Thursday, September 4, 2008

BINTANG

Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak.

Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita se­akan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”

Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesua­tu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge­rakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re­publik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.

Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.

Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidak­adilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?

Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledak­kan bom, menebar takut dan maut, seperti Al-­Qa­­i­dah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan se­suatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasa­an, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.

Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita meng­ubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menja­lankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah ­kemasan. Partai jadi komoditas, lengkap dengan kha­yalan yang muncul: seakan­-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.

Kini kita punya media massa yang mempermudah pa­rodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luas­nya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gam­pang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhar­ta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus.

Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”

Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 - 31 Agustus 2008~

Perang

September 1, 2008


Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”

”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.

Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.

Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.

Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.

Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.

Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.

”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.

Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.

Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 - 07 September 2008~

Pesta kacang [bean festival] di Ile Ape

20 August 2008


Kak, kame mete pesta kacang.
Pia mete OHA.
Bupati nong hang di ega.


Pesan pendek alias short message service [SMS] ini saya terima dari Kristofora, adik kandung saya, di pelosok Lembata, Flores Timur, Senin 18 Agustus 2008, malam. Dia mengabarkan bahwa di kampung [Mawa dan Bungamuda, Kecamatan Ile Ape] sedang berlangsung PESTA KACANG. Bupati Andreas Duli Manuk dan istri, Margareta Hurek, hadir. Warga sedang ramai-ramai OHA.

OHA nama tarian tradisional di daerah-daerah etnis Lamaholot: Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan. Meskipun ada variasi di sana-sini, pada dasarnya OHA sama saja. Warga berpegangan tangan, bikin lingkaran, kemudian menari. Selang-seling laki-laki perempuan lebih bagus.

Tarian massal macam ini tidak membutuhkan kemampuan khusus macam tari-tarian di Jawa. Siapa saja bisa. Gerakannya sangat sederhana. Hanya saja, perlu beberapa penyanyi tradisional yang bernyanyi solo. Dia menguasai sastra Lamaholot--koda kiring, tutu nuan--sehingga syairnya muncul spontan. Bisa memuji, menyindir, bahkan mengkritik siapa saja, termasuk pejabat.

OHA sangat dinamis. Mula-mula solis menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Istilah musik klasiknya: poco a poco allegretto. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang yang bikin lingkaran membuat gerakan kaki secara rritmis. Bisa dibayangkan 50-80 orang mendentumkan kaki bersama-sama. Di sinilah letak keindahan OHA. Tarian yang berusia ratusan tahun ini senantiasa menarik perhatian orang baik yang hanya sekadar menonton, apalagi melakukannya.

Saking populernya, setiap ada pesta pernikahan, pesta kampung, atau apa saja, OHA selalu digelar. Dulu, orang rela jalan kaki cukup jauh ke kampung-kampung lain hanya untuk bisa OHA bersama-sama. Mana bisa OHA ditarikan sendiri, bukan? Apalagi, di sela-sela tarian orang bisa makan minum dengan lahap.

Dulu, mungkin juga sampai sekarang, OHA dilakukan dari malam sampai matahari terbit. Siangnya istirahat, kerja di kebun, malamnya OHA lagi, dan seterusnya. OHA memang bisa membuat orang Lamaholot kecanduan. Lebih-lebih kalau solis bisa membawakan ORENG [semacam nyanyian tunggal] dengan suara merdu dengan pesan mendalam.

Tarian sejenis OHA adalah HAMANG. Baik OHA maupun HAMANG dilakukan di NAMANG alias tanah lapang. Karena itu, semua kampung harus punya NAMANG. Lebih baik lagi kalau punya lapangan sepak bola. Berbeda dengan OHA yang dinamis, mencapai puncak dengan gerakan yang lincah-bersemangat, HAMANG relatif tenang dan lambat. Lebih reflektif.

Lagu-lagu yang dibawakan secara spontan sarat dengan hikmah kebijaksanaan, kritik sosial, sindiran, hingga doa-doa kepada Sang Pencipta. Tapi HAMANG bisa dengan lekas diubah menjadi OHA kalau situasinya menuntut demikian. HAMANG pun lazim dimainkan semalam suntuk.

Kembali ke PESTA KACANG.

Bagi kami di kampung, pesta kacang ini sangat penting maknanya secara kultural maupun religius. Lazim digelar tiap bulan Agustus, seperti sekarang, pesta kacang merupakan momentum untuk menengok kampung lama [lewo nolungen, lewo ulun]. Berada di kampung lama ibarat kembali ke akar kami sebagai lewo alawen, orang Lamaholot. Di sinilah aneka ritual adat Lamaholot [versi Mawa/Nobolekan] digelar secara relatif sempurna.

Kenapa disebut kampung lama? Ceritanya, hingga awal 1970-an penduduk Ile Ape yang berada di kawasan pesisir utara tinggal di kaki Ile Ape alias Gunung Api. Ata kiwan. Sekitar 5-7 kilometer dari pantai. Rumah di kampung lama sangat sederhana. Namanya ORING atau pondok. Tak pakai dinding. Setiap suku atau fam punya gugus rumah sendiri-sendiri. Rumah ini sangat sentral dalam momentum pesta kacang.

Pengaruh modernisasi, perjumpaan dengan dunia luar, kedatangan misionaris Katolik, era Orde Baru... membuat nenek moyang kami perlahan-lahan eksodus ke bawah [pantai]. Pondok-pondok, berikut berbagai perlengkapan adat, termasuk logam-logam peninggalan zaman dulu, ditinggalkan. Kampung lama pun menjadi arena kosong. Hanya ada beberapa orang yang mampir kalau kebetulan lewat.

Kampung lama, bagi anak-anak era 1980-an macam saya, ibarat sesuatu yang angker. Wingit, kata orang Jawa. Punya nilai mistis sangat tinggi. TULA GUDUNG atau upacara-upacara adat sangat khas. Juga ada banyak larangan, misalnya, tidak boleh mengambil sedikit pun salah satu bagian dari atap pondok dari daun kelapa atau alang-alang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.

Suku Hurek Making seperti saya ada tambahan pemali: Tidak boleh makan daging anjing! Kenapa? Ada legendanya sendiri. Kalau makan daging anjing, kata nenek moyang, bisa terkena penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Harus bikin upacara di rumah adat di kampung lama dan melakukan macam-macam ritual. Tapi, anehnya, banyak famili kami, fam Hurek, di luar Nusa Tenggara Timur yang makan daging anjing.

"Itu kan makanan, ciptaan Tuhan. Saya ikut Alkitab saja deh," kata Cornelis Hurek, paman saya di Malang. Pak Cornelis ini malah pernah beternak anjing. Orang-orang Lembata di Malang dan sekitarnya sering mampir di rumahnya, Kota Lama Gang Buntu 66 Malang, hanya untuk... makan RW. Tahu kan RW? Hehehehe....

Sebelum 1990, pesta kacang berlangsung biasa-biasa saja. Hanya ritual tahunan khusus untuk penduduk di kampung kami, khususnya Mawa dan Nobolekan. Pada era pembentukan 'desa gaya baru' di pesisir pantai, Mawa menjadi Desa Napasabok, sedangkan Nobolekan bergabung dengan Desa Bungamuda. Tapi dulu di kampung lama orang Mawa [Napasabok] dan Nobolekan ini satu kampung alias satu darah. Maka, logat Mawa dan Nobolekan sama saja. Beda dengan logat Atawatung atau Lamawara atau Lewotolok, desa tetangga.

Pesta kacang biasanya berlangsung lebih dari satu minggu. Diawali dengan membersihkan dan memperbaiki rumah adat suku masing-masing. RIE WANAN [tiang kanan] diperciki darah ayam oleh kepala suku. Halaman dan semua bagian penting di kampung lama dibersihkan. Para perempuan mengambil air dari sumur yang ada di bawah [pantai].

Ibu-ibu sibuk memasak. Para bapak yang pintar memancing atau menjala ikan ke pantai. Semua keluarga urunan lauk-pauk, gotong-royong luar biasa. Saya biasanya bantu menganyam ketupat. Ini makanan pokok pesta kacang. Simpanan kacang panjang [merah] di LEPO, wadah anyaman dari daun lontar, dikeluarkan. Kacang ini nantinya dicampur dengan jagung, dibuatlah ketupat. Komposisi kacangnya cukup besar.

Dari sinilah muncul istilah PESTA KACANG. Yah, kacang panjang dan kacang hijau memang makanan penting di Ile Ape. Ibu-ibu tidak pernah memasak nasi jagung 100% atau beras 100%, tapi mencampurnya dengan kacang sebagai NALINGEN. Tentu kacang direbus dulu sampai matang, baru ditanak dengan jagung menjadi nasi jagung.

Jadi, nenek moyang di Ile Ape sebenarnya secara tidak sadar mengkombinasikan karbohidrat dan protein nabati [kacang-kacangan] dalam makanannya. Ditambah sayur merungge alias kelor, plus ikan laut, wah menu itu cukup komplet menurut ilmu gizi. Sampai sekarang banyak orang Ile Ape 'tidak bisa' makan nasi kalau nasinya murni macam di Jawa. Harus ada NALINGEN alias biji-biji kacang panjang.

Pesta kacang yang semula biasa-biasa saja, alamiah, tradisional, lama-kelamaan diketahui orang luar. Termasuk turis Eropa. Orang-orang Ile Ape yang kebetulan menjadi pejabat, mahasiswa, dosen, perantau... menceritakan hal ini kepada orang luar. Lantas, muncul ide untuk menjadikan pesta kacang sebagai event pariwisata budaya.

"Kenapa tidak 'dijual' saja? Bisa mendatangkan devisa, menggerakkan ekonomi rakyat? Dan sebagainya," demikianlah pikiran-pikiran khas pejabat pariwisata.

Ndilalah, Bapak Andreas Duli Manuk, asli Nobolekan, kebetulan terpilih sebagai bupati Lembata. Lalu, saya dengar cerita bahwa jalan setapak menuju kampung lama alias LEWO NOLUNGEN diperbaiki. Diperlebar. Agar kendaraan roda empat bisa tembus ke sana. Tidak perlu lagi jalan kaki sambil menjunjung barang, memikul barang, macam saya dulu waktu kecil.

"Sekarang sudah enak sekali ke kampung lama. Bisa naik oto," kata adik saya. "Kame pia mete OHA," begitu bunyi pesan pendek di telepon seluler saya.

Wah, saya hanya bisa membayangkan PESTA KACANG versi modern di era seluler. Masih adakah suasana wingit, mistis, adat yang kental, macam dulu? Zaman memang terus bergulir. Dan kita tak mungkin membalik putaran jarum jam sejarah.

Orang Ile Ape, Lembata, Lamaholot umumnya, makin maju dan modern. Jalan pikirannya sudah berbeda jauh dengan Ama Arakian [RIP], mantan kepala suku, yang selalu memimpin ritual pesta kacan di kampung lama. Contohnya, ya, om saya di Malang yang mengabaikan larangan makan daging anjing.

"Yang penting, tite tetap peten lewo, peten Lera Wulan Tanah Ekan," katanya.

Ya, sudah!

Setahun kepergian Anne Satya Adhika (RIP)


Oleh Kahono

Engkaulah anugerah terindah dari Allah…

Saat undangan ini ditulis, genap sudah satu tahun anak kami Anne berpulang ke pangkuan Allah Yang Maha Suci, tepatnya besok tanggal 9 September 2008. Waktu yang belum mampu membendung air mata kami yang kadang masih kerap mengalir setiap muncul rasa rindu yang tak terperi.

Bukan kami tidak ikhlas dengan kepergiannya, tetapi perjalanan dua belas tahun bersamanya telah menyiratkan ikatan kuat dan dalam, bukan waktu yang pendek untuk merangkai sebuah jalinan cinta kasih dan menjalani hidup penuh perjuangan bersamanya.

Detik-detik terakhir sebelum Anne meninggalkan kami merupakan hari yang sangat mendebarkan bagiku sebagai orangtua sekaligus sebagai seorang ayah. Tarikan nafasnya satu-satu, dan Anne anakku pun mulai melemah, sehingga harus dibantu dengan alat pemompa. Kutunggui anakku terus-menerus, aku tahu Anne ingin menyampaikan kata-kata tetapi tidak bisa untuk mengatakannya.

Kami hanya dapat membelai rambutnya, mencium keningnya, memijit pelan punggungnya sambil memberikan bimbingan doa dan dorongan untuk sabar dan mendekatkan diri kepada-Nya. Aku melantunkan doa Bapa Kami di samping Anne, aku tahu anakku sadar dan mendengarkan doa itu, meski kondisi tubuhnya tidak memungkinkannya berkomunikasi. Anne berusaha menggapai tanganku dan tangan istriku ketika itu, lalu Anne menggenggam tangan kami dengan sangat erat, sementara itu aku terus melantunkan doa.

Itulah doa paling menyentuh dan tersedih dalam hidupku. Aku masih ingat betul percakapan kami dengan Anne lima menit sebelum Anne pergi, ”Anne...Anne..ma..maafkan ba..bapak ibu ya....” ketika itu Anne pun menjawab dengan suara lirih ”aa..aaaku tuh su..su..sudah memaafkan....ibuuu, bapak ma..maafkan Anne ya....” dan kami pun hanya bisa mengangguk, karena air mata kami semakin deras keluar begitu saja.

Usaha tim medis sudah maksimal, doa telah kami lantunkan, tapi kondisi Anne semakin memburuk. Akhirnya aku tidak lagi memohon kesembuhan, tetapi memohon pada Allah agar diberikan jalan terbaik. Tanggal 27 September 2007, pukul 09.45 WIB akhirnya Anne anakku menutup mata untuk selama-lamanya. Sambil berusaha untuk tabah, perasaanku sebagai ayah berkecamuk saat itu.

Anne telah pergi...Anne telah pergi...tapi apa yang dapat kulakukan kecuali sabar, pasrah kepada keagungan dan kebaikan Allah?. Tanpa kusadari air mataku terus keluar begitu deras, aku berusaha segera mengabari sanak saudaraku, dan saat kupegang gagang telepon aku pun tidak sanggup untuk berkata-kata, namun sanak saudaraku nampaknya sudah tanggap akan isak tangisku yang terdengar lirih di telepon.

Selamat jalan Anne anakku, maafkan bapak dan ibu... Semoga Allah Yang Maha Baik senantiasa memberikan kebahagiaan tiada tara di rumah-Nya yang kudus. Sesungguhnya segalanya milik Allah, dan hanya kepada Allah-lah segalanya akan kembali.

Anne...pelajaran berharga yang Anne berikan kepadaku, kepada kami, dan kepada semuanya akan arti hidup dan kehidupan bahwa semuanya akan kembali kepada Allah Yang Maha Agung semata, dan tidak ada yang abadi. Yang sombong, yang kaya, yang gagah, yang merasa besar pasti akan terurai juga menjadi tanah, dan akhirnya kebaikan dan keutamaan Allah juga yang berperan.

Anne...... kepergianmu kami ikhlaskan, bergembira dan berbahagialah di Surga, doakan dan tunggulah kami. Kiranya kelak kami akan juga menyusulmu. Ayah, Ibu dan Sela adikmu akan selalu menyayangi dan merindukanmu… Engkau adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada ayah, ibu, dan Sela ….

Kami yang menyayangimu.
Yogyakarta, September 2008

Anne Satya Adhika

Lahir: Rabu, 7 Juni 1995
Dipanggil Allah Yang Maha Suci : Rabu Legi, 26 September 2007

Diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Selasa, 9 September 2008
Pukul : 17.00 WIB
Tempat : Rumah kami Jl. Gejayan, Santren Gang Menur No. 5C Yogyakarta

Demikianlah undangan kami, atas perhatian dan kehadiran Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudari kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kahono dan keluarga

Kami menyadari karena jarak dan kesibukan yang tidak memungkinkan Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri undangan ini, maka sudilah kiranya menulis doa untuk anak kami di http://anne1995.wordpress.com/2008/08/23/buku-tamu/


Obbie Messakh di Metro TV

01 September 2008



Obbie Messakh itu ternyata ceria, suka bercanda, ceplas-ceplos. Beda jauh dengan lagu-lagunya yang sebagian besar bercerita tentang kesedihan, bahkan frustrasi. Ini terlihat saat Obbie Messakh tampil di acara Zona 80, Metro TV, Minggu 31 Agustus 2008. Selama satu jam, diselingi iklan, tentu, penonton televisi diajak kembali ke era 1980-an.

Obbie Messakh, pemusik asal Rote, Nusa Tenggara Timur, memang salah satu ikon 80-an. Suka tidak suka orang harus ingat Obbie kalau bicara tentang musik pop 1980-an. Karya-karyanya mendominasi Aneka Ria Safari dan Selecta Pop di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia masa itu.

Ratusan lagu, bahkan mungkin ribuan, telah lahir dari tangan Obbie Messakh. Sebab, Obbie mengaku mulai menulis lagu sejak 1974. Rinto Harahap menjadi salah satu penulis lagu yang banyak memberi inspirasi padanya. Namun, setahu saya, Obbie Messakh mulai melejit ketika direkrut JK Records pada awal 1980-an. Judhi Kristianto, bos JK Records, mengandalkan Obbie dan Pance Fransisikus Pondaag sebagai penulis lagu utama perusahaan rekaman itu.

Karakter lagu-lagu Obbie memang pas dengan karakter Judhi yang juga pemusik dan penulis lagu. Maka, puluhan artis pun diorbitkan JK Records. Sebut saja Lidya Natalia, Ria Angelina, Helen Sparingga, Heidy Diana, Dian Piesesha, Marina Elsera, Nindy Ellese... dan masih banyak lagi. Sukses Obbie di JK Records membuat produser lain di era 80-an terigur. Mereka antre menunggu lagu-lagu Obbie Messakh.

"Waduh, waktu itu nyari Bang Obbie susahnya setengah mati. Dia kan lagi jaya-jayanya," kata Ratih Purwasih di Zona 80, Metro TV. "Saya malah tidak pernah bertemu langsung sama Bang Obbie. Padahal, saya terangkat karena lagu-lagunya," tambah Angel Pfaff. Pada akhir Agustus 2008 ini tubuh Angel Pfaff terlihat gemuk berisi, tak lincah, jangkauan suaranya pun tidak prima lagi.

Angel, pelantun 'Pernahkah Dulu', bersama Ratih Purwasih--adik kandung penyanyi Endang S. Taurina yang juga kondang pada 1980-an--mendampingi Obbie Messakh di Zona 80-an. Pemandu acaranya Ida Arimurti dan Sys NS, dua penyiar radio yang kondang di Jakarta pada 1980-an. Di saat begitu banyak selebitis lama mengidap obesitas dan stroke, fisik Obbie Messakh tetap langsing macam 20-an tahun silam. Suaranya lebih tebal, tapi tetap nyaman. Ini karena Obbie memang sejak dulu aktif berolahraga.

Bagi Obbie Messakh, menulis lagu-lagu sweet pop ala JK Records merupakan berkah luar biasa pada 1980-an. Hampir semua artis yang diorbitkan dengan lagu karyanya melejit. Kaset--dulu belum ada CD--laku keras. "Paling sedikit terjual 400.000. Industri musik benar-benar booming," kenang Obbie yang lahir dan besar di Jakarta itu.

Sebagai perbandingan, saat ini bisnis kaset/CD memasuki masa yang sangat sulit. Studio banyak, siapa saja bisa bikin lagu, merekam lagu, membuat aransemen dengan berbagai corak, tapi... sulit dijual. Laku 20.000 saja sudah bagus. Bahkan, ada penyanyi terkenal sudah senang bukan main ketika albumnya terjual 2.000. Masa keemasan seperti yang dirasakan Obbie dan JK pada era 1980-an tampaknya hanya tinggal sejarah.

Di program musik nostalgia Metro TV yang mulai dilirik banyak orang itu, Obbie juga menjelaskan kasus pelarangan lagunya oleh pemerintah Orde Baru. Tepatnya, pada 1988 Menteri Penerangan Harmoko--sebagai penanggung jawab utama TVRI--murka gara-gara lagu Hati Yang Luka [karya Obbie Messakh, dibawakan Betharia Sonata] sangat sering keluar di TVRI. Di mana-mana orang menyanyikannya. Lantas, Pak Harmoko meminta agar TVRI tidak lagi menyiarkan lagu-lagu cengeng.

"Saya sendiri tidak paham apa yang dimaksud dengan 'cengeng'. Di kamus bahasa Indonesia tidak ada istilah itu," kata Obbie Messakh. Namun, Obbie mengakui pelarangan lagu-lagu manis ciptaannya juga membawa hikmah. Sebab, sejak itu dia sering diundang pejabat dan menteri-menteri.

Menurut Obbie, lagu 'Hati Yang Luka' itu justru membela kaum perempuan yang sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suami seenaknya main tangan. "Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu...," begitu antara lain lirik 'Hati Yang Luka'. Hanya saja, ungkapan advokasi versi Obbie Messakh dipahami secara berbeda oleh pemerintah, khususnya Pak Harmoko.

Setelah pelarangan pada 1988, Obbie Messakh tetap berkarya. Dia menulis lagu-lagu riang, bahkan pop dangdut. Masyarakat sempat suka, tapi tak sedahsyat lagu-lagu manis yang sudah menjadi trade mark Obbie Messakh. Dan, pelan tapi pasti, berakhirlah era keemasan Obbie Messakh, Pance Pondaag, Judhi Kristianto, Tommy J. Pisa, dan penyanyi-penyanyi sejenis. JK Records pun surut.

"Tapi saya senang karena sejak di JK Records sistem royalti sudah dipakai," ujar Obbie Messakh yang murah tawa itu. Gamblangnya, Obbie bisa membeli rumah, mobil, mencukupi nafkah keluarganya berkat royalti lagu-lagunya.

Sambil tidur-tidur ayam, saya menikmati Obbie Messakh menyanyikan dua lagu karyanya: Aduh Rindu dan Kau dan Aku Satu. Lagu-lagu ini pernah sangat terkenal di Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur. Saya masih ingat hampi semua bemo alias angkutan umum seakan berlomba menghibur para penumpang dengan lagu-lagu Obbie Messakh.

"Melodi, melodi memori
yang pernah kucipta
jadi teman setia....

Melodi, melodi memori
pengganti dirimu
penghibur sepi malamku...."

Pelajaran dari Pasal 76


Kamis, 4 September 2008

Makmur Keliat

Empat tahun UU TNI telah dikeluarkan. Yang amat kontroversial adalah Pasal 76. Pasal 76 mewajibkan pemerintah mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung atau tak langsung.

Kontroversi atas pasal ini melahirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan ”sudah jelas”. Kedua, meski UU TNI sudah berlaku selama empat tahun, pemerintah hingga kini belum bertindak nyata untuk mengambil alih.

Sejauh yang dapat dicermati, tanggapan pemerintah atas pasal ini adalah melalui pembentukan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI (TSTB) dan pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. TSTB dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan tahun 2005 dan telah menyelesaikan tugas identifikasinya. Timnas dibentuk melalui Keppres tahun 2008. Namun, kedua tim ini belum diberi wewenang untuk mengeksekusi Pasal 76.

Bagaimana menjelaskan kontroversi ini? Mengapa pasal itu hingga kini belum dieksekusi? Tidak ada penjelasan tunggal untuk menjawab berbagai pertanyaan ini. Maka, yang muncul adalah penjelasan- penjelasan yang bersifat spekulatif.

Empat spekulasi

Spekulasi pertama lahir dari kualitas pembuatan legislasi itu sendiri. Tidak adanya penjelasan tentang pasal ini disebutkan sebagai simbol dari kualitas yang memprihatinkan dari para legislator kita dalam membuat undang-undang. Undang-undang menjadi tidak operasional dan menjadi ”bom waktu” yang menyulitkan pemerintah. Ketidakjelasan bunyi Pasal 76 menjadi sebab mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) tidak dapat segera mengoperasionalkannya.

Pemerintah harus lebih dulu merumuskan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI, makna kepemilikan, pengelolaan secara langsung atau tidak langsung. Setelah pemaknaan ini jelas, baru dilakukan pengidentifikasian, jumlah unit bisnis yang memiliki keterkaitan dengan TNI. Pembentukan TSTB dan Timnas dimaksudkan untuk mengurai benang kusut yang ditinggalkan pasal itu. Kesimpulannya: lembaga legislatif harus ikut menanggung beban mengapa eksekusi pengambilalihan belum dilakukan hingga kini.

Spekulasi kedua berusaha menjelaskan dari motif ekonomi. Eksekusi belum dilakukan karena memberi waktu bagi semua kegiatan bisnis melakukan metamorfosis. Pasal 76 memberi rentang waktu amat panjang untuk eksekusi, yaitu hingga 16 Oktober 2009. Karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi presiden untuk segera mengeksekusi. Rentang waktu panjang ini dapat digunakan untuk mengubah status dokumen hukum dari ”bisnis” yang terkait TNI.

Pilihan metamorfosis juga dianggap sebagai jalan tengah untuk meminimalkan beban keuangan negara. Jika eksekusi segera dilakukan empat tahun lalu, ada kecemasan bahwa seluruh unit yang diambil alih itu ternyata rugi, memiliki utang besar, dan mengakibatkan tekanan beban anggaran yang kian besar. Tindakan seperti itu akan mengulangi pengalaman masa krisis finansial saat pemerintah melakukan pengambilalihan terhadap bisnis perbankan. Konklusi akhir dari penjelasan seperti ini adalah bahwa jika nantinya eksekusi pengambilalihan dilakukan, jumlah unit dan kekayaan yang diambil alih tidak terlalu besar dan dilakukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum.

Spekulasi ketiga terkait kepentingan stabilitas institusional TNI sendiri. Penjelasan berawal dari banyaknya jumlah personel TNI, diperkirakan mencapai 30.000 orang. Tidaklah mudah mengalihkan jumlah besar personel untuk masuk ke institusi TNI. Pengalihan harus dilakukan dengan menyiapkan kerangka kelembagaan serta phasing out-nya. Jika ini tidak dapat dilakukan, akan mengakibatkan dinamika dan instabilitas institusional di TNI. Kesimpulan dari penjelasan ini adalah pengambilalihan harus dilakukan secara hati-hati, membutuhkan waktu, dan menghindarkan seminimum mungkin terjadinya instabilitas institusional di lingkungan TNI.

Spekulasi keempat terkait karakter kepemimpinan nasional sebagai safety player dalam kompetisi politik nasional. Berbeda penjelasan lain, tanggung jawab dari pelambatan pengambilalihan sepenuhnya ada di tangan presiden. Karakternya yang amat hati-hati dan cenderung untuk menyenangkan semua pihak telah mengakibatkan formulasi eksekusi pengambilalihan harus dibuat seideal mungkin. Keharusan seperti ini membutuhkan waktu untuk perumusan. Dari sisi ini, pembentukan TSTB dan Timnas yang tidak diberi wewenang untuk melakukan eksekusi adalah simbol dari karakter psikologis itu.

Penjelasan itu juga menyebutkan sebenarnya amat sederhana untuk mengeksekusi pengambilalihan jika presiden menjadi seorang yang mengambil risiko, yaitu dengan menggunakan otoritasnya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Konklusi akhir dari penjelasan ini adalah ”bola” pengambilalihan bisnis TNI kini sepenuhnya di tangan presiden.

Tebang semuanya?

Kompetisi dari empat wacana inilah yang kini mewarnai diskusi tentang pengambilalihan bisnis TNI. Terlepas dari spekulasi mana yang paling reliable, pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah negeri ini masih jauh dari negara hukum. Saat suatu hukum hendak diimplementasikan, kita cenderung ”berwacana”, bukan segera melaksanakan ketentuan itu. Sebagai suatu makna, hukum pada dasarnya adalah melegalkan proses politik. Namun, ketika proses politik sudah selesai bekerja, yaitu saat sudah menjadi UU, hukumlah yang harus bekerja.

Kontroversi Pasal 76 juga merupakan simbol ketidakmampuan kita untuk menarik garis demarkasi semacam itu. Ketidakmampuan itu tampaknya tidak hanya tipikal pada pengaturan atas aktor keamanan, tetapi juga hampir mencakup pengaturan seluruh aktor dalam bidang kehidupan lain. Itu sebabnya, mungkin kalimat ”tebang semuanya” tidak pernah dilakukan karena dianggap menjadi yang melukai diri sendiri (self-defeating).

MAKMUR KELIAT Pengajar di FISIP Universitas Indonesia

Keluar dari Perangkap Pangan?


Kamis, 4 September 2008

Gatot Irianto

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.

Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah karena ledakan permintaannya.

Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.

Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.

Terigu dan ayam

Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini mendominasi pangan nonberas.

Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.

Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu, Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari perangkap pangan dan kemiskinan.

Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Produk lokal

Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii) bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.

India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga, waktu, dana, dan pengawalan kontinu.

Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.

Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5 tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.

Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian