Thursday, May 28, 2009

TITIAN HIDUP

Oleh: Valery Kopong*

“Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.” Barangkali benar bahwa ketika menjalani hidup terkadang dilihat sebagai sebuah rutinitas maka ada bahaya yang muncul yaitu kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Orang tidak melihat pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari panggilan hidup tetapi lebih dari itu hanya sekedar untuk mengisi waktu. Untuk apa kita perlu mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan ini? Lakon hidup apa yang harus aku lakonkan di bawah terik matahari abadi? Tetapi hidup dan kehidupan yang beragam selalu mewarnai perjalanan ini, yang kaya tetap bertahan dengan kemewahannya dan orang-orang miskin tidak takut lagi menghadapi kemiskinan dirinya.
Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang ada dalam kitab suci, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. Salah satu perumpamaan yang menarik dan menjadi sabda peneguh hidupku adalah: “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung yang begitu indah dan Salomo yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan ini menjadi sumber inspirasi dalam proses pertarungan hidup ini. Yang miskin tetap berusaha mengais segumpal rezeki di tong-tong sampah untuk mempertahankan hidup. Tempat-tempat sampah barangkali dilihat sebagai bagian dari Allah menabur rezeki untuk burung-burung (baca: orang-orang miskin) yang kehilangan harapan dengan perputaran roda zaman. Allah tidak mau mereka terhempas tak berdaya di tepian pertarungan hidup. Kehadiran mereka di tengah-tengah kota sebagai praisyarat pada orang-orang kaya untuk mengafirmasi diri sebagai orang kaya karena tanpa mereka tidak ada titik pembeda yang tegas.
Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan untuk bangkit dari ketakberdayaan sembari menatap sebuah “fatamorgana harapan.” Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasihNya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya. Dalam diri Yesus tertemukan nilai-nilai perjuangan hidup. Ia mengalami dua situasi yang berbeda, situasi Tabor dan Golgota. Peristiwa Tabor memperlihatkan sebuah suasana hidup yang baik dan menjanjikan sebuah masa depan dan peristiwa Golgota memperlihatkan sebuah pergulatan hidup yang penuh penderitaan. Dua situasi inilah yang membuka kemungkinan bagi kita untuk memahami bahkan mengambil situasi tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Dalam iman, peristiwa Golgota tidak mengalami titik stagnasi tetapi menjanjikan harapan baru akan sebuah kebangkitan.
Masyarakat miskin tidak dilihat sebagai “penghuni tetap di titian hidup Golgota” tetapi mereka sedang menunggu sebuah kebangkitan baru yang lebih menjanjikan. Mereka juga tidak hanya memuaskan diri dalam “ruang perumpamaan semu” tetapi melalui perumpamaan ini, sebenarnya Yesus menampilkan sebuah proses pembelajaran hidup. Di dalam perumpamaan itu orang dipacu untuk berpikir, untuk pada akhirnya menilai situasi, menentukan keputusan sendiri dan mulai bertindak. Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Karena ketekunan dalam doa-doa dan menaruh harapan yang kuat maka pada akhirnya ia mendirikan tiga biara besar yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.***
Tuhan membekaskan
telapak peringatanNya
pada debu refleksiku
memapah jejak kakiku
menelusuri lorong kota sepi
pada ujung lelah sebuah pendakian
dengan jantung setengah berdenyut
kudapati tikaman terakhir dariNya
tikaman pedang bermakna kata

Tuesday, April 28, 2009

BELAJAR DARI SANG GURU

Oleh: Valery Kopong*


KETIKA mengunjungi teman yang sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien. Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Secara pribadi, saya memberikan salut dengan keputusan yang diambil oleh pasien. Keputusan yang diambil ini merupakan keputusan yang sangat riskan dengan mempertimbangkan dua aspek yang sama-sama sulit. Mau bertahan dengan hasil operasi yang pertama maka jelas tidak ada perubahan ke arah kesembuhan. Menurut deteksi dokter pada rumah sakit yang kedua dikatakan bahwa peletakan usus setelah operasi pertama tidak pada tempat yang sebenarnya dan usus tersebut tidak dalam kondisi bersih. Itu berarti ada kemungkinan penyebaran virus ke berbagai anggota tubuh lain. Atas dasar inilah maka para dokter memutuskan untuk dioperasi lagi. Operasi yang kedua berjalan cukup alot dan memakan waktu sebelas jam.
Sebelum menjalani operasi untuk kedua kalinya, ia terlihat lesuh dan sepertinya ada pemberontakan dalam diri untuk mengatakan “tidak”. Namun setelah sehari semalam ia dibujuk maka dengan penuh kepasrahan ia menyerahkan diri untuk dioperasi dengan satu harapan tunggal: sembuh. Harapan untuk hidup lebih baik yang tertanam dalam diri sahabatku dilimpahkan sepenuhnya pada Tuhan yang menjamah dirinya lewat tangan-tangan para dokter. Itu berarti bahwa cara kerja para dokter harus menjanjikan kesembuhan dan dalam diri dokter sendiri dilihat sebagai peluang dalam menggapai kehidupan.
Kami semua yang hadir hanya menghantar dia ke ruang operasi melalui tatapan mata. Dari tatapan mata para sahabatnya yang datang, membersitkan sebuah harapan yang sama yaitu: kesembuhan. Kesembuhan adalah nilai yang sangat berharga untuk seorang pasien. Tetapi apakah proses menuju ke arah kesembuhan semata-mata merupakan daya upaya manusia? Ketika berada dalam kondisi sakit, setiap pasien memperlihatkan diri sebagai manusia yang tak berdaya, lemah dan selalu meminta pertolongan dari siapa pun untuk menghantar dia (pasien) keluar dari lingkaran kesakitan. Orang-orang sakit adalah mereka yang selalu merindukan kesembuhan dan dalam diri mereka terlihat perjuangan untuk mempertahankan hidup. Tetapi untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, seorang pasien harus melalui peristiwa derita. Pada momentum derita ini, sebenarnya muncul dua kemungkinan yaitu mau sembuh atau tidak.
Pengalaman sahabat saya tidak menjadi pengalaman pribadi tetapi pengalamannya telah membawa banyak pihak untuk membuka mata sambil merenungkan tentang kehidupan ini. Kehidupan yang dijalani memperlihatkan dua sisi yang berbeda yang mesti dijalani oleh setiap manusia. Ada saat di mana seseorang merasakan kegetiran hidup sebagai tantangan sekaligus cobaan. Ada saat di mana seseorang merasakan kegembiraan. Dua aspek kehidupan ini bukan menjadi pilihan pribadi semata-mata tetapi lebih dari itu ada intervensi Tuhan dalam kehidupan setiap manusia. Tuhan memperlihatkan campur tangan secara pribadi melalui warna-warni kehidupan manusia. Tetapi seberapa jauh manusia merasakan sentuhan kasih Tuhan dalam setiap detak perjalanan hidup manusia?
Pengalaman sakit membawa daya pengubah untuk kehidupan seseorang. Melalui sakit membuat seorang pasien yang peka terhadap sentuhan kasihNya dapat mengadakan sebuah refleksi panjang tentang hidup dan kehidupan ini. Sakit yang membawa penderitaan membuat orang merasakan secara amat nyata ketidakpastian hidup, kegoyahan eksistensi. Penderitaan yang dialami membawa bahaya dan mengancam kehidupan itu sendiri. Dengan demikian muncul sebuah model ketergantungan baku dari sang pasien akan peranan orang lain.
Walaupun dalam kondisi tak berdaya, tetapi harapan baru terus digulirkan oleh para sahabat dan anak didiknya sendiri. Hampir setiap hari, rumah sakit selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang pernah ia didik. Para siswa dan siswi merasakan pendidikan yang baik tidak hanya dalam ruang kelas tetapi lebih dari itu, si pasien yang adalah guru mereka memberikan pendidikan baru untuk mereka yaitu mendidik mereka untuk bertahan dalam peristiwa derita. Barangkali si pasien sungguh memahami perjalanan hidup Sang Guru Agung, Yesus Kristus. Ia (Yesus) tidak hanya mengalami pengalaman Tabor yang menyenangkan tetapi juga turut merasakan secara mendalam akan peristiwa Golgota. Pengalaman kebangkitan seperti yang dialami oleh Yesus harus dilalui dengan derita dan hal ini menyodok kesadaran pasien untuk boleh berharap akan kesembuhan tetapi langkah pertama yang ditempuh adalah mau menderita.
Ada beberapa nilai yang perlu dipelajari dari perjuangan hidup seorang pasien. Pertama, nilai kepasrahan. Sikap pasrah seorang pasien adalah sikap pasrah dengan suatu harapan lain dibalik kepasrahan itu sendiri. Sikap yang ditunjukkan itu memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana bersikap pasrah pada setiap kali menghadapi cobaan hidup. Kedua, nilai kebaikan. Kehadiran para sahabat dan para siswa/siswi yang dididiknya yang tak pernah putus, menunjukkan bahwa si pasien yang adalah guru mereka telah menaburkan kebaikan di sepanjang karirnya.
Pengalaman untuk menghadapi penderitaan adalah pengalaman kesendirian. Hidup para pasien seakan teralienasi dari kehidupan ramai. Dalam kondisi hidup yang sangat sunyi ini mereka butuh uluran tangan, bantuan tidak hanya berupa uang tetapi lebih dari itu memberikan dukungan moril untuk pada akhirnya membangkitkan kembali sebuah harapan baru dalam diri seorang pasien. Dengan dukungan konkrit seperti kehadiran para sahabat, ia (pasien) akan menemukan kembali nilai dan semangat hidup yang paling berharga.**

Thursday, April 2, 2009

PEMILU DAN HARAPAN MESIANIK

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sebagai sebuah “mesin demokrasi” yang mengelola dan menghitung suara, sesungguhnya menjadi pesta perhelatan bagi bangsa yang tengah mencari figur untuk memimpin negara. Ketika negara sedang dalam keadaan “kehilangan harapan” dan tidak memiliki lagi animo untuk memilih, maka jalan pintas yang ditempuh adalah tidak memilih alias golput. Kondisi seperti ini tidak bisa dipungkiri pada setiap kali menyelenggarakan pemilu. Apakah memilih untuk tidak memilih (golput) merupakan jalan terbaik dalam kehidupan berdemokrasi? Ataukah masyarakat harus memilih namun pada akhirnya kondisi bangsa tetap morat-marit seperti sebelumnya?
Menyadari betapa pentingnya pemilu ini maka pada beberapa waktu lalu, keuskupan Agung Jakarta, melalui Romo Vikjen menyerukan agar masyarakat mempergunakan hak pilih sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa ini. Di setiap paroki, ditegaskan agar umat memberikan suaranya dalam pemilu untuk menentukan figur-figur yang pantas untuk menjadi presiden. Seruan profetis ini membawa dampak positif bagi angin perubahan di negara ini. Pemikiran yang lahir dari sang gembala ini mau menegaskan bahwa sebagai anggota Gereja, perhatian kita harus meluas dan mengarah pada kepentingan publik. Keberadaan seorang anggota Gereja di tengah masyarakat, memiliki peran yang sangat sentral dalam membangun sebuah peradaban manusia yang humanis.
Walaupun seruan itu lebih terfokus pada “ruang pengharapan” untuk masa yang akan datang, namun pijakannya tetap pada pemilu yang lebih realistis dan elegan. Dengan demikian, ukuran sebuah demokrasi yang dewasa dan pemilu yang berbobot tidak hanya berhenti pada tempat pemungutan suara, tetapi masyarakat perlu mengkawal figur-figur yang dijagokan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan suara berarti ada kemungkinan untuk setiap pemilih menggantungkan harapan pada “pundak” sang pemimpin.
Ketika sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan untuk tidak memilih, para politikus ramai-ramai memandang situasi ini sebagai bentuk kezaliman politik dan sekaligus kritik atas proses demokratisasi maka “mungkin” seruan sang gembala di atas menjadi sangat menarik dan inspiratif walaupun seruan itu menggema, berbasis dalam lingkungan Gereja. Keberadaan Gereja yang memposisikan diri sebagai minoritas, namun perlu membangun kembali nuansa peradaban bangsa dengan memanfaatkan hak pilih sebagai sebuah alternatif dalam proses pembenahan hidup berdemokrasi. Kepedulian Gereja merupakan bentuk apresiasi positif dan seruan moral politik sebagai bagian dalam penataan hidup berbangsa dan bernegara.
Walaupun keterlibatan Gereja sebatas “pinggiran politik praktis” tetapi seruan yang dilantunkan tidak berada pada pinggiran masyarakat. Seruannya menusuk masuk ke dalam realitas sosial-politik, di mana masyarakat sedang menunggu dengan harapan yang tidak menentu. Mungkinkah masyarakat luas menerima seruan Gereja ini sebagai langkah awal dalam membangun peradaban politik?
Beberapa waktu lalu, mantan presiden Gus Dur, menyerukan kepada publik untuk memboikot pemilu 2009. Seruan Gus Dur ini dilandasi oleh rasa kecewa terhadap partai yang kalah di hadapan Mahkamah Konstitusi. Apakah dilandasi oleh rasa kecewa memacu seorang Gur Dur untuk memboikot pemilu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk mengungkapkan rasa kecewa?
Apabila dicermati dua hal di atas dan dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan tertemukan persoalan yang sangat pelik. Masyarakat sendiri dibingungkan oleh seruan-seruan dari lembaga ataupun orang-orang yang berpengaruh. Kebingungan barangkali menjadi faktor utama dalam menentukan proses penilaian dan menentukan sikap yang tegas. Masyarakat sendiri harus jernih melihat dan secara bijak dalam mengambil keputusan sebelum memberikan hak-hak politik pada pemilu mendatang. Di sini, masyarakat sendiri menilai dan secara bebas menentukan arah perjalanan hidup bersama dalam sebuah perahu yang bernama “Indonesia.” Kebebasan dalam menentukan sikap politik terhadap dua model seruan di atas, bukan cuma terlepas dari suatu ikatan, melainkan mengikat diri pada sesuatu untuk sesuatu. Mengikat diri di sini lebih dimaksudkan dengan memberikan keputusan final dalam menyumbangkan suara pada pemilihan umum nanti.
Suara yang disumbangkan pada pemilu dapat memberikan denyut nadi peradaban dan sejarah bangsa ini akan terus berlanjut karena kebulatan suara masyarakat. Seperti para donatur yang menyumbangkan darah untuk mereka yang membutuhkan pada saat-saat kritis dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa manusia, demikian juga dalam kehidupan berbangsa, pemilu menjadi momentum berharga, karena pada saat itu, para “donatur” (masyarakat pemilih) memberikan sebagian “darah” (suara) untuk menyelamatkan “nyawa” bangsa yang masih terkapar ini.
Gereja, melalui suara sang gembala (imam) seakan memberikan “suntikan” melalui “jarum seruan” sebagai cara terbaik dalam upaya menyelamatkan bangsa ini. Proses penyelamatan bangsa, dimulai dari lingkup paling kecil yaitu paroki. Lewat basis utama Gereja ini, tertanam sebuah komitmen untuk membangun peradaban, sambil menunggu sang penyelamat (mesias) atau pemimpin yang dirindukan oleh bangsa ini. Bagaimana masyarakat melihat hal berpikir dan mengungkapkan pikiran sebagai satu bentuk kerasulan, sebagai satu bentuk komitmen terhadap persoalan kemasyarakatan dan Gereja?***