Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi, sepertinya naluri
panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa. Khotbah Romo Dan yang selalu berapi-api memberikan semangat bagiku
dan ingin mengikuti jejak Kristus
menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku
terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan
sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding cita-citaku.
Cita-citaku cuma satu. Ingin
menjadi calon imam dan mengikuti pendidikan mulai di seminari menengah. Sejak
duduk di bangku kelas 9 SMP Yos Sudarso, aku mempunyai niat khusus ini, apalagi
didukung oleh Romo Dan. Sosok Romo Dan
adalah gembala yang baik, bisa membimbing aku untuk mengenal lebih jauh tentang
arti panggilan.
“Cita-cita menjadi imam?” aku
melamun sendiri di ruang sakristi itu
“Jangan ngelamun, Anung!.” Boby
menyadarkan Anung sekaligus sahabat putera altar. Sekarang kita mulai bertugas. Tugas Anung
hari ini adalah membawa salib.
Dengan sigap aku mulai mengambil salib dan bersiap untuk perarakan
misa. Perarakan berjalan lancar. Misa dimulai dengan khitmat namun sangat
terasa ketika mulai pembacaan Injil dan khotbah. Romo Dan membacakan Injil tentang Yesus memanggil
murid yang pertama, rasanya seperti
cocok dengan pergulatan hatiku ini. Dalam khotbahnya Romo Dan menekankan bahwa
Yesus memanggil murid-murid-Nya menunjukkan inisiatif pertama datang dari Yesus
sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa para murid yang dipanggil segera
meninggalkan segala-galanya tanpa kompromi.
Setelah misa, aku langsung pulang
ke rumah bersama kedua orang tuaku serta Tensae dan Doal adik-adiku. Dalam
mobil kijang yang kami tumpangi, aku duduk terpaku diam dan sambil memikirkan,
kapan aku harus menceritakan niatku untuk menjadi calon imam ini pada kedua
orang tuaku. Tetapi dengan mendengar khotbah Romo Dan tentang panggilan,
sepertinya menyiksa batinku dan seolah memaksa aku menceritakan cita-citaku
pada kedua orang tuaku.
“Anung kok diam aja?” Tanya ibunya
yang duduk di samping dalam mobil itu.
“Apa yang sedang Anung pikirkan?”
Tanya ibunya dengan rasa ingin tahu.
“Ibu mendengar isi khotbah Romo
Dan di mimbar?” Aku menanya balik pada ibuku.
“Ya, ibu mendengar baik tentang
isi khotbah Romo Dan.” Romo mengatakan bahwa panggilan itu semata-mata karena
inisiatif Yesus. Artinya seseorang yang dipanggil tidak punya hak untuk menolak
melainkan menerima panggilan itu.
“Mengapa Anung menanyakan isi
khotbah pada ibu?” Tanya ibunya.
“Ya, aku sengaja menanyakan isi
khotbah Romo Dan dan ini menjadi kesempatan bagi aku untuk menceritakan
cita-cita hidupku.
“Apa cita-citamu, Anung?” Tanya
ibunya dengan penuh penasaran
“Cita-citaku ingin masuk ke
seminari supaya bisa menjadi seorang imam. Sejak terlibat dalam kegiatan putera
altar, aku merasa tertarik terutama pada kesaksian hidup Romo Dan. Bagi aku,
Romo Dan adalah seorang gembala yang baik dan memimpin umatnya dengan sangat
bijak. Karena itu menjadi daya tarik bagi aku
untuk menjalani hidup seperti Romo Dan.”
“Ibu mendukungmu untuk melanjutkan
pendidikan ke seminari menengah untuk
menunjang panggilanmu yang luhur ini.”
“Apa? Ibu mendukung Anung menjadi
imam? Tanya ayahnya dengan penuh sinis. Bapak sekali-kali tidak memperbolehkan
Anung menjadi calon imam. Bapak ini orang Batak yang tidak memperbolehkan anak laki-laki sulung
untuk menjadi imam. Karena anak laki-laki pertama adalah pelanjut marga kita,
sinaga. Adikmu saja yang akan masuk ke seminari tetapi Anung menjadi andalan pelanjut marga kita dan pada waktunya
nanti Anung menjadi pewaris keturunan dari marga sinaga.
“Ah, Bapak ini suka menghalangi
cita-citaku.” Tukas aku. Supaya bapak tahu bahwa panggilan dari Tuhan itu
merupakan inisiatif dari-Nya dan manusia
yang dipanggil harus memberikan jawaban atas panggilan itu. Tuhan yang
memanggil manusia tidak mengenal dari suku atau marga mana. Tuhan hanya
mementingkan kerelasediaan manusia untuk membuka diri terhadap panggilan itu.
Panggilan itu sedang aku rasakan dan ada
dorongan yang sangat kuat untuk mengikuti panggilan itu dengan memulai langkah
awal masuk ke seminari menengah.
Sesampai di rumah, kami mulai berdebat lagi tentang panggilan dan menjadi
cita-citaku. Tetapi bapakku berkeras kepala dan mempertahankan pola pikir lama
dan selalu mengarah pada kepentingan marga Sinaga. Apakah karena mementingkan
keberlangsungan hidup marga Sinaga sehingga cita-citaku menjadi
korban? Aku terus berdoa supaya Tuhan
sendiri bisa membuka pintu hati bapakku untuk memahami lebih jauh arti
panggilan ini. Aku merasa gagal menjalani panggilanku karena terbentur pada
tuntutan marga.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment