Thursday, July 10, 2008

Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia

Oleh Ignas Kleden

Pada 31 Oktober 2006 Clifford Geertz meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menurut pengakuannya sendiri, dari usia yang panjang itu 10 tahun lebih dihabiskannya dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.

Geertz belajar antropologi di Universitas Harvard, pada Department of Social Relations, yang didirikan oleh Clyde Kluckhon, bersama beberapa tokoh lainnya, menulis disertasinya di bawah bimbingan Cora DuBois, berdasarkan penelitiannya di Jawa pada tahun 1952, dan menyelesaikan S-3 pada 1956 dengan disertasi yang terbit belakangan sebagai buku berjudul The Religion of Java.

Menerobos Nederlandosentrisme

Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia karena penelitian yang dilakukan di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Pokok kajiannya meliputi agama Jawa, politik aliran (abangan, santri, priyayi), watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, pengelompokan politik tanpa basis kelas, perbandingan Islam Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope of religion dan the force of religion), perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan di Bali (antara individualisme pasar dan rasionalitas ekonomi tanpa kemampuan organisasi ekonomi di satu pihak, berhadapan dengan kemampuan organisasi ekonomi tanpa individualisme pasar dan tanpa rasionalitas ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskannya sebagai theater state, apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali, serta praktik pertanian Jawa yang semenjak tanam paksa tidak berhasil mengalami evolusi menjadi pertanian kapitalis, tetapi mengalami involusi yang menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah banyak dan karena itu tidak memungkinkan investasi baru.

Perlu segera ditambahkan bahwa bukan saja hasil penelitian itu saja yang membuatnya penting di Indonesia, tetapi juga kenyataan bahwa dia termasuk kelompok pertama sarjana ilmu sosial Amerika yang, sengaja atau tidak, telah membuat studi Indonesia tidak hanya terpusat di Leiden dengan menjadikan Indonesia pokok kajian yang penting dalam dunia akademis di Amerika Serikat. Nederlandosentrisme dalam studi Indonesia mulai diterobos dan muncul diversifikasi yang kemudian menyebar ke Australia, Jerman, Rusia, Jepang dan tempat-tempat lain. Dunia mendapat beberapa perspektif yang berbeda tentang bagaimana Indonesia dilihat dari luar dan dari dalam.

Pemberontakan ilmiah

Dalam tradisi antropologi sendiri, latar belakang pendidikannya di Universitas Harvard rupanya banyak mewarnai pemikirannya di kemudian hari. Jalan yang ditempuh Geertz dalam penelitiannya, buat sebagian, merupakan pemberontakan ilmiah terhadap apa yang menjadi mainstream dalam studi antropologi di tempatnya belajar pada waktu itu. Tradisi antropologi itu dibangun oleh nama-nama besar seperti Kroeber, Kluckhohn, Ruth Benedict, Robert Redfield, Franz Boas, Ralph Linton, Bronislaw Malinowski, Edward Sapir, dan Margaret Mead.

Geertz merasa bahwa tradisi itu di bangun di atas suatu keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu diusahakan agar antropologi menjadi disiplin dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Ide tentang kebudayaan lalu diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya-penjelas yang bersifat all-embracing atau semacam all-seasons explanation tentang apa saja yang hendak diusahakan manusia untuk dilakukan, dibayangkan, dikatakan atau dipercayainya.

Geertz yang muncul sebagai seorang Dilthey Amerika rupanya tidak puas dengan tendensi tersebut dan merasa harus mengambil jalan sebaliknya, atau jalan menyimpang. Tidak bisa dikatakan begitu saja bahwa orang Jerman pada dasarnya otoriter, orang Rusia suka kekerasan, orang Amerika praktis dan optimistis, dan orang Jepang dikendalikan oleh rasa malu (dan bukannya rasa salah). Antropologi tidak bekerja dengan agregat-agregat besar. Kebudayaan harus ditulis dengan huruf yang lebih kecil dan dilihat sebagai suatu perkara yang kurang ekspansionis. Untuk mengutip kata-kata Geertz yang khas: ....nampaknya masih tetap mendesak menjadikan kebudayaan suatu pengertian yang lebih terbatas, dengan penerapan yang lebih terbatas, makna yang terbatas, dan suatu pemakaian yang lebih dispesifikasikan sekurang-kurangnya suatu pokok yang agak lebih terfokus dari suatu ilmu yang agak lebih terfokus.

Ketika datang ke Jawa pada tahun 1952, Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelum itu yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau permukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Modjokuto dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik.

Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang, suatu definisi yang oleh Geertz dianggap lapidar tetapi tidak realistis.

Merelatifkan

Inilah sebabnya mengapa sulit sekali memasukkan Geertz dan pendekatannya ke dalam suatu kubu tertentu (suatu kecenderungan yang sering ditertawakannya sebagai pigeonhole disease). Tulisannya tidaklah mengokohkan suatu pendekatan, tetapi lebih merelatifkan banyak keyakinan ilmiah sebelumnya. Bukunya Interpretation of Cultures memberi sisi lain dan kontras terhadap buku kedua gurunya, Kroeber dan Kluckhohn, berjudul Culture yang menghimpun 171 definisi kebudayaan.

Kebudayaan selalu mengandung sesuatu yang menghindar dari apa yang dipastikan dalam definisi, dan karena itu hanya dapat ditafsirkan dan ditafsikan kembali. Bukunya Local Knowledge mulai mempersoalkan kedudukan ilmiah ilmu antropologi dalam suatu suasana akademis yang mengalami pemburaman ragam (blurred genres) tatkala sangat sulit menyebut Foucault seorang filosof, seorang sejarawan atau seorang sosiolog.

Bukunya Works and Lives: The Anthropologist as Author mengajukan tesis yang diterima dengan sukacita dalam kalangan literary criticism tetapi menimbulkan kejengkelan di kalangan antropolog profesional, yaitu bahwa teks etnografi tak berbeda dari sebuah teks literer dan dapat dikritik atas cara itu. Bukunya After The Fact adalah semacam meta refleksi bahwa bukan saja kebudayaan sebuah suku di Papua yang layak menjadi bahan etnografi, tetapi praktik para antropolog sendiri patut menjadi bahan penulisan etnografi. Dibutuhkan suatu etnografi tentang etnografi. Sedangkan bukunya Available Light berisikan refleksi seorang antropolog tentang berbagai isu filsafat dan apa yang dapat dipelajarinya dari sana. Sistem-sistem filsafat telah melicinkan banyak kawasan, tetapi jalan yang licin membuat orang mudah tergelincir. Seorang antropolog harus berjalan, dan karena sebaiknya memilih back to the rough ground, karena gesekan dengan kerikil dan pasir jalanan adalah jaminan bahwa seorang tetap berjalan tegap.

Dalam sebuah esainya yang banyak dipolemikkan, dia menulis pekerjaan sebaik-baiknya bagi seorang sarjana adalah menghancurkan ketakutan. Geertz pastilah bukan arsitek yang membangun gedung-gedung pengetahuan yang megah. Dia lebih mirip ikonoklast yang menghancurkan demikian banyak patung berhala dalam ilmu pengetahuan, dalam studi kebudayaan, dan, barangkali, dalam dirinya sendiri dan dalam diri pembacanya.

Ignas Kleden Sosiolog, Pengajar Teori Sosial dan Teori Sosiologi pada Program Pascasarjana FISIP UI



Pemimpin panutan atau pemimpin देमोक्रतिस?


(Ignas Kleden)

Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar. Dalam istilah antropolog Clifford Geertz dia diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan.
Jarang kita menyadari bahwa memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan. Dengan pengandaian semacam itu muncul ketidak-adilan yang secara tidak disadari diperlakukan pada diri sang panutan. Ini artinya, kalau sang panutan bertingkahlaku baik dan benar, maka hal itu diterima sebagai kenyataan yang serba biasa, sesuatu yang semata-mata given, seakan-akan keteladanan moralnya bukanlah hasil perjuangan pribadinya dalam mencapai nilai-nilai yang lebih luhur. Sebaliknya, kalau dia melakukan suatu kesalahan (dan mungkin kesalahan yang kecil saja) maka segera saja dia dianggap mengecewakan harapan banyak orang, menimbulkan frustrasi dan amarah pada para pengikutnya, yang menganggap dia tidak memenuhi suatu standar yang telah mereka terapkan pada dirinya. Dia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa yang kadangkala tak berhasil mengatasi kelemahannya sendiri.

Paham tentang pemimpin panutan sangat mungkin berasal dari masa aristokrasi, tatkala hubungan patron-klien merupakan pola utama yang mengatur hubungan sosial. Gampangnya, mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi juga model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan. Ungkapan bahasa Prancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang percaya bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup.

Paham ini diubah secara radikal dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide utama tentang persamaan setiap orang. Aspek persamaan yang sering ditekankan dalam diskusi politik adalah persamaan di depan hukum, yaitu ketetapan bahwa tiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam kondisi yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, sekali pun mereka berasal dari status sosial yang berbeda.

Namun demikian, secara implisit, demokrasi mengandaikan adanya semacam persamaan dalam moralitas di antara semua orang, tetapi dalam formula negatif. Berarti, demokrasi tidak mengandaikan bahwa semua orang mempunyai kebajikan yang sama, tetapi orang-orang dengan kebajikan yang berbeda-beda itu, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya kalau mereka mempunyai kekuasaan di tangannya. Asas noblesse oblige diganti oleh prinsip power tends to corrupt, yaitu bahwa kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap kekuasaan. Ini jelas dari kenyataan sederhana bahwa kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri, dan kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya. Dalam aristokrasi diandaikan bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa kewajiban dan kebajikan yang lebih tinggi. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat.

Karena itu dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa seorang pemimpin politik haruslah seorang panutan (sebagaimana berlaku dalam kehidupan agama misalnya). Mereka yang berada dalam kabinet, DPR, birokrasi pemerintahan, dan bahkan kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri --- untuk memakai istilah sosiologi Max Weber --- bukanlah moral virtuosi, yaitu orang-orang yang dikarunia kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalah-gunakan. Rakyat biasa tidak mengalami kerentanan tersebut, karena mereka tidak memiliki kekuasaan.

Inilah sebabnya, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cela atau bebas dari segala cacat. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik pengawasan melalui hukum yang berlaku, mau pun kontrol sosial oleh para warga. Pemimpin yang baik harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai moral courage untuk mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut. Jalan ini jauh lebih menguntungkannya secara politik daripada kalau dia berkelit dengan berbagai dalih bahwa dia tak melakukan kesalahan apa pun.

Terhadap godaan penyelewengan kekuasaan, kita tidak mengharapkan bahwa seorang pemimpin akan demikian teguh hatinya dan demikian saleh jiwanya sehingga sanggup mengatasi godaan penyelewengan dengan kekuatannnya sendiri. Demokrasi mengandaikan bahwa seorang pemimpin menjadi baik dan benar karena dia terhindar dari penyelewengan berkat pengawasan, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Di sini pemimpin menjadi baik dan berhasil bukan karena keunggulan pribadinya, tetapi karena dia dikekang dari praktek penyelewengan oleh pengawasan rakyatnya, meski pun dia sendiri ingin dan sangat tergoda untuk menyelewengkannya. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik, dan dia tidak usaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat demi kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (dan bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (dan bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyatnya (dan bukan untuk dirinya atau kelompok yang kebetulan dekat dengan dirinya).

Sumber: Artikel ini telah diterbitkan di SKH Kompas, 6 Juni 2006, rubrik Opini hlm. 7.
Penulis: Ignas Kleden adalah sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks

Oleh Ignas Kleden


Istilah "sejarah teks" adalah terjemahan bebas oleh penulis untuk konsep hermeneutik yang lebih dikenal dalam versi bahasa Jerman sebagai Redaktionsgeschichte atau sejarah redaksi. Konsep ini menegaskan bahwa setiap teks yang diproduksi dalam kebudayaan selalu mempunyai semacam riwayat hidup berupa sejarah penyusunan, kodifikasi, perubahan, atau revisi redaksi dan mungkin juga otorisasi teks yang terjadi dari waktu ke waktu.

Mengetahui sejarah redaksi ini merupakan sebuah prasyarat penting untuk menyimak makna teks itu dalam hubungan dengan konteks penciptaan atau penyusunannya karena sering terjadi pergantian atau pertukaran semantik,
penambahan anotasi, penyisipan bagian-bagian baru dalam editing, perbaikan sintaksis atau modulasi stilistik, yang mengakibatkan pergeseran makna atau perubahan tekanan pada berbagai bagian teks itu.

Sudah jelas Pancasila adalah sebuah teks utama untuk Indonesia. Dalam sejarah redaksinya, tanggal 1 Juni 1945 menjadi sebuah momen yang amat penting karena pada hari itu Pancasila dikemukakan kepada suatu publik politik
untuk dipertimbangkan, diuraikan masing-masing silanya secara rinci, dan didemonstrasikan keseluruhannya sebagai suatu konfigurasi pemikiran yang utuh. Soekarno sebagai penggagas dan juru bicaranya pada waktu itu dengan tegas
memberikan dua kualifikasi utama kepada Pancasila, yaitu kedudukannya sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) dan fungsinya sebagai suatu pandangan (tentang) dunia (Weltanschauung).

Soekarno dalam pidato yang bersejarah itu menyamakan begitu saja dasar filsafat negara dan suatu pandangan dunia. Patut dicatat bahwa pandangan dunia, yaitu world view atau Weltanschauung diperlakukan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai pokok kajian dan penelitian ilmu-ilmu budaya. Clifford Geertz, misalnya, melihat world view sebagai gagasan orang-orang dalam suatu kelompok budaya tentang dunia yang mereka hadapi dan hayati, berupa ikhtisar kompleksitas dunia itu dalam beberapa gambaran yang disederhanakan: apakah dunia itu pada dasarnya baik atau jahat, real atau maya, abadi atau sementara, merupakan tempat persinggahan sejenak atau tempat orang mengolah nasib dan membangun masa depannya. Sosiolog Jerman-Inggris, Karl Mannheim, berbicara tentang Weltanschauung eines
Zeitalters atau pandangan dunia dalam suatu kurun waktu sejarah, jadi mirip dengan suatu semangat zaman atau Zeitgeist. Sementara itu, filosof Jerman, Karl Jaspers, berpendapat bahwa Weltanschauung tak lain dari suatu jenis filsafat (karena sifatnya yang menyeluruh dan tidak sektoral), tetapi tidak sekadar suatu filsafat yang spekulatif, tetapi filsafat yang efektif, suatu wirkende Philosophie, yang sanggup memberi harapan, kepercayaan, dan membangun komitmen.

Apa pun soalnya, cukup jelas bahwa Soekarno, selama dua dasawarsa (sejak 1926 hingga 1945), berpikir keras tentang apa yang dapat mempersatukan berbagai kelompok suku di Indonesia menjadi suatu bangsa yang dapat menentukan
nasibnya sendiri melalui sebuah negara merdeka. Apakah mungkin tercapai sebuah dasar tempat semua orang dapat berdiri bersama secara politik di atas suatu platform nasional?

Sebagai aktivis politik yang berpengalaman, Soekarno memiliki perhatian yang tertuju pertama-tama pada suatu integrasi politik yang dapat mempertemukan dan mempersatukan berbagai kelompok politik pada watu itu. Dia tidak banyak berpikir tentang integrasi sosial atau integrasi budaya, yang kemudian menjadi pokok pemikiran tokoh-tokoh, seperti Ki Hadjar Dewantara atau Sutan Takdir Alisjahbana.
Apa yang dicari oleh Soekarno adalah suatu tema yang cukup luas, tetapi cukup terpadu, tempat semua kelompok politik terpenting pada masa itu merasa terwakili asasnya, identitasnya, dan kepentingannya.

Dalam istilah ilmu politik sekarang, Soekarno secara meyakinkan melakukan suatu agregasi kepentingan politik dan mengartikulasikannya dengan berhasil.
Jelas sekali Soekarno harus memperhitungkan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam, sebagai kelompok agama terbesar yang terwakili dalam NU dan Masjumi. Tanpa mencantumkan sila ke-Tuhan-an kelompok-kelompok agama
sangat mungkin tidak tertarik mendukung negara yang akan didirikan. Atas cara yang sama tanpa mencantumkan sila kebangsaan golongan nasionalis yang mendapat kristalisasi politiknya dalam PNI barangkali akan tinggal apatis.
Demokrasi dan kedaulatan rakyat jelas akan menarik perhatian kelompok politik yang menekankan kepentingan rakyat seperti MURBA dan para pejuang demokrasi, seperti Hatta dan para muridnya dalam PNI Baru. Demikian pula tanpa
mengikutsertakan sila keadilan sosial, partai-partai politik berhaluan kiri tidak akan merasa terpanggil.

Tak perlu diuraikan panjang lebar bahwa penghormatan kepada martabat manusia tidak bisa diabaikan karena hal tersebut merupakan isu yang dianggap menjadi tanda-kenal kaum inteligensia baru, khususnya kelompok politik yang
mencita-citakan modernisme sebagaimana dapat diamati dalam subkultur PSI dan Masjumi misalnya. Jadi, berbeda dari Karl Mannheim, Soekarno tidak berbicara tentang pandangan dunia dari suatu kurun waktu, tetapi dari suatu tempat tertentu yang bernama Indonesia. Juga, berbeda dari Karl Jaspers, Soekarno tidak berbicara tentang filsafat tentang dunia (Weltanschauung), tetapi filsafat tentang kehidupan bersama dalam suatu negara. Dalam arti itu, Pancasila diusulkan sebagai pandangan hidup (Lebensanschauung) secara politik Apakah prinsip-prinsip Pancasila dipetik dari nilai-nilai dalam peradaban dunia atau digali dari kebudayaan-kebudayaan Nusantara adalah isu yang dimainkan dengan piawai oleh Soekarno sebagai teknik promosi dan persuasi terhadap pendengarnya, melalui retorika
yang amat terpelajar dengan pengucapan yang gilang-gemilang.

Dasar paling bawah (bottom line) pemikiran Soekarno adalah suatu gagasan yang dapat merepresentasikan identitas dan asas sebanyak mungkin kelompok politik, dan sekaligus dengan itu mengagregasikan kepentingan politik dalam
spektrum seluas mungkin. Singkat kata, dari segi genealoginya, Pancasila terlahir sebagai suatu historico-political gentleman agreement, yaitu kesepakatan dari orang-orang dan kelompok-kelompok yang saling menghormati, meskipun
mereka sadar ada banyak perkara di antara mereka yang tetap sulit dipertemukan. Kesepakatan itu harus dibuat agar dapat tercipta suatu landasan bagi konsensus nasional mengenai negara yang akan terbentuk.

Kita bersyukur bahwa RI sudah terbentuk di atas landasan tersebut. Fondasi politik ini sampai kini masih membuat Indonesia sebuah rumah bagi semua orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya. Semoga
rumah ini tidak berubah menjadi transit house, sekadar tempat bermalam dan menaruh koper bagi orang-orang yang hendak bepergian entah ke mana.


Ignas Kleden, Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber: Kompas, 23 Juni 2007

Pak Harto dalam Kebenaran

Oleh: Ignas Kleden

Saat ini, ketika mantan Presiden Soeharto diberitakan menderita beberapa penyakit yang cukup berat, muncul kembali perdebatan perlu-tidaknya beliau diadili.

Dalam perdebatan ini, ada baiknya dibedakan dua perkara yang erat hubungannya, tetapi berbeda sifatnya, yaitu mengadili dan memaafkan Pak Harto.

Siti Hediyati Hariyadi, putri Soeharto, pada Sabtu (20/5/2004) di Desa Tanjung, Muntilan, menyatakan permohonan maaf atas nama mantan Presiden kepada seluruh rakyat Indonesia untuk segala kekurangan dan kesalahan selama masa pemerintahannya yang lebih dari 30 tahun. Permintaan maaf bisa dilakukan, tetapi tidak menyelesaikan persoalan karena orang dapat juga meminta maaf untuk kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja. Pengendara sepeda motor yang menyenggol anak kecil yang mendadak berlari melintasi jalan raya akan meminta maaf sekalipun dia tidak sengaja menyenggol anak itu.

Masalah hukum dan politik

Persoalan yang kini dihadapi bangsa Indonesia ialah apakah bekas Presiden ini melakukan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan serta apakah kesalahan-kesalahan itu melanggar batas wewenang kekuasaannya, merugikan orang banyak dan menguntungkan diri sendiri dan orang-orang dekatnya, bertentangan dengan HAM dan melanggar konstitusi, atau mengakibatkan kekerasan politik yang menimbulkan penderitaan pada orang-orang yang tak seharusnya menderita akibat kekerasan politik itu dan yang seharusnya dilindungi oleh kekuasaan politik yang ada padanya. Atau sebaliknya, dugaan dan tuduhan orang banyak selama ini tidak terbukti sama sekali atau hanya terbukti sebagian. Mengapa kesalahan atau tidak bersalahnya mantan Presiden itu harus dibuka di pengadilan?

Dalam masalah hukum dan masalah politik seorang pemimpin dapat dimaafkan, tetapi lebih dulu harus jelas apakah ada kesalahan-kesalahan besar yang sudah dilakukannya atas cara yang melanggar hukum, dan jika ada, kesalahan-kesalahan mana saja yang dapat dimaafkan. Secara politik dan secara hukum kita tak mungkin memberi maaf kepada seseorang yang belum jelas melakukan kesalahan atau tidak melakukan kesalahan sama sekali.

Untuk memakai analogi, Presiden Republik Indonesia dapat memberi grasi atau menolak grasi. Namun, grasi hanya diberikan kepada seseorang yang oleh pengadilan telah ditetapkan melakukan kesalahan dan pelanggaran hukum. Grasi tidak mungkin diberikan kepada seseorang yang tidak jelas melakukan kesalahan atau barangkali tidak bersalah sama sekali.

Selain itu, dalam budaya politik Indonesia, rupanya kita harus berani memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat-sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat-sifat moral) di pihak lain. Pilihan negara hukum adalah memenangkan sifat-sifat moral itu di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis, yang akhirnya hanya terbawa oleh kecenderungan like and dislike dalam kebudayaan.

Preseden tentang keadaan itu bukannya tidak ada. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah dihukum dengan tahanan rumah tanpa suatu pengadilan (cermin perasaan tega), dan kini Presiden kedua hendak dimaafkan begitu saja juga tanpa pengadilan (cermin perasaan kasihan). Dalam dua keadaan itu kita berlaku tidak adil karena yang seorang dihukum tanpa pengadilan, dan yang lain hendak diampuni tanpa pengadilan. Perlakuan yang diberikan kepada keduanya tidak didasarkan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, tetapi semata-mata berdasarkan perasaan dan sifat-sifat psikologis, yang dapat berubah dari waktu ke waktu.

Kebiasaan menghukum seseorang atau sekelompok orang tanpa pengadilan, lalu membebaskan mereka juga tanpa pengadilan merupakan praktik buruk yang tidak membantu penegakan negara hukum, bahkan memperkuat kesewenang-wenangan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang menghukum, kemudian sewenang-wenang mengampuni, tanpa ada alasan jelas apakah seseorang layak dihukum karena melakukan pelanggaran hukum, atau apakah dia layak diampuni.

Kecenderungan ini selalu merupakan godaan besar untuk pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, dan pengadilan harus dapat berperan sebagai rem yang mengekang kecenderungan kepada kesewenang-wenangan seperti itu. Soekarno telah menghukum lawan-lawan politiknya, seperti Mochtar Lubis dengan kawan-kawannya, dalam penjara Madiun tanpa pengadilan dan pemerintahan Soeharto membebaskan mereka tanpa pengadilan. Seterusnya rezim Soeharto menghukum Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya dengan pembuangan di Pulau Buru tanpa pengadilan, kemudian membebaskan mereka tanpa pengadilan.

Ketidakadilan

Jika Pak Harto dimaafkan begitu saja tanpa pengadilan menurut hukum yang berlaku, suatu ketidakadilan akan terjadi dan akan menimbulkan dendam sejarah yang berlarut-larut. Seandainya ada orang- orang yang menderita kerugian besar dan ketidakadilan oleh kekerasan politik Presiden Soeharto selama beliau berkuasa, bagaimana perasaan mereka dapat dipulihkan jika sebab musabab dari kerugian atau penderitaan mereka sama sekali tidak pernah diungkapkan dalam suatu pengadilan (sekalipun kompensasi terhadap kerugian mereka tidak selalu dapat dilakukan)?

Sebaliknya, jika dugaan bahkan tuduhan mengenai kekerasan politik itu tidak terbukti di pengadilan, dengan itu nama baik Soeharto dapat direhabilitasikan secara publik dan dengan demikian diakhiri segala purbasangka yang selama ini beredar dalam gosip politik di Indonesia.

Karena itu, mengabaikan pengadilan untuk Pak Harto, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan terhadap dua pihak. Ketidakadilan terhadap orang-orang yang mungkin menderita akibat penggunaan (dan penyalahgunaan) kekuasaan Pak Harto (jika hal itu terbukti), sekaligus ketidakadilan terhadap Pak Harto sendiri (jika dugaan mengenai pelanggaran yang dilakukannya justru tidak terbukti).

Kepentingan rakyat

Usul yang hendak diajukan dan dibela dalam tulisan ini adalah pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto sebaiknya dilaksanakan demi kepentingan rakyat Indonesia dan demi kepentingan Pak Harto sendiri. Bagaimana hal ini dilakukan, terserah para pejabat lembaga-lembaga pengadilan dan ahli-ahli hukum kita. Sejauh ini Jaksa Agung menunjukkan usaha yang layak didukung untuk mendapatkan suatu bentuk pengadilan yang dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia dan dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto.

Pengadilan Pak Harto tidak akan mengurangi rasa hormat rakyat Indonesia terhadap bekas pemimpin nasionalnya. Apalagi jika pengadilan telah menetapkan apa yang bisa dianggap kesalahan dan pelanggaran dan dalam hal apa Pak Harto ternyata tidak bersalah. Menghormati seorang pemimpin politik tidak berarti memperlakukannya sebagai seorang santo, tetapi menerima segala apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan, sebagai lessons learned bagi pemimpin nasional di masa datang dan bagi rakyat Indonesia.

Politik Indonesia akan menjadi maju jika ditegakkan di atas landasan sejarah politik yang tidak ditutup-tutupi sehingga menghadirkan kebenaran tentang manusia yang dapat dipelajari orang lain. Amicus Plato sed magis amicus veritas (Plato sahabatku, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran), begitu konon ucapan Aristoteles tentang guru dan pendahulunya itu. Kita akan selalu menghormati para pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan, tetapi jauh lebih dewasa dan bermartabat jika kita dapat menghormati mereka dalam kebenaran.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/24/opini/2678782.htm




BBM

Ia kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyempit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan dibentuk buat melumat apa saja.

”Aku penuh persaingan. Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kubenci.”

Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Daniel Day-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau menipu untuk menang.

Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sentralnya sosok Plainview di layar putih itu. Yang kita ikuti adalah kisah tentang kekuasaan yang membuat seseorang seakan-akan palu godam, tentang kemauan merengkuh dan memiliki yang membuat orang bengis. Sutradara dan penulis skenario Paul Thomas Anderson berkisah tentang seorang raja minyak di wilayah California pada awal abad ke-20.

Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada 1927. Tapi ada beda besar antara film Anderson dan novel Lewis. Tokoh Ross dalam Oil! bukan mirip seekor hewan yang paranoid seperti Plainview. Meskipun begitu, Ross dengan dingin menyogok politikus dan pejabat, yakin bahwa uang suap bisa membuat urusan cepat beres.

Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa berkilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda terjadi.

Kita tak hanya menyaksikannya dalam film dan membacanya dalam novel. Di Indonesia, kita mengalaminya dalam kehidupan: Indonesia pada 1970-an adalah Indonesia yang dimanjakan petrodolar, ketika Pertamina yang seharusnya milik Republik itu praktis jadi kerajaan pribadi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan keluarganya, ketika kekayaan para pejabat perusahaan itu berkilau-kilau, tersimpan hingga di sudut yang jauh di luar negeri, ketika korupsi dan kemewahan membludak seperti tak akan berakhir—dan mungkin memang belum berakhir.

Kejiwaan yang dibentuk oleh uang yang licin, berkilau, dan melimpah dari barel demi barel itulah yang merupakan awal jalan sesat Indonesia.

Memang para pejabat Pertamina dan anak cucunya yang gombyor itu bukan makhluk seperti Daniel Plainview yang bertulang keras dengan wajah yang siap menerkam. Tapi justru perbedaan ini menandai sesuatu yang lebih berarti: bagaimanapun, Plainview jadi kaya oleh tangan dan kakinya sendiri, sedangkan para pejabat Pertamina dan anak cucu mereka hampir tak pernah meneteskan keringat untuk memperoleh harta & kuasa yang begitu menjulang.

Yang merisaukan, kecenderungan gombyor itu menular: seakan-akan Indonesia tak harus bersakit-sakit dahulu, seakan-akan kekayaan alam akan selalu tersedia. Maka segala hasrat untuk megah & mentereng pun berkobar: pada masa itu ada yang berniat membangun ”industri” penerbangan tanpa peduli perhitungan laba-rugi, ada yang dengan gampang berutang untuk membuat pabrik-pabrik pupuk terapung dan armada kapal tangki minyak raksasa; lapangan golf luas pun dibuka di mana-mana, rumah mewah besar yang lebih bergas ketimbang yang di Beverly Hills didirikan di hampir tiap kota besar.

Saya ingat arsitek pembangunan ekonomi Indonesia, Widjojo Nitisastro, memandang gila-gilaan waktu itu dengan masygul: ”Seharusnya, kita tak punya minyak….”

Tapi Widjojo dan para ekonom lain yang terkenal dengan ”uang ketat” itu tak sepenuhnya berkuasa. Presiden Soeharto memang mendengar suara mereka—tapi tak selalu, dan tak lama. Mewah dan manja telah jadi jalan sesat Indonesia.

Memang ada usaha untuk mencoba mengingatkan, tapi usaha itu tak laku. Pada 1972 terbit sebuah laporan yang mengejutkan dunia, The Limits to Growth. Buku itu hasil penelitian yang ditugasi oleh The Club of Rome, sebuah lembaga swasta yang didirikan Aurelio Peccei, industriawan Italia, dan Alexander King, ilmuwan Skotlandia. Dalam The Limits to Growth kita diingatkan, pertumbuhan ekonomi akan ada batasnya dan sumber energi akan kian habis.

Saya ingat cendekiawan terkemuka Indonesia, Soedjatmoko, yang diundang untuk ikut membahas laporan itu, pulang ke Indonesia dan menyerukan agar kita meninjau kembali ”strategi pembangunan”. Ia bicara tentang perlunya ”teknologi madya” yang ramah terhadap lingkungan dan hemat minyak bumi.

Saya menyebutnya ”neo-Gandhiisme”: gema suara Gandhi yang memilih hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja, dan hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.

Tapi ”neo-Gandhiisme” itu lenyap sebelum jadi. Mungkin karena di dalamnya tak ditelaah bagaimana nanti posisi Indonesia di depan dunia luar yang terus menumbuhkan ekonomi dan kekuatan teknologi. Semboyan ”kecil itu indah” Schumacher terdengar terlalu romantis. Di negeri Gandhi sendiri, India, teknologi dikembangkan—juga senjata nuklir.

Dan kita juga abai kembali. Kita terus di jalan minyak yang berkilau, licin, dan menyesatkan. Melalui ”krisis moneter” 1989, kita terus menghimpun mobil mewah (dan mendapatkan subsidi untuk bensinnya) dan terus mendirikan mall demi mall (dan menikmati subsidi untuk listriknya). Kita melanjutkan ”Sutowo-isme” yang alpa bahwa energi, terutama BBM, akan mencekik kita.

Maka, ketika harga minyak membubung di dunia, kita kaget. Kita lupa pada 1998 Campbell dan Laherrere sudah mengumumkan ke dunia harga minyak tak akan bisa turun. Kita lupa pertumbuhan ekonomi Cina dan India akan mengkonsumsi BBM dengan pesat. Permintaan pun naik, persediaan terbatas.

Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan mengecam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”.

”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan dari riwayat minyak. Di salah satu adegan Plainview memperingatkan, ”… Kalian punya kesempatan baik di sini, tapi ingat, kalian bisa kehilangan ini semua jika tak berhati-hati….”

Bicarakah ia kepada kita?

~Majalah Tempo Edisi. 16/XXXVII/09 - 15 Juni 2008~

Gua

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan.

Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan.

Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali.

Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber­senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke­dua anaknya tak pernah kembali.

”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men­jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?”

Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.”

Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya­ berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per­kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.”

Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.”

”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?”

Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pe­lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?

Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa kita harus memakai perisai?”

Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.

”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di­binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber­sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me­nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.”

Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah­wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre­sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin.

Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun?

Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa­ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere­ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung­kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.

~Majalah Tempo Edisi. 18/XXXVII/23 - 29 Juni 2008~