-->
Oleh: Valery Kopong*
Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada
bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan menjadi “ikon perdamaian” yang perlu
dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan
sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi
sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan
rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota
komunitas ini berasal dari
karyawan-karyawan dari tiga perusahaan
yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas
Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali,
anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan
rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri
dari 8-10 orang. Tanggal 1 September
2012 yang lalu, mereka membersihkan lima
rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi
dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya
Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo
Gregorius-Tangerang).
Rasyid, salah seorang anggota
“Komunitas Berhati” yang memeluk agama
Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo
Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang
mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu
tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,”
tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony
yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar
komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok
lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial
ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya
di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
Komunitas ini memberikan ciri
tersendiri karena di dalamnya mencakup agama, etnis, budaya dan karakter yang sangat
berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi sepertinya mereka sanggup
berdialog, menerima satu sama lain sebagai sesama peziarah yang sedang menata
kehidupan iman. Apa yang dilakukan itu
merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua
rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu,
mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh
simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung
dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa
yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari
itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama
pemeluk agama lain sebagai sesama
peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
Toleransi dalam kehidupan
beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang
sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu
dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”
baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal.
Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna
ketika masing-masing orang sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat
tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar apa yang dikatakan oleh sosiolog Max Weber bahwa, “agama adalah
jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan
itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang
dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu
saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki
nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan.
Beberapa hari terakhir ini rasanya bangsa ini dilanda oleh gemuruh
peperangan antarkelompok, antaretnis bahkan antaragama yang pada akhirnya
mengorbankan nyawa dan harta benda. Konflik yang terjadi seperti di Lampung
Selatan dan beberapa daerah lain lebih menunjukkan kecemburuan sosial sebagai
pemicu utama. Memang diakui bahwa wilayah Lampung dikenal
sebagai wilayah sasaran transmigrasi
yang sudah terjadi sejak lama. Pertemuan antara orang-orang luar (pendatang)
dengan masyarakat lokal tidak terhindar lagi. Yang mesti terus dilakukan adalah
bagaimana membangun komunikasi antar satu dengan yang lain agar pada akhirnya
semua penduduk saling menerima sebagai anggota masyarakat yang plural. Masyarakat
plural adalah masyarakat yang memiliki pelbagai keunikan dan sekaligus dilihat
sebagai kekayaan yang bisa memberi warna dalam kebhinekaan bangsa ini. Kini
masalah agama, masalah penduduk asli dan masyarakat pendatang tidak perlu dipersoalkan lagi ketika disandingkan dengan pendekatan baru di
mana kesadaran hidup sosial lebih
ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh “Komunitas Berhati” menunjukkan
sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya
dialog agama dan etnis bukan sesuatu yang mewah dan istimewa di zaman ini.
Bangsa Indonesia terus memperjuangkan keselarasan hidup dan perjuangan
ini tak pernah selesai. Dari hari ke hari upaya membongkar sebuah kemapaman
secara primordial, barangkali bisa mengalami kesulitan ketika “benteng otonomi
daerah” terus dibangun sebagai pilar untuk menekan kelompok masyarakat
pendatang. Kita perlu memandang bangsa ini dalam kebhinekaan seperti yang
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Memandang orang lain dalam
kotak-kotak primordial maka cepat atau lambat, kita terperangkap masuk ke dalam
“ruang kecurigaan” sepanjang hidup.***
0 komentar:
Post a Comment