Thursday, July 10, 2008

Pak Harto dalam Kebenaran

Oleh: Ignas Kleden

Saat ini, ketika mantan Presiden Soeharto diberitakan menderita beberapa penyakit yang cukup berat, muncul kembali perdebatan perlu-tidaknya beliau diadili.

Dalam perdebatan ini, ada baiknya dibedakan dua perkara yang erat hubungannya, tetapi berbeda sifatnya, yaitu mengadili dan memaafkan Pak Harto.

Siti Hediyati Hariyadi, putri Soeharto, pada Sabtu (20/5/2004) di Desa Tanjung, Muntilan, menyatakan permohonan maaf atas nama mantan Presiden kepada seluruh rakyat Indonesia untuk segala kekurangan dan kesalahan selama masa pemerintahannya yang lebih dari 30 tahun. Permintaan maaf bisa dilakukan, tetapi tidak menyelesaikan persoalan karena orang dapat juga meminta maaf untuk kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja. Pengendara sepeda motor yang menyenggol anak kecil yang mendadak berlari melintasi jalan raya akan meminta maaf sekalipun dia tidak sengaja menyenggol anak itu.

Masalah hukum dan politik

Persoalan yang kini dihadapi bangsa Indonesia ialah apakah bekas Presiden ini melakukan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan serta apakah kesalahan-kesalahan itu melanggar batas wewenang kekuasaannya, merugikan orang banyak dan menguntungkan diri sendiri dan orang-orang dekatnya, bertentangan dengan HAM dan melanggar konstitusi, atau mengakibatkan kekerasan politik yang menimbulkan penderitaan pada orang-orang yang tak seharusnya menderita akibat kekerasan politik itu dan yang seharusnya dilindungi oleh kekuasaan politik yang ada padanya. Atau sebaliknya, dugaan dan tuduhan orang banyak selama ini tidak terbukti sama sekali atau hanya terbukti sebagian. Mengapa kesalahan atau tidak bersalahnya mantan Presiden itu harus dibuka di pengadilan?

Dalam masalah hukum dan masalah politik seorang pemimpin dapat dimaafkan, tetapi lebih dulu harus jelas apakah ada kesalahan-kesalahan besar yang sudah dilakukannya atas cara yang melanggar hukum, dan jika ada, kesalahan-kesalahan mana saja yang dapat dimaafkan. Secara politik dan secara hukum kita tak mungkin memberi maaf kepada seseorang yang belum jelas melakukan kesalahan atau tidak melakukan kesalahan sama sekali.

Untuk memakai analogi, Presiden Republik Indonesia dapat memberi grasi atau menolak grasi. Namun, grasi hanya diberikan kepada seseorang yang oleh pengadilan telah ditetapkan melakukan kesalahan dan pelanggaran hukum. Grasi tidak mungkin diberikan kepada seseorang yang tidak jelas melakukan kesalahan atau barangkali tidak bersalah sama sekali.

Selain itu, dalam budaya politik Indonesia, rupanya kita harus berani memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat-sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat-sifat moral) di pihak lain. Pilihan negara hukum adalah memenangkan sifat-sifat moral itu di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis, yang akhirnya hanya terbawa oleh kecenderungan like and dislike dalam kebudayaan.

Preseden tentang keadaan itu bukannya tidak ada. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah dihukum dengan tahanan rumah tanpa suatu pengadilan (cermin perasaan tega), dan kini Presiden kedua hendak dimaafkan begitu saja juga tanpa pengadilan (cermin perasaan kasihan). Dalam dua keadaan itu kita berlaku tidak adil karena yang seorang dihukum tanpa pengadilan, dan yang lain hendak diampuni tanpa pengadilan. Perlakuan yang diberikan kepada keduanya tidak didasarkan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, tetapi semata-mata berdasarkan perasaan dan sifat-sifat psikologis, yang dapat berubah dari waktu ke waktu.

Kebiasaan menghukum seseorang atau sekelompok orang tanpa pengadilan, lalu membebaskan mereka juga tanpa pengadilan merupakan praktik buruk yang tidak membantu penegakan negara hukum, bahkan memperkuat kesewenang-wenangan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang menghukum, kemudian sewenang-wenang mengampuni, tanpa ada alasan jelas apakah seseorang layak dihukum karena melakukan pelanggaran hukum, atau apakah dia layak diampuni.

Kecenderungan ini selalu merupakan godaan besar untuk pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, dan pengadilan harus dapat berperan sebagai rem yang mengekang kecenderungan kepada kesewenang-wenangan seperti itu. Soekarno telah menghukum lawan-lawan politiknya, seperti Mochtar Lubis dengan kawan-kawannya, dalam penjara Madiun tanpa pengadilan dan pemerintahan Soeharto membebaskan mereka tanpa pengadilan. Seterusnya rezim Soeharto menghukum Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya dengan pembuangan di Pulau Buru tanpa pengadilan, kemudian membebaskan mereka tanpa pengadilan.

Ketidakadilan

Jika Pak Harto dimaafkan begitu saja tanpa pengadilan menurut hukum yang berlaku, suatu ketidakadilan akan terjadi dan akan menimbulkan dendam sejarah yang berlarut-larut. Seandainya ada orang- orang yang menderita kerugian besar dan ketidakadilan oleh kekerasan politik Presiden Soeharto selama beliau berkuasa, bagaimana perasaan mereka dapat dipulihkan jika sebab musabab dari kerugian atau penderitaan mereka sama sekali tidak pernah diungkapkan dalam suatu pengadilan (sekalipun kompensasi terhadap kerugian mereka tidak selalu dapat dilakukan)?

Sebaliknya, jika dugaan bahkan tuduhan mengenai kekerasan politik itu tidak terbukti di pengadilan, dengan itu nama baik Soeharto dapat direhabilitasikan secara publik dan dengan demikian diakhiri segala purbasangka yang selama ini beredar dalam gosip politik di Indonesia.

Karena itu, mengabaikan pengadilan untuk Pak Harto, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan terhadap dua pihak. Ketidakadilan terhadap orang-orang yang mungkin menderita akibat penggunaan (dan penyalahgunaan) kekuasaan Pak Harto (jika hal itu terbukti), sekaligus ketidakadilan terhadap Pak Harto sendiri (jika dugaan mengenai pelanggaran yang dilakukannya justru tidak terbukti).

Kepentingan rakyat

Usul yang hendak diajukan dan dibela dalam tulisan ini adalah pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto sebaiknya dilaksanakan demi kepentingan rakyat Indonesia dan demi kepentingan Pak Harto sendiri. Bagaimana hal ini dilakukan, terserah para pejabat lembaga-lembaga pengadilan dan ahli-ahli hukum kita. Sejauh ini Jaksa Agung menunjukkan usaha yang layak didukung untuk mendapatkan suatu bentuk pengadilan yang dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia dan dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto.

Pengadilan Pak Harto tidak akan mengurangi rasa hormat rakyat Indonesia terhadap bekas pemimpin nasionalnya. Apalagi jika pengadilan telah menetapkan apa yang bisa dianggap kesalahan dan pelanggaran dan dalam hal apa Pak Harto ternyata tidak bersalah. Menghormati seorang pemimpin politik tidak berarti memperlakukannya sebagai seorang santo, tetapi menerima segala apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan, sebagai lessons learned bagi pemimpin nasional di masa datang dan bagi rakyat Indonesia.

Politik Indonesia akan menjadi maju jika ditegakkan di atas landasan sejarah politik yang tidak ditutup-tutupi sehingga menghadirkan kebenaran tentang manusia yang dapat dipelajari orang lain. Amicus Plato sed magis amicus veritas (Plato sahabatku, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran), begitu konon ucapan Aristoteles tentang guru dan pendahulunya itu. Kita akan selalu menghormati para pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan, tetapi jauh lebih dewasa dan bermartabat jika kita dapat menghormati mereka dalam kebenaran.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/24/opini/2678782.htm




1 comment:

Anonymous said...

Saya setuju dengan usul yang diajukan, dimana seharusnya pengadilan terhadap Pak Harto dilakukan. Setidaknya dengan dilakukannya pengadilan itu orang-orang yang dulu pernah menyimpan dendam saat masa pemerintahannya akan dapat menjadi lebih lega. Menurut saya,hukum itu tidak memandang bulu. Siapapun yang telah bersalah baik jendral ataupun presiden sekalipun tetap harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena dari kesalahan itulah kita dapat belajar,dan mencoba untuk tidak jatuh ke lubang yang sama untuk ke dua kalinya.

Nama: Angeline.
Kelas: Xb.
No: 2.