Thursday, September 4, 2008

Pesta kacang [bean festival] di Ile Ape

20 August 2008


Kak, kame mete pesta kacang.
Pia mete OHA.
Bupati nong hang di ega.


Pesan pendek alias short message service [SMS] ini saya terima dari Kristofora, adik kandung saya, di pelosok Lembata, Flores Timur, Senin 18 Agustus 2008, malam. Dia mengabarkan bahwa di kampung [Mawa dan Bungamuda, Kecamatan Ile Ape] sedang berlangsung PESTA KACANG. Bupati Andreas Duli Manuk dan istri, Margareta Hurek, hadir. Warga sedang ramai-ramai OHA.

OHA nama tarian tradisional di daerah-daerah etnis Lamaholot: Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan. Meskipun ada variasi di sana-sini, pada dasarnya OHA sama saja. Warga berpegangan tangan, bikin lingkaran, kemudian menari. Selang-seling laki-laki perempuan lebih bagus.

Tarian massal macam ini tidak membutuhkan kemampuan khusus macam tari-tarian di Jawa. Siapa saja bisa. Gerakannya sangat sederhana. Hanya saja, perlu beberapa penyanyi tradisional yang bernyanyi solo. Dia menguasai sastra Lamaholot--koda kiring, tutu nuan--sehingga syairnya muncul spontan. Bisa memuji, menyindir, bahkan mengkritik siapa saja, termasuk pejabat.

OHA sangat dinamis. Mula-mula solis menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Istilah musik klasiknya: poco a poco allegretto. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang yang bikin lingkaran membuat gerakan kaki secara rritmis. Bisa dibayangkan 50-80 orang mendentumkan kaki bersama-sama. Di sinilah letak keindahan OHA. Tarian yang berusia ratusan tahun ini senantiasa menarik perhatian orang baik yang hanya sekadar menonton, apalagi melakukannya.

Saking populernya, setiap ada pesta pernikahan, pesta kampung, atau apa saja, OHA selalu digelar. Dulu, orang rela jalan kaki cukup jauh ke kampung-kampung lain hanya untuk bisa OHA bersama-sama. Mana bisa OHA ditarikan sendiri, bukan? Apalagi, di sela-sela tarian orang bisa makan minum dengan lahap.

Dulu, mungkin juga sampai sekarang, OHA dilakukan dari malam sampai matahari terbit. Siangnya istirahat, kerja di kebun, malamnya OHA lagi, dan seterusnya. OHA memang bisa membuat orang Lamaholot kecanduan. Lebih-lebih kalau solis bisa membawakan ORENG [semacam nyanyian tunggal] dengan suara merdu dengan pesan mendalam.

Tarian sejenis OHA adalah HAMANG. Baik OHA maupun HAMANG dilakukan di NAMANG alias tanah lapang. Karena itu, semua kampung harus punya NAMANG. Lebih baik lagi kalau punya lapangan sepak bola. Berbeda dengan OHA yang dinamis, mencapai puncak dengan gerakan yang lincah-bersemangat, HAMANG relatif tenang dan lambat. Lebih reflektif.

Lagu-lagu yang dibawakan secara spontan sarat dengan hikmah kebijaksanaan, kritik sosial, sindiran, hingga doa-doa kepada Sang Pencipta. Tapi HAMANG bisa dengan lekas diubah menjadi OHA kalau situasinya menuntut demikian. HAMANG pun lazim dimainkan semalam suntuk.

Kembali ke PESTA KACANG.

Bagi kami di kampung, pesta kacang ini sangat penting maknanya secara kultural maupun religius. Lazim digelar tiap bulan Agustus, seperti sekarang, pesta kacang merupakan momentum untuk menengok kampung lama [lewo nolungen, lewo ulun]. Berada di kampung lama ibarat kembali ke akar kami sebagai lewo alawen, orang Lamaholot. Di sinilah aneka ritual adat Lamaholot [versi Mawa/Nobolekan] digelar secara relatif sempurna.

Kenapa disebut kampung lama? Ceritanya, hingga awal 1970-an penduduk Ile Ape yang berada di kawasan pesisir utara tinggal di kaki Ile Ape alias Gunung Api. Ata kiwan. Sekitar 5-7 kilometer dari pantai. Rumah di kampung lama sangat sederhana. Namanya ORING atau pondok. Tak pakai dinding. Setiap suku atau fam punya gugus rumah sendiri-sendiri. Rumah ini sangat sentral dalam momentum pesta kacang.

Pengaruh modernisasi, perjumpaan dengan dunia luar, kedatangan misionaris Katolik, era Orde Baru... membuat nenek moyang kami perlahan-lahan eksodus ke bawah [pantai]. Pondok-pondok, berikut berbagai perlengkapan adat, termasuk logam-logam peninggalan zaman dulu, ditinggalkan. Kampung lama pun menjadi arena kosong. Hanya ada beberapa orang yang mampir kalau kebetulan lewat.

Kampung lama, bagi anak-anak era 1980-an macam saya, ibarat sesuatu yang angker. Wingit, kata orang Jawa. Punya nilai mistis sangat tinggi. TULA GUDUNG atau upacara-upacara adat sangat khas. Juga ada banyak larangan, misalnya, tidak boleh mengambil sedikit pun salah satu bagian dari atap pondok dari daun kelapa atau alang-alang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.

Suku Hurek Making seperti saya ada tambahan pemali: Tidak boleh makan daging anjing! Kenapa? Ada legendanya sendiri. Kalau makan daging anjing, kata nenek moyang, bisa terkena penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Harus bikin upacara di rumah adat di kampung lama dan melakukan macam-macam ritual. Tapi, anehnya, banyak famili kami, fam Hurek, di luar Nusa Tenggara Timur yang makan daging anjing.

"Itu kan makanan, ciptaan Tuhan. Saya ikut Alkitab saja deh," kata Cornelis Hurek, paman saya di Malang. Pak Cornelis ini malah pernah beternak anjing. Orang-orang Lembata di Malang dan sekitarnya sering mampir di rumahnya, Kota Lama Gang Buntu 66 Malang, hanya untuk... makan RW. Tahu kan RW? Hehehehe....

Sebelum 1990, pesta kacang berlangsung biasa-biasa saja. Hanya ritual tahunan khusus untuk penduduk di kampung kami, khususnya Mawa dan Nobolekan. Pada era pembentukan 'desa gaya baru' di pesisir pantai, Mawa menjadi Desa Napasabok, sedangkan Nobolekan bergabung dengan Desa Bungamuda. Tapi dulu di kampung lama orang Mawa [Napasabok] dan Nobolekan ini satu kampung alias satu darah. Maka, logat Mawa dan Nobolekan sama saja. Beda dengan logat Atawatung atau Lamawara atau Lewotolok, desa tetangga.

Pesta kacang biasanya berlangsung lebih dari satu minggu. Diawali dengan membersihkan dan memperbaiki rumah adat suku masing-masing. RIE WANAN [tiang kanan] diperciki darah ayam oleh kepala suku. Halaman dan semua bagian penting di kampung lama dibersihkan. Para perempuan mengambil air dari sumur yang ada di bawah [pantai].

Ibu-ibu sibuk memasak. Para bapak yang pintar memancing atau menjala ikan ke pantai. Semua keluarga urunan lauk-pauk, gotong-royong luar biasa. Saya biasanya bantu menganyam ketupat. Ini makanan pokok pesta kacang. Simpanan kacang panjang [merah] di LEPO, wadah anyaman dari daun lontar, dikeluarkan. Kacang ini nantinya dicampur dengan jagung, dibuatlah ketupat. Komposisi kacangnya cukup besar.

Dari sinilah muncul istilah PESTA KACANG. Yah, kacang panjang dan kacang hijau memang makanan penting di Ile Ape. Ibu-ibu tidak pernah memasak nasi jagung 100% atau beras 100%, tapi mencampurnya dengan kacang sebagai NALINGEN. Tentu kacang direbus dulu sampai matang, baru ditanak dengan jagung menjadi nasi jagung.

Jadi, nenek moyang di Ile Ape sebenarnya secara tidak sadar mengkombinasikan karbohidrat dan protein nabati [kacang-kacangan] dalam makanannya. Ditambah sayur merungge alias kelor, plus ikan laut, wah menu itu cukup komplet menurut ilmu gizi. Sampai sekarang banyak orang Ile Ape 'tidak bisa' makan nasi kalau nasinya murni macam di Jawa. Harus ada NALINGEN alias biji-biji kacang panjang.

Pesta kacang yang semula biasa-biasa saja, alamiah, tradisional, lama-kelamaan diketahui orang luar. Termasuk turis Eropa. Orang-orang Ile Ape yang kebetulan menjadi pejabat, mahasiswa, dosen, perantau... menceritakan hal ini kepada orang luar. Lantas, muncul ide untuk menjadikan pesta kacang sebagai event pariwisata budaya.

"Kenapa tidak 'dijual' saja? Bisa mendatangkan devisa, menggerakkan ekonomi rakyat? Dan sebagainya," demikianlah pikiran-pikiran khas pejabat pariwisata.

Ndilalah, Bapak Andreas Duli Manuk, asli Nobolekan, kebetulan terpilih sebagai bupati Lembata. Lalu, saya dengar cerita bahwa jalan setapak menuju kampung lama alias LEWO NOLUNGEN diperbaiki. Diperlebar. Agar kendaraan roda empat bisa tembus ke sana. Tidak perlu lagi jalan kaki sambil menjunjung barang, memikul barang, macam saya dulu waktu kecil.

"Sekarang sudah enak sekali ke kampung lama. Bisa naik oto," kata adik saya. "Kame pia mete OHA," begitu bunyi pesan pendek di telepon seluler saya.

Wah, saya hanya bisa membayangkan PESTA KACANG versi modern di era seluler. Masih adakah suasana wingit, mistis, adat yang kental, macam dulu? Zaman memang terus bergulir. Dan kita tak mungkin membalik putaran jarum jam sejarah.

Orang Ile Ape, Lembata, Lamaholot umumnya, makin maju dan modern. Jalan pikirannya sudah berbeda jauh dengan Ama Arakian [RIP], mantan kepala suku, yang selalu memimpin ritual pesta kacan di kampung lama. Contohnya, ya, om saya di Malang yang mengabaikan larangan makan daging anjing.

"Yang penting, tite tetap peten lewo, peten Lera Wulan Tanah Ekan," katanya.

Ya, sudah!

No comments: