Thursday, September 4, 2008

Imamat perak Romo Zakarias Benny




Kejadiannya sudah agak lama, 9 Agustus 2008, tapi saya kebetulan baru saja membaca di www.antara.co.id. Perayaan 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr di Witihama, Adonara Timur, Flores Timur, ternyata diwarnai peristiwa tragis.

Mama Maria Imaculata Barek Bunga, yang biasa disapa Ina Siti, orang tua angkat Romo Zaka selama bertugas di Adonara Timur selama seperempat abad meninggal dunia karena tertabrak sepeda motor. Maka, perayaan 25 tahun imamat--momentum sangat penting bagi seorang pastor--pun berubah nuansa. Usai misa syukur, Romo Zaka memimpin misa requiem, sekaligus melepas Ina Siti ke tempat peristirahatan terakhir.

Bagi kami di kampung, Desa Mawa [Napasabok] dan Nobolekan [Bungamuda], Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr punya posisi sentral. Romo Zaka, tetangga kakek saya di Nobolekan itu, merupakan pastor pertama di kampung saya. Namanya juga sangat dikenal di Ile Ape, kecamatan tandus di sebelah utara Pulau Lembata, karena jumlah pastor asal Ile Ape memang sangat sedikit.

Ile Ape yang tanahnya tidak subur sejak dulu dikenal sangat tandus untuk panggilan. Kalaupun ada benih panggilan, biasanya lekas kering, tak sampai berbuah. Beda sekali dengan tiga kecamatan lain di Lembata--Lebatukan, Atadei, dan Nagawutun--yang subur panggilan. Wilayah Kedang [Omesuri dan Buyasuri], meski tanahnya subur, tergolong kering panggilan. Tapi kasus di Kedang [bapak saya pernah jadi guru di Kedang] sangat berbeda dengan Ile Ape.

Pastor asal Ile Ape bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sebut saja Pater Gabriel Goran SVD, Pater Yulius Yuli Hada CSsR, Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, kemudian Romo Paskalis Kabe Hurek Pr. Lalu, siapa lagi ya? Oh, ya, berbeda dengan umat Katolik di Jawa yang menyamaratakan sebutan ROMO untuk pastor, di Flores umat mengenal PATER dan ROMO. PATER untuk imam biarawan [klerus], sedangkan ROMO untuk imam diosesan. Padahal, artinya ya sama saja: bapak.

Saking sulitnya panggilan di Kecamatan Ile Ape, pada 1980-an Pater Geurtz SVD dan Pater Willem van de Leur SVD--dua misionaris penting asal Belanda [RIP]--melakukan kampanye panggilan cukup gencar ke anak-anak sekolah dasar. Guru-guru sekolah dasar, yang juga merangkap ketua stasi atau gabungan, pun diberi semacam arahan khusus. Doa-doa panggilan sangat gencar. Meminta agar Tuhan sudi memanggil anak-anak Ile Ape bekerja di kebun anggur-Nya.

Kemudian ada program, kalau tak salah, namanya KELUARGAKU SEMINARI KECIL. Bahwa panggilan hanya bisa tumbuh di dalam keluarga yang rajin berdoa bersama-sama. Makan bersama, doa bersama, rajin misa, berkelakuan baik, dan seterusnya. Kemudian guru-guru asal Atadei, Nagawutun, dan Atadei dimutasi ke Ile Ape untuk menyebarkan 'virus' panggilan.

Saya yang masih kecil sering bertanya kepada guru-guru di sekolah dasar di Mawa, mengapa tidak ada orang Ile Ape yang jadi pastor. Pater-pater kok selalu dari Belanda, Adonara, Sikka, atau daerah Adonara, Solor, dan Flores lainnya?

"Yah, kita berdoa saja. Mudah-mudahan suatu ketika ada orang Ile Ape yang jadi pastor," kata Pak Paulus Lopi Blawa [RIP], guru asal Lebala. "Kalau kalian belajar rajin, otak encer, rajin berdoa, kalian di Ile Ape pun bisa. Tuhan itu kan memanggil siapa saja, termasuk orang Ile Ape," kata Pak Paulus bijak.

Kemudian muncul banyak analisis mengapa Ile Ape sulit melahirkan imam, bruder, dan suster. Pertama, budaya merantau yang luar biasa. [Topik ini akan saya bahas secara khusus.] Merantau lebih menguntungkan karena bisa mendatangkan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang-barang, dan sebagainya. Pastor bukanlah pilihan buat masa depan.

Di SDK Mawa, tempat bapak saya menjadi kepala sekolah [sekarang pensiun], misalnya, sejak akhir 1960-an tidak ada murid yang bercita-cita jadi pastor. Kecuali Paskalis Hurek, putra Ama Yeremias Selebar Hurek, katekis atau guru agama mula-mula di Mawa dan sekitarnya. Sebagian besar siswa nyaris tidak punya cita-cita. Lulus SD, merantau ke Malaysia. Atau sekolah sebentar di SMP atau SMA... lalu merantau. Mana bisa jadi pastor?

Kedua, intelektualitas anak-anak Ile Ape rata-rata rendah. Paling tidak dibandingkan dengan tiga kecamatan yang subur panggilan tadi: Atadei, Nagawatun, Lebatukan. Modal kecedasan alias IQ ini penting karena pendidikan di seminari jauh lebih berat daripada sekolah-sekolah umum. IQ harus tinggi agar mudah menyerap pelajaran. Namanya juga asumsi, ya, tidak ada kajian ilmiah. Tapi memang ada fakta bahwa anak-anak Ile Ape yang mencoba masuk seminari biasanya keluar [atau dikeluarkan] karena berbagai alasan.

Ketiga, orang Ile Ape rata-rata sulit berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Maklum, sejak melihat dunia, kami dibiasakan berbicara dalam bahasa ibu: bahasa Lamaholot. Berpikir dalam bahasa Lamaholot versi Ile Ape. Sulit sekali berbahasa Melayu ala Larantuka atau Lewoleba. Ini membuat anak-anak Ile Ape macam saya cenderung minder ketika bertemu orang Lewoleba. Wah, dia bisa cas-cis-cus dalam bahasa Indonesia, sementara saya hanya bisa menyimak.

Saya sendiri pun terheran-heran ketika mendengar orang Larantuka bisa bicara bahasa Melayu dengan fasih dan sangat cepat. Sedangkan saya terbata-bata. Maka, ketika saya SMP di Larantuka, saya menjadi bahan olok-olokan teman-teman asal Larantuka, Adonara, Flores Timur daratan yang jauh lebih fasih daripada kami orang Ile Ape. Tapi, bagi saya, olok-olok ini ada hikmah. Saya menjadi lebih terpacu belajar bahasa Indonesia, dan kemudian membuat saya selalu menjadi juara mengarang di Larantuka. Hehehe....

Dengan latar belakang ini, saya benar-benar kaget ketika mendengar kabar bahwa Diakon Zakarias Benny Nihamaking akan ditahbiskan di kampung. "Diakon Zaka heku? Nepe ti na nang tuana?" tanya saya kepada bapak saya. Diakon Zaka itu siapa? Berarti dia akan segera jadi pastor?

Asal tahu saja, selama pendidikan di seminari, Diakon Zaka Benny jarang pulang kampung, sehingga kami yang anak-anak tak banyak mengenalnya. Padahal, ya itu tadi, rumah orang tuanya dekat rumah kakek saya di Nobolekan.

Singkat cerita, 25 tahun lalu, Pater Geurtz SVD mengumumkan bahwa Diakon Zaka akan segera ditahbiskan di... Ile Ape. "Puji Tuhan! Ternyata, orang Ile Ape pun bisa jadi pastor. Kami juga bisa memberikan seorang putra terbaik untuk kebun anggur Tuhan," begitu kira-kira komentar orang kampung.

Misa tahbisan dipimpin Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa SVD [sekarang RIP]. Pesta besar-besaran. Melibatkan berbagai kalangan, tak hanya beberapa suku macam pesta perkawinan, semua orang berbahagian luar biasa. Akhirnya, ada juga romo yang lahir dari kampung kami yang terpencil di pelosok Lembata. Tahbisan Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, saya yakin, semakin memotivasi Paskalis Hurek untuk kemudian ditahbiskan juga sebagai romo.

Teman sebaya saya waktu SD, Marselina, belum lama ini mengabarkan lewat adik saya bahwa dia dalam perjalanan ke kampung halaman. Tujuan utamanya Adonara Timur. Untuk apa? "Ikut pesta 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny," begitu pesan pendek dari Vincentia, adik perempuan saya di Kupang.

Aha, ternyata Marselina sekarang ini berstatus biarawati. Suster Marselina! Puji Tuhan!

Kenyataan ini juga mematahkan anggapan miring pada tahun 1970-an bahwa orang Ile Ape sangat sulit menjadi pastor, bruder, dan suster. Dengar-dengar saat ini sudah lumayan banyak gadis-gadis asal Ile Ape yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui berbagai kongregasi.

Ini juga berarti bahwa doa-doa kami, anak-anak kampung, perjuangan misionaris-misionaris perintis macam Pater Lorentz Hambach SVD, Pater Lambertus Paji Seran SVD, Pater Geurtz SVD, Pater Willem van de Leur SVD didengarkan Tuhan.

Selamat pesta perak imamat untuk Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr!

Dominus vobis cum!

1 comment:

Anonymous said...

cerita yg bagus. moga2 makin banyak orang NTT yg menulis di internet.