Friday, September 5, 2008

Didi Supriyanto: Setahu Saya Sophan Ditabrak

KOMPAS.COM/SUGIHARTO
Seorang kerabat termenung melihat foto kenangan Alm Sophan Sophiaan di rumah duka Jl.Garuda V, Bintaro, Jakarta Selatan, Sabtu (17/5). Alm Sophan Sophiaan meninggal diusia 64 tahun karena kecelakaan dalam tour jalur merah Putih di Ngawi Jawa Timur menuju Yogyakarta dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional

Kamis, 4 September 2008 | 17:27 WIB

Laporan wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KAMIS - Sahabat almarhum Sophan Sophiaan, Didi Supriyanto mengaku mendapat kabar bahwa Sophan meninggal dunia karena ditabrak oleh seorang pengendara sepeda motor gede (moge) yang berada di belakangnya. Bukan jatuh, seperti yang diberitakan selama ini.

Didi merupakan teman sesama pecinta Harley Davidson dan juga teman satu partai Sophan di Partai Demokrasi Pembaruan. Kabar meninggalnya Sophan, didapat Didi dari salah satu temannya yang juga ikut dalam touring Jalur Merah Putih (JMP).

"Info dan berita yang saya terima di hari H (hari kecelakaan), almarhum ditabrak oleh orang yang berada di belakangnya. Tapi karena saat itu semua panik, nggak saya follow up. Sehari kemudian, saya berangkat umroh. Sepulang umroh, kok jadinya karena jatuh saya nggak tahu juga. Karena yang saya tahu, di hari kecelakaan itu ditabrak, bukan jatuh," kata Sekretaris Pelaksana Harian PDP, di Jakarta, Kamis (4/9).

Si penyampai informasi menyebutkan siapa orang yang diduga menabrak Sophan. "Tapi tidak usah disebutkan. Saat saya tanya, juga orangnya nggak ngaku," ujarnya.

Menurut pengalaman yang diketahui Didi selama melakukan touring bersama Sophan, aktor kawakan itu tahu bagaimana menyelamatkan diri jika terjatuh. Sesuai teori yang diajarkan, jika pengendara moge terjatuh, maka ia akan melepas motornya dan menyelamatkan diri ke arah yang berlawanan dengan arah jatuhnya motor. Sehingga, tak memungkinkan tubuhnya akan tertindih motor yang cukup berat.

Kisah Didi, Sophan pernah mengalami dua kali kecelakaan. Pertama, di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan dan kedua, saat melakukan touring di Amerika Serikat. Saat kejadian, Didi berada di dekat Sophan. "Sehingga, saya tahu pasti bagaimana almarhum menyelamatkan diri sesuai teori yang diajarkan. Dan selama dua kali kecelakaan itu, almarhum sama sekali tidak mengalami luka," kata Didi.

Terlepas dari takdir Tuhan, Didi mengatakan tak masuk akal jika Sophan mengalami akibat yang fatal sampai meninggal dunia kalau hanya jatuh dari motornya. Sebab, menurut dia, kecepatan motor saat touring sangat rendah, di bawah 40 km/jam. (ING)

Dirlantas Polda Jatim: Sophan Tidak Ditabrak

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Widyawati dan Sophan Sophiaan (1992).


Kamis, 4 September 2008 | 22:11 WIB

SURABAYA, KAMIS - Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur Kombes Pol Condro Kirono menyatakan sembilan saksi yang sudah diperiksa polisi menyebutkan bahwa Sophan Sophiaan tidak meninggal dunia karena ditabrak, melainkan kecelakaan tunggal saat tur "Jalur Merah Putih" (17/5/2008).

"Semua saksi yang kami periksa menyatakan almarhum mengalami kecelakaan tunggal dan belum ada yang menyebut ditabrak," kata Condro saat menggelar konferensi pers bersama Kasat Lantas Polres Ngawi AKP Eny Mardiasri dan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti di Balai Wartawan Mapolda Jatim, Kamis (4/9) sore.

Dirlantas Polda Jatim yang segera bertugas di Polda Metro Jaya mengemukakan hal itu menanggapi pernyataan isteri almarhum, Widyawati, di Jakarta bahwa suaminya tewas bukan akibat terjatuh dari sepeda motor gede (moge) yang dikendarai saat touring menyemarakkan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, melainkan karena dilindas pengendara sepeda motor di belakangnya.

Widyawati mengaku mendapat bukti baru soal kematian suaminya, yaitu opini berbeda dari dokter, surat lampiran dari Polres Ngawi yang diduga hilang, keterangan saksi, dan surat tentang perkembangan perkara yang telah dibuka seseorang, bahkan Widyawati mengaku mengetahui siapa yang patut diduga melindas suaminya, tapi dirahasiakan.

Namun, beberapa pengendara moge yang disebut-sebut ada di belakang Sophan adalah mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Roesmanhadi dan mantan Dirjen Sistem Perencanaan Pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan) Marsda (Purn) Pieter Wattimena.

Menurut Dirlantas Polda Jatim Kombes Pol Condro Kirono, hingga kini belum ada satu pun kesaksian yang menyatakan almarhum ditabrak, namun pihaknya tidak akan menghentikan penyidikan bila ada keterangan lain.

"Dalam pemeriksaan sembilan saksi memang ada kisaran suara dari ibu Atin, karena itu kami pun memanggil ibu Atin untuk diperiksa, namun keluarganya menyatakan ibu Atin masih ada di Amerika. Kalau datang, kami akan melayangkan panggilan kedua," katanya.

Bahkan, katanya, saksi Murjoko yang menyebut almarhum ditabrak juga sudah diperiksa. "Pak Murjoko ternyata tukang ojek yang ada di TKP (tempat kejadian perkara) sekira tiga jam setelah kejadian. Dia memang saksi yang sempat ditanya wartawan yang datang belakangan, tapi ternyata dia tidak tahu langsung," katanya.

Visum RS Sragen

Dalam kesempatan itu, Kasat Lantas Polres Ngawi AKP Eny Mardiasri menambahkan visum et repertum dari Rumah Sakit (RS) Sragen menyebutkan almarhum mengalami luka memar dan lebam serta patah tulang di bagian rusuk.

"Tapi, hal itu belum dapat dikatakan karena ditabrak, karena luka-luka seperti itu dapat diakibatkan beberapa sebab, bisa karena ditabrak, tapi bisa juga karena tertindih moge yang dikendarai," katanya.

Setelah kejadian, katanya, pihaknya memantau TKP dan menemukan di lokasi kejadian ada lobang di bahu jalan yang lebarnya 40 cm dan panjangnya 90 cm.

"Setelah pemeriksaan, kami memang mengirimkan surat lampiran dari Polres Ngawi kepada isteri almarhum sebagai ungkapan bela sungkawa, kemudian kami juga mengirimkan SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan) sebagai bentuk pertanggungjawaban kami untuk memberitahukan perkembangan penyidikan," katanya.

Namun, katanya, dugaan adanya lampiran diduga hilang, karena Polres Ngawi memang tidak menyertakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atau lampiran hasil pemeriksaan saksi, sebab BAP merupakan dokumen penting yang hanya boleh diketahui pimpinan Ditlantas Polda Jatim.

"Jadi, kami sengaja tidak menyertakan lampiran dokumen penting itu, karena sifatnya memang tidak boleh diketahui umum," katanya.

Menurut dia, sembilan saksi yang telah diperiksa antara lain Freddy Sumitro (peserta touring), Kusnadi (peserta touring), Kompol Haris (Polantas), AKP Yoga (Polantas), dan sebagainya.

"Kalau ibu Atin memang peserta touring, tapi dia berada di belakang agak jauh, padahal kami sudah memeriksa peserta touring yang ada di dekat almarhum dan beberapa saksi mata," katanya.

Rekan satu rombongan dalam touring itu, Tri Erika, menyatakan almarhum mengalami kecelakaan hingga meninggal akibat motor besarnya melindas lubang di perbatasan Sragen (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur). Sophan sempat terjatuh, lalu motornya terguling, kemudian tubuhnya tertimpa motor serta membentur batu jalanan.

IMA
Sumber : Antara

Rekapitulasi Orang Hilang


Usman Hamid

Beberapa pekan ini, korban penghilangan paksa memperingati hari orang hilang sedunia yang jatuh pada 30 Agustus.

Peringatan di Banda Aceh, Palu, dan Jakarta ini ingin mengingatkan, penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan sebab setiap orang harus dilindungi oleh kekuasaan negara.

Mendunia

Perjuangan korban penghilangan paksa telah mendunia. Perjuangan ini dimotori ibu-ibu yang kehilangan anaknya, berpuncak Desember 2006, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Tiap negara diamanatkan kewajiban imperatif untuk memenuhi hak korban atas kebenaran (truth), menghukum pelaku, dan mencegah terulangnya kejahatan terkeji ini.

Kasus orang hilang di Indonesia telah lama disorot PBB. Sebelum reformasi, Pelapor Khusus PBB Urusan Penyiksaan, Prof Koijmas, mengunjungi Indonesia dan Timor Timur (4-16 November 1991). Dalam kunjungan itu, Indonesia diminta melaksanakan upaya legislatif, administratif, peradilan efektif, atau upaya lain untuk mencegah dan menghentikan penghilangan paksa sesuai Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (disahkan 18 Desember 1992). Pemerintah diharapkan mengundang Kelompok Kerja (Pokja) PBB untuk Orang Hilang ke Indonesia.

Komite Antipenyiksaan 2008 meminta klarifikasi atas hilangnya seorang anak usia 16 tahun yang diambil dari tahanan tahun 2004; dua aktivis di Aceh, Mukhlis dan Zulfikar (Link for Community Development), serta seorang guru SD, Muhammad Amin Alwi; dan Hasballah, yang diambil paksa orang bersenjata dan berpakaian militer di Nagan Raya.

Tahun ini mekanisme baru bernama Peninjauan Berkala Universal mengkaji keadaan HAM berbagai negara. Untuk Indonesia, Dewan HAM PBB meminta Indonesia menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa. Salah satu isinya menegaskan, ”Orang-orang yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa harus diadili hanya oleh pengadilan biasa yang kompeten dan bukan pengadilan khusus seperti mahkamah militer” (Pasal 16).

Kepada Dewan HAM PBB, Pokja Orang Hilang menyerahkan lima laporan kasus orang hilang ke pemerintah, yaitu kasus Rohadi Iwan Hadi Subroto dan Makdum Budi Martono, yang dilaporkan ditahan tahun 1965 oleh militer dan polisi. Sementara tiga lainnya, Iwan Ronti, Hasyim Toana, dan Aswat Lamarati, yang diketahui ditahan militer tahun 2001. Kelompok kerja tak mendapat respons atas kasus-kasus itu.

Pokja Orang Hilang juga menyampaikan permintaan kunjungan ke Indonesia. Pada 12 Desember 2006, pokja mengajukan permintaan untuk melakukan misi ke Indonesia setidaknya akhir tahun 2007 atau awal 2008 guna mengklarifikasi kasus yang belum terespons. Pemerintah menyatakan telah menerima permohonan kunjungan itu pada 24 January 2007. Lalu, pada Maret 2007 Sekretaris Pokja bertemu perwakilan misi tetap Indonesia untuk mendiskusikan beberapa kasus yang belum terespons dan permintaan misi. Pokja mendapat catatan dari Permanen Mission, Indonesia menerima kunjungan special rapporteur dan dua kunjungan telah dijadwalkan selama 2007, yakni Utusan Khusus dari Sekjen PBB untuk Urusan Pembela Hak Asasi Manusia.

Klarifikasi

Untuk alasan ini, pemerintah menyatakan, agenda 2007 telah penuh. Lebih baik pokja mengajukan kunjungan setelah itu. Pokja menghargai respons pemerintah atas permohonan kunjungan itu dan berharap ada tanggal yang diajukan. Sekitar tahun lalu dan selama tahun berjalan, pokja menyerahkan 162 kasus kepada pemerintah. Dari semua itu, tiga kasus telah diklarifikasi berdasarkan info dari sumber dan 159 kasus belum bisa ditindaklanjuti. Pokja mengulang kembali pada laporan tahunan 2006 karena pokja juga tidak menerima informasi dari pemerintah.

Dalam Laporan Komisi HAM 2005, pokja meminta pemerintah mengklarifikasi 148 kasus orang hilang yang terjadi tahun 1992 dan tahun 1998-2000 di Jakarta, Aceh, dan Timor Timur, serta kasus-kasus lain yang terjadi tahun 2002-2003 di Aceh. Seluruh kasus penghilangan paksa melibatkan aparat keamanan. Dari data itu, masih 146 kasus belum terklarifikasi sehingga pokja belum mengetahui nasib dan keberadaan korban.

Pokja telah menyerahkan 10 kasus baru kepada Pemerintah Indonesia, di antaranya penculikan Aristoteles, sopir Theys Eluay yang dibunuh, dan Bachtiar Johan yang hilang tahun 1984. Juga ada delapan kasus atas nama Gunawan, Alfian, Aman, Jumanro, Ihwan, Mulyani, Rinawati, dan Sugianto yang dilaporkan hilang di Mall Yogya 14 Mei 1998. Selama periode itu, pokja tidak menerima informasi apa pun dari pemerintah atas kasus-kasus yang belum terklarifikasi.

Di antara kasus dalam laporan PBB itu, mungkin sudah ada yang ditemukan atau dibawa ke pengadilan. Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mengklarifikasi semua informasi itu. Misalnya, meninjau hasil penyelidikan Komnas HAM atau klarifikasi langsung dengan instansi pemerintah yang relevan, seperti TNI/Polri. Agar komprehensif, pemerintah perlu membentuk Komisi untuk Orang Hilang sebagaimana rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Tujuannya, mencari kejelasan nasib dan keberadaan orang hilang.

Usman Hamid Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

Thursday, September 4, 2008

Apa yang kau cari, Alfredo?

17 February 2008



Mayor Alfredo Reinado Alves, Senin (11/2/2008), tewas di tangan pasukan pengawal Jose Ramos Horta di Dili. Sebelumnya, Alfredo memimpin serangan yang menyebabkan presiden Timor Leste itu kritis. Apa yang kau cari Alfredo?

Wajah Alfredo Reinado Alves (51) sebenarnya tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sebab, dia sempat nongol di acara Kick Andy pada Mei 2007. Secara blak-blakan pria kelahiran Dili pada 1956 ini mengecam keras Ramos Horta (presiden Timor Leste), Xanana Gusmao (perdana menteri), Mari Alkatiri (bekas presiden), serta para pemimpin Timor Leste dari faksi Fretelin.

Alfredo mengklaim sebagai orang yang sangat gigih membela konstitusi negaranya. Sebaliknya, dia menilai Xanana, Horta, dan kawan-kawan sebagai pengkhianat konsitusi. "Saya tidak desersi. Saya bukan pemberontak. Saya justru melayani bangsa dan negara," tegas Alfredo saat diwawancarai Andy F Noya, pengasuh Kick Andy. Wawancara di sebuah tempat yang dirahasiakan di Indonesia ini ditayangkan kembali oleh Metro TV Senin malam.

Seperti diketahui, setelah revolusi bunga di Portugis pada 1975, terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Timur. Terjadi pergolakan di dalam negeri karena partai-partai politik seperti Fretelin, Apodeti, UDT, dan Kota gagal mencapai kesepakatan tentang masa depan negerinya. Perang saudara pun pecah. Ribuan warga Timor Timur terpaksa mengungsi ke Indonesia, tepatnya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Lalu, sebagian elemen politik menyatakan berintegrasi dengan Indonesia. Pada Sidang Umum MPR 1976, Timor Timur secara resmi dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia. Sejak itulah Alfredo serta para elemen anti-integrasi, termasuk Xanana Gusmao, bergerilya di hutan-hutan dan ranah diplomasi.

Pada 1976 dia berpisah dari ibunya, asli Timor, dan ayahnya, keturunan Portugis, dan memilih berjuang. Usianya baru 20 tahun. Pasukan TNI dari Batalyon 725/Kendari pernah menjinakkan Alfredo sebagai tenaga bantuan. Beberapa saat kemudian, ia dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke Kendari lewat kapal laut. Di ibukota Sulawesi Tenggara itu dia tinggal bersama orang Bugis.

"Saya kemudian lari ke Kalimantan, kemudian Surabaya, dan beberapa kota di Jawa," tutur Alfredo. Tak heran, Alfredo bisa berbahasa Indonesia dengan fasih dan diplomatis.

Lama tak ada kabarnya, pascareferendum 1999, yang dimenangi kubu prokemerdekaan, Alfredo turun gunung untuk menikmati euforia kemerdekaan. "Saya dipanggil untuk masuk militer karena saya dianggap punya kemampuan," kenang Alfredo.

Taur Matan Ruak, pentolan gerilyawan Fretelin, menjadi bosnya. Alfredo mengaku diminta membangun unit khusus tentara Timor Leste dari nol.

Yang menarik, pria ganteng ini mengaku sebetulnya tidak ingin menjadi tentara di negara baru tersebut. Ia lebih senang menjadi rakyat biasa, nelayan kecil. Tapi, karena negara membutuhkannya, Alfredo pun akhirnya bersedia berkarir di militer.

"Saya minta cukup empat tahun saja. Sebab, keluarga tidak mau saya jadi militer," papar Alfredo.

Pada 20 Mei 2002, Republik Timor Leste alias Timor Lorosae diakui dunia internasional sebagai negara merdeka. Xanana Gusmao dipercaya sebagai presiden, Ramos Horta perdana menteri. Para bekas gerilyawan pun mendapat posisi penting di negara yang berbatasan dengan Kabupaten Belu, NTT, itu.

Meskipun merdeka, Timor Leste tidak mampu menjamin ketertiban dan keamanan di dalam negeri. Maka, pasukan asing pun dikerahkan ke sana, mayoritas berasal dari Australia. Sampai sekarang pun Timor Leste masih mengandalkan pasukan Australia untuk menjaga stabilitas nasional negara miskin itu. Bukan itu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Timor Leste melakukan kerja sama ekonomi dengan Australia, khususnya dalam rangka eksploitasi minyak di celah Timor.

Nah, Alfredo ternyata sangat menentang kerja sama serta ketergantungan pada Australia. Dia menilai hal ini sebagai 'memerkosa' konstitusi. "Kehadiran pasukan internasional itu melanggar konstitusi. Dan saya seorang nasionalis yang ingin membela konstitusi," tegas Alfredo.

Dia juga menuduh Horta, Xanana, Mari Alkatiri, serta petinggi Fretelin melakukan rekayasa politik sedemikian rupa agar bisa berkuasa hingga 50 tahun ke depan. Termasuk memaksakan ideologi komunisnya di Timor Leste.

Namanya juga mantan gerilyawan, diam-diam Alfredo menyusun kekuatan. Pada 28 April 2006, dia bersama 591 tentara Timor Leste membuat kerusuhan di Dili, ibukota Timor Leste. Sejumlah orang terbunuh dan sekitar 150 ribu warga mengungsi, termasuk ke Indonesia. Sejak itulah Alfredo menjadi buronan pemerintah. Xanana, yang saat itu menjadi presiden dan Horta menjabat menteri luar negeri meminta pasukan Australia untuk menangkap Alfredo.

Setelah bernegosiasi dengan pemerintah, pada 25 Juli 2006 Alfredo menyerahkan diri. Pria yang istrinya tinggal di Australia ini juga menyerahkan sebagian senjata. Namun, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menahan 'sang pemberontak', begitu julukan pemerintah Timor Leste pada Alfredo.

"Saya ditahan tanpa alasan yang jelas. Katanya, saya membawa senjata ilegal, melakukan revolusi, meninggalkan dinas. Saya tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Padahal, semua tuduhan itu fitnah," katanya.

Menurut Alfredo, 80 persen petinggi Timor Leste sekarang, termasuk Xanana dan Ramos Horta, pembohong karena pernyataan mereka berbeda dengan praktik sehari-hari. Dia juga kecewa dengan Xanana yang berubah setelah menjadi orang penting di Timor Leste.

"Xanana saat perjuangan dengan Xanana sekarang sudah lain. Saya kecewa karena Xanana memfitnah hati nuraninya hanya karena alasan ekonomi dan kekuasaan," tegasnya.

Sebulan kemudian, tepatnya 30 Agustus 2006, Mayor Alfredo kabur dari penjara Becora, Timor Leste. Mantan kepala polisi militer sekaligus pemimpin tentara desersi itu melarikan diri bersama 56 tahanan lainnya setelah menjebol beberapa tembok di sisi timur penjara. Kepala Penjara Becora Carlos Sarmento mengatakan, beberapa tahanan yang dulu menjadi milisi pro-Indonesia juga ikut kabur.

"Siapa bilang saya kabur? Saya dan teman-teman bisa keluar dengan santai. Kami kan militer, jadi punya kemampuan," ujar Alfredo lalu tertawa kecil.

Sejak itulah Alfredo seperti lenyap ditelan bumi. Tiba-tiba saja dia membuat geram pemerintah Timor Leste karena muncul di talkshow Metro TV pada Mei 2007. Setahun kemudian, tepatnya 11 Februari 2008, Alfredo kembali bikin ulah dengan menyerang Ramos Horta, presiden negara miskin itu. Kudeta ini gagal. Sang pemberani ini pun tewas. Lalu, dia dimakamkan dengan iringan lagu Ungu Band, Andai Kutahu.

"Pemberontak yang benar-benar gaul," celetuk Mr Pecut di Jawa Pos.

Apa yang kau cari Alfredo?

Danau Kelimutu di Flores

28 June 2008



Oleh Metta Dharmasaputa

Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di puncak gunung suatu pagi pada Maret 2008. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Yohanes Voda, 61 tahun, menyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi kerongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.

Seperti semua turis lain yang sudi mendaki satu kilometer anak tangga sampai ngos-ngosan, tujuan saya adalah menikmati keelokan kawah tiga warna di puncak gunung itu: Danau Kelimutu. Tak ada catatan pasti kapan danau tiga warna ini mua-mula ditemukan penduduk setempat. Warna airnya berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, kelir air danau paling terkenal adalah merah, putih, dan biru. Inilah warna yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah dasar di berbagai belahan Pulau Flores. Dari masa ke masa, warna ini berubah-ubah seturut dengan musim, cahaya matahari, serta aneka perubahan kimiawi di dasar kawah.

Di sebuah tugu kecil di puncak gunung saya bertemu Yohanes Voda. Dia penduduk setempat yang telah 'merawat' Kelimutu selama 26 tahun terakhir sembari berjualan sekadar minuman bagi para turis. Dia pula yang memandu saya ke puncak menunjukkan kawah tiga warna. Indah, tenang, dan mistis, air danau terbentang jauh di dasar kawah dalam warna hijau kebiru-biruan, hitam, dan cokelat pekat seperti Coca Cola. Pak Tua Voda ibarat 'juru kunci tak resmi' bagi para pelancong Kelimutu.

Di sebuah pelataran dekat tugu kecil, Voda 'menjamu' tamunya setiap pagi--turis lokal dan asing. Mereka datang pagi-pagi benar, mengejar matahari terbit, agar keindahan puncak ketiga danau gunung itu dapat dilahap mata secara maksimal. "Saya sudah 26 tahun berjualan di sini," ujar Voda. Berdiam di sebuah desa di kaki gunung, dia berjalan kaki enam kilometer setiap hari untuk menjajakan kopi jahe khas Ende, teh hangat, serta lembar-lembar tenun ikat.

Kain-kain itu bersepuh warna alami dari akar mengkudu dan daun nila. Selembar kain dia hargai Rp 125 ribu. "Agak mahal karena selembar kain itu butuh tiga bulan untuk membuatnya," kata Voda. Puncak Kelimutu bukan sekadar tempat dia mencari nafkah. Tiga kawah itu dia yakini sebagai tempat bermukim para arwah leluhur suku Lio, suku asli di Kabupaten Ende.

"Tempat ini keramat dan disucikan," kata Voda. Karena itu, ia meminta setiap pengunjung tak sembarang memetik buah dari tanaman khas bedaun merah yang tumbuh di sepanjang bukit. "Itu makanan para arwah. Kalau mau petik, izin dulu," dia menambahkan.

***

Terletak 60 kilometer dari Ende, ibu kota Kabupaten Ende, kawah di puncak Kelimutu telah lama menjadi andalan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Namanya masyur bahkan hingga ke berbagai belahan dunia, terutama melalui getok tular para turis asing yang pernah melancong ke sana.

Bentuknya mirip danau membuat sisa kawah ini pun disebut Danau Kelimutu atau danau triwarna. Berada di lahan sekitar 5.000 hektare, sejak 1967 kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Wilayahnya masuk lima kecamatan: Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Wolojita, dan Kelimutu.

Van Schuktelen, warga negara Belanda, yang mula-mula 'membuka' informasi danau tiga warna ini ke dunia luas pada 1915. Keindahan Kelimutu kian tesia setelah Y. Bouman, juga seorang pelancong Eropa, menuliskannya pada 1929. Sejak saat itulah turis asing mulai berdatangan. Misionaris asing di Flores turut membawa kabar tentang danau unik ini ke belahan Eropa dan negeri lain. Belum lagi peneliti yang amat tertarik mencari tahu penyebab fenomena alam yang amat langka ini.

Di Ende Lio, penduduk menyebut ketiga danau ini sebagai Tiwu Ata Mbupu (danau orang tua), Tiwu Nua Muri Ko'o Fai (danau muda-mudi), dan Tiwu Ata Polo (danau tukang tenung) yang dikenal angker. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri hanya dipisahkan dinding terjal selebar 15-20 meter. Sekitar 300 meter di sebelah barat Tiwu Nua Muri terletak Tiwu Ata Mbupu. Masyarakat sekitar percaya bahwa Danau Kelimutu adalah tempat semayam arwah para leluhur. Setelah meninggal, arwah mereka pindah dari kampung ke puncak Kelimutu untuk selamanya. Kawah mana yang akan ditempati tergantung usia dan amal perbuatannya semasa hidup.

Sebelum masuk ke salah satu danau, menurut kepercayaan, para arwah terlebih dahulu menghadap Konde Ratu. Dialah penjaga gerbang Perikonde, yang diyakini sebagai pintu masuk arwah menuju Danau Kelimutu. Di sini setiap pengunjung diperkenankan memberikan kepingan uang logam, sirih pinang, atau rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu.

***

Kelimutu juga memiliki tempat tersendiri di hati Soekarno. Menurut Voda, presiden pertama Indonesia itu biasa bersemedi di puncak gunung semasa keluarganya dibuang pemerintah Belanda pada 1934-1938. Sebagian jejak Soekarno masih terekam di Museum Bung Karno di Jalan Perwira Ende. Sejumlah barang koleksi miliknya masih tesimpan baik. Seperti foto keluarga dan pribadi Bung Karno, barang-barang keramik, dua tongkat berkepala monyet, lemari pakaian, dan tempat tidur.

Di halaman belakang ada sumur yang digali sendiri oleh Soekarno untuk keperluan sehari-hari. Sebagian kalangan percaya airnya berkhasiat menyembuhkan penyakit dan obat awet muda. Musa, penjaga museum, mengatakan: "Ada pengunjung khusus datang untuk mengambil air dari sumur itu."

Peninggalan lain yang menjadi daya tarik museum adalah ruang semadi Bung Karno. Dalam ruang senyap dan dingin berukuran tiga kali dua meter itu Soekarno biasa menghabiskan malam untuk bersujud memohon 'bantuan' bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Anggota DPR Permadi pernah juga bersemadi di situ," kata Musa. Di kota ini pulalah Soekarno mencetuskan ide lahirnya Pancasila. "Jika ke Kelimutu, Bung Karno pergi dengan berkuda," Musa menambahkan.

Guntur Soekarnoputra, anak tertua Bung Karno, meneruskan kebiasaan ayahnya. Voda menuturkan, dua tahun lalu [2006] Guntur datang mengendarai ojek untuk mengambil air dari dasar kawah. Setelah bersemadi dari malam hingga subuh, ia melepas ayam merah. "Sayalah yang menjaga ayam itu," kata Voda.

***

Bagi para turis yang tidak suka pada urusan klenik, 'keajaiban' tiga kawah Kelimutu tetap punya daya tarik. Warna air di ketiga kawah itu terus berubah. Kawah Tiwu Ata Mbupu yang pada 1915 berwarna merah darah, kini berwarna hitam kecokelatan. Begitu pula Tiwu Nua Muri. Kawah aktif dengan kedalaman 127 meter ini terus berubah warna dari hijau zamrud menjadi putih, biru, dan akhirnya hijau muda. Sedangkan Tiwu Ata Polo dari putih, hijau, biru, merah, dan kini cokelat kehitaman.

Menurut sejumlah peneliti, perubahan warna di kawah itu bisa jadi akibat pembiasan cahaya matahari dan pantulan warna dinding kawah, biota air, pantulan dasar danau, serta perubahan zat kimia yang terlarut di kawah. "Luar biasa indah," kata Mary, turis asal Amerika berdarah Indian.

Sayang, keindahan itu tak bisa dinikmati lama-lama. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, kabut sudah menyelimuti permukaan kawah. Karena itu, para wisatawan harus berangkat dari Ende ketika hari masih gelap agar setelah dua jam perjalanan mobil, mereka bisa mencapai danau ketika matahari terbit.

Pilihan lain adalah menginap semalam di Kampung Moni, 12 kilometer dari Kelimutu. Kebanyakan turis asal Eropa bahkan bisa menghabiskan 4-5 hari di sana. "Pagi-pagi mereka berlari menuju puncak gunung," ujar seorang staf penginapan. Setelah kabut menyergap, barulah mereka turun.

Perjalanan pulang biasanya menjadi saat-saat menarik karena banyak 'lukisan alam' yang luput terlihat sebelum terang tanah. Persawahan, air terjun, pemandian air hangat, serta jalan terjal yang melingkar di punggung bukit-bukit Flores yang permai. (Majalah TEMPO, 29 Juni 2008)

Imamat perak Romo Zakarias Benny




Kejadiannya sudah agak lama, 9 Agustus 2008, tapi saya kebetulan baru saja membaca di www.antara.co.id. Perayaan 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr di Witihama, Adonara Timur, Flores Timur, ternyata diwarnai peristiwa tragis.

Mama Maria Imaculata Barek Bunga, yang biasa disapa Ina Siti, orang tua angkat Romo Zaka selama bertugas di Adonara Timur selama seperempat abad meninggal dunia karena tertabrak sepeda motor. Maka, perayaan 25 tahun imamat--momentum sangat penting bagi seorang pastor--pun berubah nuansa. Usai misa syukur, Romo Zaka memimpin misa requiem, sekaligus melepas Ina Siti ke tempat peristirahatan terakhir.

Bagi kami di kampung, Desa Mawa [Napasabok] dan Nobolekan [Bungamuda], Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr punya posisi sentral. Romo Zaka, tetangga kakek saya di Nobolekan itu, merupakan pastor pertama di kampung saya. Namanya juga sangat dikenal di Ile Ape, kecamatan tandus di sebelah utara Pulau Lembata, karena jumlah pastor asal Ile Ape memang sangat sedikit.

Ile Ape yang tanahnya tidak subur sejak dulu dikenal sangat tandus untuk panggilan. Kalaupun ada benih panggilan, biasanya lekas kering, tak sampai berbuah. Beda sekali dengan tiga kecamatan lain di Lembata--Lebatukan, Atadei, dan Nagawutun--yang subur panggilan. Wilayah Kedang [Omesuri dan Buyasuri], meski tanahnya subur, tergolong kering panggilan. Tapi kasus di Kedang [bapak saya pernah jadi guru di Kedang] sangat berbeda dengan Ile Ape.

Pastor asal Ile Ape bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sebut saja Pater Gabriel Goran SVD, Pater Yulius Yuli Hada CSsR, Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, kemudian Romo Paskalis Kabe Hurek Pr. Lalu, siapa lagi ya? Oh, ya, berbeda dengan umat Katolik di Jawa yang menyamaratakan sebutan ROMO untuk pastor, di Flores umat mengenal PATER dan ROMO. PATER untuk imam biarawan [klerus], sedangkan ROMO untuk imam diosesan. Padahal, artinya ya sama saja: bapak.

Saking sulitnya panggilan di Kecamatan Ile Ape, pada 1980-an Pater Geurtz SVD dan Pater Willem van de Leur SVD--dua misionaris penting asal Belanda [RIP]--melakukan kampanye panggilan cukup gencar ke anak-anak sekolah dasar. Guru-guru sekolah dasar, yang juga merangkap ketua stasi atau gabungan, pun diberi semacam arahan khusus. Doa-doa panggilan sangat gencar. Meminta agar Tuhan sudi memanggil anak-anak Ile Ape bekerja di kebun anggur-Nya.

Kemudian ada program, kalau tak salah, namanya KELUARGAKU SEMINARI KECIL. Bahwa panggilan hanya bisa tumbuh di dalam keluarga yang rajin berdoa bersama-sama. Makan bersama, doa bersama, rajin misa, berkelakuan baik, dan seterusnya. Kemudian guru-guru asal Atadei, Nagawutun, dan Atadei dimutasi ke Ile Ape untuk menyebarkan 'virus' panggilan.

Saya yang masih kecil sering bertanya kepada guru-guru di sekolah dasar di Mawa, mengapa tidak ada orang Ile Ape yang jadi pastor. Pater-pater kok selalu dari Belanda, Adonara, Sikka, atau daerah Adonara, Solor, dan Flores lainnya?

"Yah, kita berdoa saja. Mudah-mudahan suatu ketika ada orang Ile Ape yang jadi pastor," kata Pak Paulus Lopi Blawa [RIP], guru asal Lebala. "Kalau kalian belajar rajin, otak encer, rajin berdoa, kalian di Ile Ape pun bisa. Tuhan itu kan memanggil siapa saja, termasuk orang Ile Ape," kata Pak Paulus bijak.

Kemudian muncul banyak analisis mengapa Ile Ape sulit melahirkan imam, bruder, dan suster. Pertama, budaya merantau yang luar biasa. [Topik ini akan saya bahas secara khusus.] Merantau lebih menguntungkan karena bisa mendatangkan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang-barang, dan sebagainya. Pastor bukanlah pilihan buat masa depan.

Di SDK Mawa, tempat bapak saya menjadi kepala sekolah [sekarang pensiun], misalnya, sejak akhir 1960-an tidak ada murid yang bercita-cita jadi pastor. Kecuali Paskalis Hurek, putra Ama Yeremias Selebar Hurek, katekis atau guru agama mula-mula di Mawa dan sekitarnya. Sebagian besar siswa nyaris tidak punya cita-cita. Lulus SD, merantau ke Malaysia. Atau sekolah sebentar di SMP atau SMA... lalu merantau. Mana bisa jadi pastor?

Kedua, intelektualitas anak-anak Ile Ape rata-rata rendah. Paling tidak dibandingkan dengan tiga kecamatan yang subur panggilan tadi: Atadei, Nagawatun, Lebatukan. Modal kecedasan alias IQ ini penting karena pendidikan di seminari jauh lebih berat daripada sekolah-sekolah umum. IQ harus tinggi agar mudah menyerap pelajaran. Namanya juga asumsi, ya, tidak ada kajian ilmiah. Tapi memang ada fakta bahwa anak-anak Ile Ape yang mencoba masuk seminari biasanya keluar [atau dikeluarkan] karena berbagai alasan.

Ketiga, orang Ile Ape rata-rata sulit berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Maklum, sejak melihat dunia, kami dibiasakan berbicara dalam bahasa ibu: bahasa Lamaholot. Berpikir dalam bahasa Lamaholot versi Ile Ape. Sulit sekali berbahasa Melayu ala Larantuka atau Lewoleba. Ini membuat anak-anak Ile Ape macam saya cenderung minder ketika bertemu orang Lewoleba. Wah, dia bisa cas-cis-cus dalam bahasa Indonesia, sementara saya hanya bisa menyimak.

Saya sendiri pun terheran-heran ketika mendengar orang Larantuka bisa bicara bahasa Melayu dengan fasih dan sangat cepat. Sedangkan saya terbata-bata. Maka, ketika saya SMP di Larantuka, saya menjadi bahan olok-olokan teman-teman asal Larantuka, Adonara, Flores Timur daratan yang jauh lebih fasih daripada kami orang Ile Ape. Tapi, bagi saya, olok-olok ini ada hikmah. Saya menjadi lebih terpacu belajar bahasa Indonesia, dan kemudian membuat saya selalu menjadi juara mengarang di Larantuka. Hehehe....

Dengan latar belakang ini, saya benar-benar kaget ketika mendengar kabar bahwa Diakon Zakarias Benny Nihamaking akan ditahbiskan di kampung. "Diakon Zaka heku? Nepe ti na nang tuana?" tanya saya kepada bapak saya. Diakon Zaka itu siapa? Berarti dia akan segera jadi pastor?

Asal tahu saja, selama pendidikan di seminari, Diakon Zaka Benny jarang pulang kampung, sehingga kami yang anak-anak tak banyak mengenalnya. Padahal, ya itu tadi, rumah orang tuanya dekat rumah kakek saya di Nobolekan.

Singkat cerita, 25 tahun lalu, Pater Geurtz SVD mengumumkan bahwa Diakon Zaka akan segera ditahbiskan di... Ile Ape. "Puji Tuhan! Ternyata, orang Ile Ape pun bisa jadi pastor. Kami juga bisa memberikan seorang putra terbaik untuk kebun anggur Tuhan," begitu kira-kira komentar orang kampung.

Misa tahbisan dipimpin Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa SVD [sekarang RIP]. Pesta besar-besaran. Melibatkan berbagai kalangan, tak hanya beberapa suku macam pesta perkawinan, semua orang berbahagian luar biasa. Akhirnya, ada juga romo yang lahir dari kampung kami yang terpencil di pelosok Lembata. Tahbisan Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, saya yakin, semakin memotivasi Paskalis Hurek untuk kemudian ditahbiskan juga sebagai romo.

Teman sebaya saya waktu SD, Marselina, belum lama ini mengabarkan lewat adik saya bahwa dia dalam perjalanan ke kampung halaman. Tujuan utamanya Adonara Timur. Untuk apa? "Ikut pesta 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny," begitu pesan pendek dari Vincentia, adik perempuan saya di Kupang.

Aha, ternyata Marselina sekarang ini berstatus biarawati. Suster Marselina! Puji Tuhan!

Kenyataan ini juga mematahkan anggapan miring pada tahun 1970-an bahwa orang Ile Ape sangat sulit menjadi pastor, bruder, dan suster. Dengar-dengar saat ini sudah lumayan banyak gadis-gadis asal Ile Ape yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui berbagai kongregasi.

Ini juga berarti bahwa doa-doa kami, anak-anak kampung, perjuangan misionaris-misionaris perintis macam Pater Lorentz Hambach SVD, Pater Lambertus Paji Seran SVD, Pater Geurtz SVD, Pater Willem van de Leur SVD didengarkan Tuhan.

Selamat pesta perak imamat untuk Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr!

Dominus vobis cum!

TAHANAN

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap

**
Di sini tak ada “aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu

**
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku…

Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa?

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi.

Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja.

Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:

Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti….
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang, sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain.

Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”

Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-habisnya.

api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 - 24 Agustus 2008~