Ia kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyempit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan dibentuk buat melumat apa saja.
”Aku penuh persaingan. Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kubenci.”
Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Daniel Day-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau menipu untuk menang.
Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sentralnya sosok
Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada 1927. Tapi ada beda besar antara film
Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa berkilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda terjadi.
Kita tak hanya menyaksikannya dalam film dan membacanya dalam novel. Di Indonesia, kita mengalaminya dalam kehidupan: Indonesia pada 1970-an adalah Indonesia yang dimanjakan petrodolar, ketika Pertamina yang seharusnya milik Republik itu praktis jadi kerajaan pribadi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan keluarganya, ketika kekayaan para pejabat perusahaan itu berkilau-kilau, tersimpan hingga di sudut yang jauh di luar negeri, ketika korupsi dan kemewahan membludak seperti tak akan berakhir—dan mungkin memang belum berakhir.
Kejiwaan yang dibentuk oleh uang yang licin, berkilau, dan melimpah dari barel demi barel itulah yang merupakan awal jalan sesat
Memang para pejabat Pertamina dan anak cucunya yang gombyor itu bukan makhluk seperti Daniel Plainview yang bertulang keras dengan wajah yang siap menerkam. Tapi justru perbedaan ini menandai sesuatu yang lebih berarti: bagaimanapun,
Yang merisaukan, kecenderungan gombyor itu menular: seakan-akan
Saya ingat arsitek pembangunan ekonomi
Tapi Widjojo dan para ekonom lain yang terkenal dengan ”uang ketat” itu tak sepenuhnya berkuasa. Presiden Soeharto memang mendengar suara mereka—tapi tak selalu, dan tak lama. Mewah dan manja telah jadi jalan sesat
Memang ada usaha untuk mencoba mengingatkan, tapi usaha itu tak laku. Pada 1972 terbit sebuah laporan yang mengejutkan dunia, The Limits to Growth. Buku itu hasil penelitian yang ditugasi oleh The Club of Rome, sebuah lembaga swasta yang didirikan Aurelio Peccei, industriawan Italia, dan Alexander King, ilmuwan Skotlandia. Dalam The Limits to Growth kita diingatkan, pertumbuhan ekonomi akan ada batasnya dan sumber energi akan kian habis.
Saya ingat cendekiawan terkemuka
Saya menyebutnya ”neo-Gandhiisme”: gema suara Gandhi yang memilih hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja, dan hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.
Tapi ”neo-Gandhiisme” itu lenyap sebelum jadi. Mungkin karena di dalamnya tak ditelaah bagaimana nanti posisi
Dan kita juga abai kembali. Kita terus di jalan minyak yang berkilau, licin, dan menyesatkan. Melalui ”krisis moneter” 1989, kita terus menghimpun mobil mewah (dan mendapatkan subsidi untuk bensinnya) dan terus mendirikan mall demi mall (dan menikmati subsidi untuk listriknya). Kita melanjutkan ”Sutowo-isme” yang alpa bahwa energi, terutama BBM, akan mencekik kita.
Maka, ketika harga minyak membubung di dunia, kita kaget. Kita lupa pada 1998
Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan mengecam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”.
”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan dari riwayat minyak. Di salah satu adegan
Bicarakah ia kepada kita?
~Majalah Tempo Edisi. 16/XXXVII/09 - 15 Juni 2008~
0 komentar:
Post a Comment