Kitab Suci. Tentang lingkungan, Bapak Kardinal membuka pembicaraan dengan
dengan kisah yang tertulis pada sebuah buku. Pada beberapa tahun lalu,
beredar sebuah buku yang ditulis oleh
seorang misionaris dengan judul; “Dari
Gereja Katolik Roma di Indonesia Menuju Gereja Katolik di Indonesia.” Isi buku
ini menunjukkan dua hal yang berbeda. Pada zaman sebelum Konsili Vatikan II,
Gereja Katolik Roma yang ada di Indonesia belum menampilkan ciri
kekatolikan sebagai Gereja yang hidup di
Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari tatanan liturgi yang umumnya dipengaruhi
oleh Gereja Katolik Roma.
Lalu apa bedanya dengan Gereja Katolik di
Indonesia? Gereja Katolik Indonesia berarti Gereja bertumbuh dan berkembang
sesuai karakter Indonesia. Dari hari ke hari Gereja Katolik Indonesia mengalami
perkembangan dan berupaya mewujudkan ciri khas sebagai Gereja dengan karakter
Indonesia. Mengapa Gereja-Gereja Katolik di Indonesia bisa berkembang?
Jawabannya adalah peran lingkungan yang sangat baik. Gereja itu bisa berkembang
secara baik karena didukung oleh lingkungan yang merupakan basis terkecil namun
berperan penting. Menurut Bapak Kardinal, “Kalau uskupnya tidak ada,
keuskupannya bisa jalan tetapi kalau tidak ada ketua lingkungan maka
lingkungannya tidak bisa jalan.”
Menurut Bapak Kardinal, istilah lingkungan /
kring mulai dikenal pada tahun 1934. Pada waktu itu ada pertemuan di paroki
Bintara – Yogyakarta, seorang pastor muda (Soegiyo Pranoto) memunculkan istilah
lingkungan. Lingkungan itu pada awalnya bukan struktur organisasi tapi umat
ingin hidup dalam masyarakat supaya merasakan kegembiraan dan harapan dengan
masyarakat. Gereja Paroki Bintara-Yogyakarta merupakan cerminan Gereja pribumi,
sedangkan Gereja Kidulloji merupakan cerminan Gereja untuk orang-orang berkulit
putih.
Tahun 1974 muncul sebuah tulisan dengan
judul: “Kring Menuju Gereja Yang Lain.” Tulisan ini ditulis oleh seorang
misionaris untuk mengungkapkan sebuah wajah baru bagi Gereja Indonesia. Gereja
Katolik bertumbuh seperti saat ini karena didukung oleh lingkungan. Sejarah ini
meyakinkan kita bahwa meskipun tantangan ini tambah kompleks, Gereja kita
bertumbuh dan berkembang secara baik karena adanya peran aktif dari para awam.
Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Jakarta berkembang secara baik karena
adanya peranan dari lingkungan.
Lahirnya
Gereja
Kalau
membaca Kitab Suci bahwa sebelum turunnya Roh Kudus, para rasul mengalami
kebingungan, cemas dan lumpuh imannya. Kita bisa jumpai kekecewaan dua murid
Yesus bernada kecewa saat melakukan perjalanan ke Emaus. Sedangkan di dalam
Injil Yohanes, mengisahkan tentang murid-murid yang berkumpul dalam ruang tertutup dan terkunci. Lebih
lanjut Injil Yohanes mengisahkan tentang penampakan Yesus dan menyapa
murid-murid: “Damai sejahtera bagi kamu.” Setelah Roh Kudus turun, Petrus
berkhotbah berapi-api dan tidak takut lagi untuk mewartakan kebangkitan Kristus
kepada semua orang. Tidak lama kemudian, Jemaat di Yerusalem mengalami
penganiayaan. Apa yang mereka lakukan? Para Jemaat berpasrah diri sambil
memohon Tuhan untuk memberikan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi ancaman
itu. “Berikan kami keberanian untuk mewartakan Firman.” Doa sederhana ini
mengungkapkan watak dari komunitas iman di Yerusalem.
Dalam Kisah Para Rasul 5: 41, dikisahkan
bahwa para rasul diadili tetapi ketika mereka meninggalkan ruang pengadilan,
mereka mengalami kegembiraan karena dianggap layak dihinakan karena Yesus.
Mereka gembira karena menjadi murid Kristus. Karena terjadi penganiayaan di
Yerusalem, para pengikut Yesus berlari ke wilayah Samaria. Ketika tahu bahwa
Jemaat ada di Yerusalem, maka Petrus dan Yohanes diutus ke sana. Ada juga yang
lari lebih jauh, yakni di Antiokhia yang
waktu itu menjadi ibu kota kekaiseran Romawi. Siapakah yang diutus ke Antiokhia?
Bukan salah satu dari rasul-rasul tetapi Barnabas yang diutus.
Di Antiokhia, menurut Kisah Para Rasul
11:26, murid-murid itu untuk pertama kali disebut Kristen.
Antiokhia, berkat kegigihan Barnabas maka
menjadi pusat kekristenan. Di lingkungan orang-orang Kristen sendiri terjadi
pertentangan karena ada aliran keras dan aliran terbuka. Terjadi perdebatan
sangat tajam dan untuk pertama kali Gereja terancam pecah. Peristiwanya sangat
menegangkan tapi diselesaikannya dengan mudah. Bagaimana kita menyelesaikan
masalah itu? Inilah menjadi sebuah tuntutan dan hal ini bisa menentukan watak
kekatolikan kita.
Dalam Kisah Para Rasul 4:36, mengungkapkan
siapa itu Barnabas. Nama asli Barnabas adalah Yusuf. Di mata para rasul, Yusuf
dikenal sebagai Barnabas, yang artinya anak penghiburan. Mengapa disebut
sebagai anak penghiburan? Ia menjual ladangnya dan membawa uangnya dan
meletakkan ke kaki rasul-rasul. Kedermawanan ini merupakan salah satu dari
wataknya yang utuh. Karena Barnabas orang baik, penuh Roh Kudus dan iman.
Barnabas inilah yang diutus ke Antiokhia ketika Gereja Antiokhia berkembang.
Penduduk Antiokhia bukan penduduk Yahudi karena itu diutus Barnabas untuk
mengembangkan Gereja di sana.
Pada zaman awal, ada tiga pusat Gereja,
yaitu: Yerusalem (Yakobus), Efesus (Yohanes Pengarang Injil) dan Antiokhia
(Barnabas). Gereja Yerusalem hancur karena pemimpinnya terlalu keras. Gereja
Efesus juga hancur karena Jemaatnya terlibat dalam perkelahian. Karena itu
perjalanan misi utama Gereja dimulai dari Antiokhia. Ia (Barnabas) orang baik
itu rela berbagi kepada orang lain. Setibanya di Yerusalem, Saulus
menggabungkan diri ke murid-murid tetapi tidak dipercayai oleh murid-murid
Yesus. Tetapi Barnabas menerima dan membawanya ke Antiokhia dan kemudian
dipulangkan ke Tarsus (kampung halamannya Paulus). Paulus tinggal di Tarsus,
kurang lebih tujuh tahun dan tidak tahu
mau berbuat apa. Tetapi kemudian, Barnabas ke Tarsus untuk menemui Paulus dan
membawanya ke Antiokia.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment