Pada tanggal 13 Maret ini
kita merayakan ulang tahun pertama terpilihnya Jorge Mario Bergoglio
sebagai Paus Fransiskus. Dan bulan depannya lagi kita akan menyaksikan
acara yang akan mengungkapkan lebih banyak lagi tentang dia dan apa yang
kita harapkan selama masa kepausannya.
Bulan April, Paus Fransiskus akan menguduskan Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII secara bersamaan. Kedua paus ini masing-masing menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda sebagai Uskup Roma. Paus Yohanes XXIII mencanangkan Konsili Vatikan II dan membuka pintu Gereja selebar-lebarnya. Sedangkan Yohanes Paulus II menegakkan dan meluruskan Gereja ketika orang berpikir sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
Dari ucapan pembuka saat menjadi paus, Paus Fransiskus mengambil jalan yang berbeda dari Yohanes Paulus II dan juga penggantinya Benediktus XVI. Pendekatan yang dia ambil sangat menggugah, langsung, dan sederhana, sedangkan Yohanes Paulus II menarik jutaan manusia ke acara-acara yang sangat signifikan, dan Paus Benediktus, sebagai Uskup Roma atau Joseph Ratzinger sebagai seorang teolog, lebih memilih kesendirian seperti dia menulis buku dan ensiklik.
Paus Fransiskus dengan sigap memulai dengan gaya kepemimpinan yang lebih inklusif melalui konsultasi dan diskusi, seperti yang ditunjukkannya dalam panggilan untuk sinode luar biasa pada bulan Oktober. Dan dalam perjalanan, dia dengan tenang namun tegas menghadapi Gereja dengan arah yang segar, atau bahkan baru.
Tapi ada masalah yang harus dihadapai Gereja. Dengan dua pengamatan sederhana –satu melalui jurnalis dalam pesawat dalam perjalanan dari Brazil dan satunya lagi adalah wawancara panjang dengan majalah Yesuit tahun lalu- dia secara pribadi telah berhasil meredakan seks dan homoseksualitas sebagai topik yang menyita fokus Gereja Katolik.
Akan tetapi, selama 50 tahun Gereja memiliki masalah dan perubahan yang perlu ditangani:
-Klerikalisme, restrukturisasi pelayanan dan hidup selibat yang selama ini menjadi ‘tiket’ masuk dalam budaya klerus dan menjadi masalah bagi Gereja, yang Paus Paulus VI upayakan agar Konsili Vatikan tidak mempertimbangkannya;
-Pemahaman yang lemah akan biologi manusia yang tertuang dalam etika seksual Gereja, secara khusus yang ditunjukkan dalam isu kontrasepsi yang controversial;
-Sentralisme dan karirisme dalam administrasi Gereja;
-Pelecehan seksual yang mengerikan yang menghancurkan kredibilitas Gereja dalam kaitan dengan isu-isu moral;
-Proses hukum Gereja yang sudah kedaluwarsa;
-Dan mungkin isu terbesar adalah mengesampingkan perempuan dari posisi-posisi pengambil keputusan penting.
Di situlah inti dimasukkannya Paus Yohanes XXIII dalam kanonisasi bulan depan, yang menjadi indikasi jelas gaya dan arah kepemimpinannya selama menjadi Uskup Roma.
Upaya kanonisasi Paus Yohanes XXIII mengalami hambatan selama ini. Oleh karena itu Paus Fransiskus mengesampingkan proses yang lazim dan mendeklarasikan semampunya bahwa Yohanes XIII layak menjadi orang kudus.
Para penggemar Yohanes Paulus II sudah mulai menyanyikan kanonisasi pada saat pemakamannya - Santo Subito. Roda beatifikasi terus berputar bagi Yohanes Paulus II oleh para pendukungnya yang mendeklarasikan dirinya sebaga Yohanes Paulus Agung pada saat pemakamannya.
Penyatuan keduanya bukanlah suatu kebetulan. Seperti yang para pemimpin ketahui, mengelola perubahan mengisyaratkan bahwa pemimpin mengambil sebagian besar masyarakat, organisasi atau negara bersama dengan dia sehingga perubahan itu terjadi. Demikian juga dengan Paus Fransiskus harus membawa sebanyak mungkin orang dari faksi di Vatikan secara khusus dan Gereja secara umum, ketika dia membantu Gereja menghadapi realitas tantangan dan menjawabnya secara konstruktif.
Paus Francis telah menunjukkan bagaimana dia ingin mengatasi masalah dalam kehidupan Gereja dengan diskusi terbuka , partisipasi dari semua pihak dalam percakapan dan proses dalam mencapai kesimpulan. Seiring dengan topik panas lainnya, topik sinode luar biasa –kehidupan keluarga , tantangannya dan bagaimana memasukkan mereka yang bercerai dan menikah lagi dalam komunitas Gereja – adalah topik yang penanganannya hanya dapat ditangani dengan konsultasi dan sikap terbuka .
Sebagai seorang provincial Serikat Yesus tahun 1970an, Fransiskus dilihat secara luas dan juga diakuinya, sebagai sosok yang sangat tegas dan otoriter. Ketika Yesuit di Argentina terbagi, dia dia tidak melakukan banyak dan malah membuat yang lainnya menderita dengan gayanya itu. Namun dia belajar dari kegagalan itu. Inti kepemimpinan Yesuit adalah hubungan yang baik dan keterbukaan yang diperlukan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Setelah mengalami kegagalan selama menjadi provinsial, Jorge Mario Bergoglio mendapat kesempatan lain untuk belajar bagaimana memimpin ketika dirinya menjadi Uskup Agung Buenos Aires. Ketika itu, pendekatan yang dia lakukan adalah bahwa sikap tegas hanya akan diambil setelah adanya keterlibatan dan konsultasi secara ekstensif dengan mereka yang terlibat atau terkena dampak dari keputusannya.
Proses seperti ini artinya perubahan akan terjadi dalam waktu yang lama. Tetapi untuk memimpin secara efektif dalam kondisi yang seringkali bertentangan, Paus Fransiskus perlu memimpin secara inklusif, seperti yang secara simbolis terlihat dalam kanonisasi yang akan dilakukan pada bulan April mendatang.
Langkah yang diambil meredakan ketegangan dan pada saat yang sama secara tegas memberikan arah yang positif –menjinakkan para pemuja dengan mengkanonisasi Yohanes Paulus II yang juga menggarisbawahi keinginan Paus Fransiskus, yakni kembali kepada roh Vatikan II sebagai roh yang menjiwai Gereja. Dalam jalur pemikiran seperti itulah maka kanonisasi Yohanes XXIII juga dipercepat.
Dokumentasi titik balik kehidupannya setelah gagal sebagai provincial Yesuit terjadi di depan sebuah gambar di gereja Bunda Maria di Jerman, yang membongkar tali pengikat. Untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bunda Maria akan bekerja tanpa lelah membantu.
P. Michael Kelly, SJ adalah direktur eksekutif ucanews.com
Sumber: www.ucanews.com
Bulan April, Paus Fransiskus akan menguduskan Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII secara bersamaan. Kedua paus ini masing-masing menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda sebagai Uskup Roma. Paus Yohanes XXIII mencanangkan Konsili Vatikan II dan membuka pintu Gereja selebar-lebarnya. Sedangkan Yohanes Paulus II menegakkan dan meluruskan Gereja ketika orang berpikir sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
Dari ucapan pembuka saat menjadi paus, Paus Fransiskus mengambil jalan yang berbeda dari Yohanes Paulus II dan juga penggantinya Benediktus XVI. Pendekatan yang dia ambil sangat menggugah, langsung, dan sederhana, sedangkan Yohanes Paulus II menarik jutaan manusia ke acara-acara yang sangat signifikan, dan Paus Benediktus, sebagai Uskup Roma atau Joseph Ratzinger sebagai seorang teolog, lebih memilih kesendirian seperti dia menulis buku dan ensiklik.
Paus Fransiskus dengan sigap memulai dengan gaya kepemimpinan yang lebih inklusif melalui konsultasi dan diskusi, seperti yang ditunjukkannya dalam panggilan untuk sinode luar biasa pada bulan Oktober. Dan dalam perjalanan, dia dengan tenang namun tegas menghadapi Gereja dengan arah yang segar, atau bahkan baru.
Tapi ada masalah yang harus dihadapai Gereja. Dengan dua pengamatan sederhana –satu melalui jurnalis dalam pesawat dalam perjalanan dari Brazil dan satunya lagi adalah wawancara panjang dengan majalah Yesuit tahun lalu- dia secara pribadi telah berhasil meredakan seks dan homoseksualitas sebagai topik yang menyita fokus Gereja Katolik.
Akan tetapi, selama 50 tahun Gereja memiliki masalah dan perubahan yang perlu ditangani:
-Klerikalisme, restrukturisasi pelayanan dan hidup selibat yang selama ini menjadi ‘tiket’ masuk dalam budaya klerus dan menjadi masalah bagi Gereja, yang Paus Paulus VI upayakan agar Konsili Vatikan tidak mempertimbangkannya;
-Pemahaman yang lemah akan biologi manusia yang tertuang dalam etika seksual Gereja, secara khusus yang ditunjukkan dalam isu kontrasepsi yang controversial;
-Sentralisme dan karirisme dalam administrasi Gereja;
-Pelecehan seksual yang mengerikan yang menghancurkan kredibilitas Gereja dalam kaitan dengan isu-isu moral;
-Proses hukum Gereja yang sudah kedaluwarsa;
-Dan mungkin isu terbesar adalah mengesampingkan perempuan dari posisi-posisi pengambil keputusan penting.
Di situlah inti dimasukkannya Paus Yohanes XXIII dalam kanonisasi bulan depan, yang menjadi indikasi jelas gaya dan arah kepemimpinannya selama menjadi Uskup Roma.
Upaya kanonisasi Paus Yohanes XXIII mengalami hambatan selama ini. Oleh karena itu Paus Fransiskus mengesampingkan proses yang lazim dan mendeklarasikan semampunya bahwa Yohanes XIII layak menjadi orang kudus.
Para penggemar Yohanes Paulus II sudah mulai menyanyikan kanonisasi pada saat pemakamannya - Santo Subito. Roda beatifikasi terus berputar bagi Yohanes Paulus II oleh para pendukungnya yang mendeklarasikan dirinya sebaga Yohanes Paulus Agung pada saat pemakamannya.
Penyatuan keduanya bukanlah suatu kebetulan. Seperti yang para pemimpin ketahui, mengelola perubahan mengisyaratkan bahwa pemimpin mengambil sebagian besar masyarakat, organisasi atau negara bersama dengan dia sehingga perubahan itu terjadi. Demikian juga dengan Paus Fransiskus harus membawa sebanyak mungkin orang dari faksi di Vatikan secara khusus dan Gereja secara umum, ketika dia membantu Gereja menghadapi realitas tantangan dan menjawabnya secara konstruktif.
Paus Francis telah menunjukkan bagaimana dia ingin mengatasi masalah dalam kehidupan Gereja dengan diskusi terbuka , partisipasi dari semua pihak dalam percakapan dan proses dalam mencapai kesimpulan. Seiring dengan topik panas lainnya, topik sinode luar biasa –kehidupan keluarga , tantangannya dan bagaimana memasukkan mereka yang bercerai dan menikah lagi dalam komunitas Gereja – adalah topik yang penanganannya hanya dapat ditangani dengan konsultasi dan sikap terbuka .
Sebagai seorang provincial Serikat Yesus tahun 1970an, Fransiskus dilihat secara luas dan juga diakuinya, sebagai sosok yang sangat tegas dan otoriter. Ketika Yesuit di Argentina terbagi, dia dia tidak melakukan banyak dan malah membuat yang lainnya menderita dengan gayanya itu. Namun dia belajar dari kegagalan itu. Inti kepemimpinan Yesuit adalah hubungan yang baik dan keterbukaan yang diperlukan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Setelah mengalami kegagalan selama menjadi provinsial, Jorge Mario Bergoglio mendapat kesempatan lain untuk belajar bagaimana memimpin ketika dirinya menjadi Uskup Agung Buenos Aires. Ketika itu, pendekatan yang dia lakukan adalah bahwa sikap tegas hanya akan diambil setelah adanya keterlibatan dan konsultasi secara ekstensif dengan mereka yang terlibat atau terkena dampak dari keputusannya.
Proses seperti ini artinya perubahan akan terjadi dalam waktu yang lama. Tetapi untuk memimpin secara efektif dalam kondisi yang seringkali bertentangan, Paus Fransiskus perlu memimpin secara inklusif, seperti yang secara simbolis terlihat dalam kanonisasi yang akan dilakukan pada bulan April mendatang.
Langkah yang diambil meredakan ketegangan dan pada saat yang sama secara tegas memberikan arah yang positif –menjinakkan para pemuja dengan mengkanonisasi Yohanes Paulus II yang juga menggarisbawahi keinginan Paus Fransiskus, yakni kembali kepada roh Vatikan II sebagai roh yang menjiwai Gereja. Dalam jalur pemikiran seperti itulah maka kanonisasi Yohanes XXIII juga dipercepat.
Dokumentasi titik balik kehidupannya setelah gagal sebagai provincial Yesuit terjadi di depan sebuah gambar di gereja Bunda Maria di Jerman, yang membongkar tali pengikat. Untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan. Bunda Maria akan bekerja tanpa lelah membantu.
P. Michael Kelly, SJ adalah direktur eksekutif ucanews.com
Sumber: www.ucanews.com
0 komentar:
Post a Comment