Wednesday, September 7, 2011

Hukum Tuhan Terus Menantang

Oleh: Vinsen Hayon

Adalah Seasmus O’Grady, pemeran antagonis dalam film Charlie Angel: Full Throttle, mentato tulisan ini, “Only God will jugde me” di punggungnya ketika mendekam di bui. Tulisan ini berkesan kuat sebagai penolakan vonis hukum atas dirinya. Tidak lama mendekam di bui karena kasus pembunuhan yang ia lakukan, O’Grady kemudian bebas berkat “bantuan” seorang pejabat negara. Selanjutnya, O’Grady bekerja pada sang “pemberi bantuan” tersebut untuk kepentingan mafia.

Pada suatu percaturan mafia harta antik bernilai miliaran dolar, O’Grady tewas menggenaskan. Akibat percikan api dari petek gas ke matanya, ia menjadi buta seketika sehingga niat menyulut api tersebut ke wajah sang lawan gagal total. Sembari dalam kebutaan ia berusaha menghindari serangan dari lawan lain, dengan bergerak tak seimbang ke pojok lain dari atap gedung hotel yang tinggi. Di pojok itu ia tergelincir dan jatuh. Ia tewas mengerikan. Kematian O’Grady seperti ini, apakah merupakan jawaban atas tulisan di punggungnya? Atau bukti hukum Tuhan atas dirinya?

Lex Naturalis

Kisah kematian O’Grady berbanding terbalik dengan kematian para saksi iman/martir, nabi/prophet, orang suci/benar pada zaman lalu, misalnya Yohanes Baptista. Kematiannya tragis. Kepalanya dipenggal oleh algojo atas perintah penguasa, Raja Herodes.

Atas kasusnya, tidak ada pro-kontra secara berlebihan. Realita ini jauh sekali dari kasus kematian para “nabi zaman ini” yang karena baptisan terpanggil jadi nabi, atau karena perbuatan baik yang dilandasi nilai kemanusiaan, menjadi korban ketidakadilan suatu sistem hukum (mafia peradilan) yang kurang proporsional dan profesional. Skenario politik peradilan yang “kaliber” sering bahkan selalu menggugurkan dan mengabaikan kasus dan proses hukum mereka di balai pengadilan? Mengapa? Karena mungkin para nabi zaman ini adalah orang kecil, tidak mampu membiayai peradilan dan tidak berpengaruh (bukan penguasa) atau sedang dijerumuskan mafia peradilan, sebagai upaya melecehkan kebenaran dan menampilkan wajah kusut peradilan. Atau karena tidak sinergis antara Lex Naturalis=LN (hukum dunia) dan Lex Aeterna=LA (hukum keabadian/Ilahi).

Albert Nolan OP dalam Jesus Before Christianity (1991), mencatat bahwa pada 63 SM, Palestina menjadi koloni Pemerintahan Roma. Di daerah-daerah koloni diangkat seorang pemimpin. Sebagai calon terkuat, Herodes diangkat menjadi raja orang Yahudi dan Yesus lahir pada masa pemerintahan Herodes, yang dikenal dengan nama Herodes Agung. Atas perintahnya, seluruh anak negeri yang berumur dua tahun ke bawah dibunuh. Keadaan Kota Betlehem dan sekitarnya bermandikan darah dan berhiaskan ratap tangis duka yang dalam. Tidak ada hukum (HAM) yang menyentuhnya sampai pada tahun 4 SM Herodes Agung meninggal. Kerajaannya dibagi menjadi tiga, untuk tiga anaknya. Herodes Arkhelaus (Yudea dan Samaria). Herodes Antipas (Galilea dan Perea), dan Herodes Filipus (wilayah paling utara).

Herodes Arkhelaus, dalam menjalankan sistem peradilannya, menerapkan aturan hukumnya sendiri. Dirinya menjadi sumber hukum sehingga keputusan hukumnya tidak melalui balai pengadilan. Bukti representatif LN Herodes tertulis di Kitab Sinoptik tentang pembunuhan Yohanes.

Dalam kisah ini tidak dilukiskan pemberontakan dan demonstrasi yang terjadi setelah peristiwa kematian Yohanes. Demikian Kitab Sinoptik, “Para pengikut Yohanes mendengar hal itu, mereka datang dan mengambil mayatnya dan membaringkannya dalam kuburan.” Alasan kuat bahwa misi keselamatan umat manusia menjadi fokus. Kisah ini secara manusiawi diketahui sebagai hukum yang keras dan tindakan keji. Lantaran sebuah vonis hukum lahir dari dendam, tunduk pada keinginan sang istri (Herodias bukan istri sah) dan tekanan sumpah agar tidak hilang simpati koleganya (pembesar-pembesar, perwira-perwira, dan orang-orang terkemuka). Skenario keputusan hukumnya berdasar pada tiga hal di atas dan tidak jelas pijak duduk aturannya. Realita logika dikelabui oleh pihak yang bersekutu dengannya, dalam bentuk “hasutan” Herodias, kelincahan menari putrinya, dan sumpah yang diucap dan harus dipenuhi agar tidak kehilangan hormat, kedudukan, dan jabatan.

Vonis yang lahir dari dendam dan tunduk kepada kemauan orang ketiga, secara analog memperjelas bahwa LN ciptaannya tidak sama sekali menampakkan partisipasinya pada LA.

Misi hukum yang ultimo yakni benar, jujur, adil, dan bertanggung jawab sebagai dambaan jiwa manusia yang adalah ciptaan/milik Tuhan tidak mendapat kemuliaan di alam jagat raya, di dunia nyata, demikian St Agustinus (354-430), sang pemikir besar kristiani pada abad-abad pertama. Berhulu dari sini, ke mana arah persis hukum yang harus diberlakukan manusia untuk para “nabi zaman” ini?

Dunia peradilan kita

Terlepas dari interpretasi ilmiah-kritis atas hukum, paham LN mengajarkan, “Orang benar selamat/bebas dari hukuman dan orang salah/jahat mendapat hukuman.” Atau “Membalas yang baik dan menghukum yang jahat”. Atas ajaran ini, manusia hanya diberikan dua pilihan. Sepadan ajaran di atas, LN menerapkan ajaran yang hanya membutuhkan tafsiran lurus dan tidak dapat dipoles lagi menurut kemauan manusia bahwa, “Ne aliquid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult” (jangan berbuat kepada orang lain, apa yang tidak engkau ingin orang berbuat kepadamu). Pada tataran ini wajib hukumnya bahwa lex naturalis wajib rujuk pada lex aeterna.

LN sebagai praksis atau LA adalah bukti kasih yang berlaku bagi manusia dan bukannya pamer hukum rimba, “siapa kuat dia menang”. Tujuan hukumannya juga mulia dan dihormati karena memberi peluang perbaikan sikap-laku yang salah, menyadarkan dan menobatkan agar tidak lagi melakukan salah (termasuk kesalahan yang sama), sehingga dapat selamat/bebas. Sikap-laku harus berubah total agar bebas dari hukuman baik di dunia ini maupun di akhirat. Atas dasar ajaran inilah misi LN bercermin pada LA. Kepekaan hukum mendapat dasarnya di sini sehingga tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan yang tidak benar. Hukum dan keputusannya menyeimbangkan (mendamaikan) dua pihak yang berperkara, yang menerima keputusan sebagai kebenaran dan adil. LN yang mencerminkan LA: melenyapkan/mengabaikan ‘hukum rimba’ dan menjadikan dunia ini memiliki “tuan” sekaligus menghapus implementasi lex naturalis Herodes.

Pada tataran ini lahirlah clairvoyance (pencerahan), gaudium et spes (kegembiraan dan harapan), untuk menyajikan dan mewujudkan kebenaran, keadilan, serta kejujuran di balai pengadilan zaman ini. Tentunya hukum kita pun mendapat purifikasi dan dasar pijak yang kuat, yakni berdasar pada fakta yang jujur dan melahirkan kebenaran dan keadilan sebagai nilai-nilai dasar lex aeterna yang membumi. Dan, apabila berlaku sebaliknya; berorientasi semata “duniawi” (mengutamakan rekayasa, kebohongan, dan duit), maka seperti apa kebenaran yang mau ditegakkan untuk nasib dan perjuangan para “nabi” zaman ini?

Apakah kebenaran yang dimaksud seperti paham dasar lex aeterna, yakni “Persesuaian antara res et intelectus (fakta dan pikiran). Persesuaian antara realita dan pikiran dapat diterima akal sehat dan normal.” Fakta “persesuaian” inilah yang terkadang membuat ruwet sebuah kasus dan menggugurkan sebuah vonis hukum yang seharusnya. So, apabila lex aeterna dihayati secara benar dan baik oleh manusia ciptaan Tuhan yang nota bene beragama-beriman, maka praktik hukum tidak harus dan selalu berseberangan dengan paham lex aeterna. Keputusan hukum yang benar dan adil tidak harus selalu berujung pada menanti dalam kepasrahan bahwa, “hanya Tuhan yang menghukum dengan adil” sebagai bukti sikap humble yang keliru. Keputusan yang hanya terjadi oleh kepasrahan atas kehendak sang penguasa LN dan bukan karena berdiri atas bukti akurat sebagaimana persesuaian antara res et intelectus, maka Sang Empunya lex aeterna terus menantang lex naturalis kita sampai pada kesudahan dunia ini.

Penulis adalah karyawan ST Ilmu Pastoral St Gregorius Keuskupan Agung Kupang

0 komentar: