Monday, November 11, 2019

Barnabas (Anak Penghiburan)


Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”

Bapak Kardinal menyampaikan dua hal penting, yaitu lingkungan dan inspirasi Kitab Suci. Tentang lingkungan,  Bapak Kardinal membuka pembicaraan dengan dengan kisah yang tertulis pada sebuah buku. Pada beberapa tahun lalu, beredar  sebuah buku yang ditulis oleh seorang misionaris  dengan judul; “Dari Gereja Katolik Roma di Indonesia Menuju Gereja Katolik di Indonesia.” Isi buku ini menunjukkan dua hal yang berbeda. Pada zaman sebelum Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Roma yang ada di Indonesia belum menampilkan ciri kekatolikan  sebagai Gereja yang hidup di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari tatanan liturgi yang umumnya dipengaruhi oleh Gereja Katolik Roma.

Lalu apa bedanya dengan Gereja Katolik di Indonesia? Gereja Katolik Indonesia berarti Gereja bertumbuh dan berkembang sesuai karakter Indonesia. Dari hari ke hari Gereja Katolik Indonesia mengalami perkembangan dan berupaya mewujudkan ciri khas sebagai Gereja dengan karakter Indonesia. Mengapa Gereja-Gereja Katolik di Indonesia bisa berkembang? Jawabannya adalah peran lingkungan yang sangat baik. Gereja itu bisa berkembang secara baik karena didukung oleh lingkungan yang merupakan basis terkecil namun berperan penting. Menurut Bapak Kardinal, “Kalau uskupnya tidak ada, keuskupannya bisa jalan tetapi kalau tidak ada ketua lingkungan maka lingkungannya tidak bisa jalan.”

Menurut Bapak Kardinal, istilah lingkungan / kring mulai dikenal pada tahun 1934. Pada waktu itu ada pertemuan di paroki Bintara – Yogyakarta, seorang pastor muda (Soegiyo Pranoto) memunculkan istilah lingkungan. Lingkungan itu pada awalnya bukan struktur organisasi tapi umat ingin hidup dalam masyarakat supaya merasakan kegembiraan dan harapan dengan masyarakat. Gereja Paroki Bintara-Yogyakarta merupakan cerminan Gereja pribumi, sedangkan Gereja Kidulloji merupakan cerminan Gereja untuk orang-orang berkulit putih.

Tahun 1974 muncul sebuah tulisan dengan judul: “Kring Menuju Gereja Yang Lain.” Tulisan ini ditulis oleh seorang misionaris untuk mengungkapkan sebuah wajah baru bagi Gereja Indonesia. Gereja Katolik bertumbuh seperti saat ini karena didukung oleh lingkungan. Sejarah ini meyakinkan kita bahwa meskipun tantangan ini tambah kompleks, Gereja kita bertumbuh dan berkembang secara baik karena adanya peran aktif dari para awam. Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Jakarta berkembang secara baik karena adanya peranan dari lingkungan. 





Lahirnya Gereja
          Kalau membaca Kitab Suci bahwa sebelum turunnya Roh Kudus, para rasul mengalami kebingungan, cemas dan lumpuh imannya. Kita bisa jumpai kekecewaan dua murid Yesus bernada kecewa saat melakukan perjalanan ke Emaus. Sedangkan di dalam Injil Yohanes, mengisahkan tentang murid-murid yang berkumpul  dalam ruang tertutup dan terkunci. Lebih lanjut Injil Yohanes mengisahkan tentang penampakan Yesus dan menyapa murid-murid: “Damai sejahtera bagi kamu.” Setelah Roh Kudus turun, Petrus berkhotbah berapi-api dan tidak takut lagi untuk mewartakan kebangkitan Kristus kepada semua orang. Tidak lama kemudian, Jemaat di Yerusalem mengalami penganiayaan. Apa yang mereka lakukan? Para Jemaat berpasrah diri sambil memohon Tuhan untuk memberikan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi ancaman itu. “Berikan kami keberanian untuk mewartakan Firman.” Doa sederhana ini mengungkapkan watak dari komunitas iman di Yerusalem.

Dalam Kisah Para Rasul 5: 41, dikisahkan bahwa para rasul diadili tetapi ketika mereka meninggalkan ruang pengadilan, mereka mengalami kegembiraan karena dianggap layak dihinakan karena Yesus. Mereka gembira karena menjadi murid Kristus. Karena terjadi penganiayaan di Yerusalem, para pengikut Yesus berlari ke wilayah Samaria. Ketika tahu bahwa Jemaat ada di Yerusalem, maka Petrus dan Yohanes diutus ke sana. Ada juga yang lari lebih jauh, yakni di Antiokhia  yang waktu itu menjadi ibu kota kekaiseran Romawi. Siapakah yang diutus ke Antiokhia? Bukan salah satu dari rasul-rasul tetapi Barnabas yang diutus.
Di Antiokhia, menurut Kisah Para Rasul 11:26, murid-murid itu untuk pertama kali disebut Kristen.

Antiokhia, berkat kegigihan Barnabas maka menjadi pusat kekristenan. Di lingkungan orang-orang Kristen sendiri terjadi pertentangan karena ada aliran keras dan aliran terbuka. Terjadi perdebatan sangat tajam dan untuk pertama kali Gereja terancam pecah. Peristiwanya sangat menegangkan tapi diselesaikannya dengan mudah. Bagaimana kita menyelesaikan masalah itu? Inilah menjadi sebuah tuntutan dan hal ini bisa menentukan watak kekatolikan kita.

Dalam Kisah Para Rasul 4:36, mengungkapkan siapa itu Barnabas. Nama asli Barnabas adalah Yusuf. Di mata para rasul, Yusuf dikenal sebagai Barnabas, yang artinya anak penghiburan. Mengapa disebut sebagai anak penghiburan? Ia menjual ladangnya dan membawa uangnya dan meletakkan ke kaki rasul-rasul. Kedermawanan ini merupakan salah satu dari wataknya yang utuh. Karena Barnabas orang baik, penuh Roh Kudus dan iman. Barnabas inilah yang diutus ke Antiokhia ketika Gereja Antiokhia berkembang. Penduduk Antiokhia bukan penduduk Yahudi karena itu diutus Barnabas untuk mengembangkan Gereja di sana.

Pada zaman awal, ada tiga pusat Gereja, yaitu: Yerusalem (Yakobus), Efesus (Yohanes Pengarang Injil) dan Antiokhia (Barnabas). Gereja Yerusalem hancur karena pemimpinnya terlalu keras. Gereja Efesus juga hancur karena Jemaatnya terlibat dalam perkelahian. Karena itu perjalanan misi utama Gereja dimulai dari Antiokhia. Ia (Barnabas) orang baik itu rela berbagi kepada orang lain. Setibanya di Yerusalem, Saulus menggabungkan diri ke murid-murid tetapi tidak dipercayai oleh murid-murid Yesus. Tetapi Barnabas menerima dan membawanya ke Antiokhia dan kemudian dipulangkan ke Tarsus (kampung halamannya Paulus). Paulus tinggal di Tarsus, kurang lebih tujuh  tahun dan tidak tahu mau berbuat apa. Tetapi kemudian, Barnabas ke Tarsus untuk menemui Paulus dan membawanya ke Antiokia.***(Valery Kopong) 








  

0 komentar: