Tuesday, April 10, 2012

Ekaristi: Gerakan untuk Berbagi

Oleh Steph Tupeng Witin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah 2012 mengajak seluruh umat untuk “Bersatu dalam Ekaristi, lalu diutus untuk berbagi” dengan sesama. Ajakan ini merupakan kelanjutan dari Surat Gembaka Prapaska 2011: Mari Berbagi (HIDUP No 15 Tahun ke-65. 10 April 2011.hlm 40). Hal yang istimewa dalam Surat Gembala Prapaska tahun 2012 adalah umat diajak untuk menjadikan Ekaristi sebagai basis gerakan untuk berbagi. Artinya, gerakan berbagi melalui berbagai aksi sosial karitatif kemanusiaan yang menjadi intensi sekaligus imperatif masa prapaska merupakan gerakan energi Kristiani yang bersumber pada Kristus yang memecah-mecahkan diri-Nya dalam Ekaristi. Ketika Kristus membagi-bagi diri-Nya dalam misteri Ekaristi, seluruh umat dengan latar belakang dan status apa pun, bersatu sebagai satu keluarga besar yang menimba kekuatan dari kelimpahan rahmat Ekaristi. Melalui Ekaristi, diri kita yang terpecah-pecah karena dosa diutuhkan kembali dan kita membuka diri untuk menerima Sabda-Nya yang membangun dan mempersatukan kita untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Melalui communio dengan Kristus, keterpecahan diri kita diutuhkan kembali: yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai-berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Inilah saat berahmat ketika communio dengan Kristus itu menggerakkan kita untuk menjadi saksi kasih-Nya melalui gerakan berbagi diri (pikiran, ide, gagasan, bakat dan talenta) dan hidup (pekerjaan, profesi dan pelayanan sosial karitatif kemanusiaan). Komunitas Alternatif Tanah pembuangan dalam narasi Perjanjian Lama menjadi inspirasi biblis yang mengalirkan kekuatan harapan di tengah gelombang penderitaan. Israel terlempar keluar ari tanah air dan menderita dalam represi militeristik Babilonia. Sebagian besar umat Israel yang telah menikmati “kue” posisi politik, sosial dan ekonomi justru kehilangan jati diri. Tuhan tidak lagi menjadi pegangan hidup. Mereka berargumen bahwa Tuhan terasa sangat jauh justru ketika mereka mengharapkan pertolongan-Nya. Tetapi sekelompok kecil umat Israel tetap setia berharap pada Allah. Mereka ulet menata dan membangun hidupnya meski itu harus dirajut di atas puing-puing kehancuran. Penderitaan selama rentang waktu pembuangan menjadi saat purifikasi (pemurnian) iman kepada Allah. Ibarat emas yang diuji kemurniannya dalam tanur api, demikian iman kelompok kecil ini menggapai kemurniannya yang otentik justru dalam tantangan dan salib. Di tengah migrasi religius sebagian besar umat Israel yang berpaling dari Tuhan, “sisa Israel” tetap kokoh dan teguh dalam iman. Kasih Allah yang dialami di tengah puing-puing penderitaan, meski kecil sekali pun dirasakan sebagai partisipasi aktif Allah dalam hidup. Tuhan begitu intim menyapah mereka meski sapaan itu kadang hadir melalui peristiwa-peristiwa hidup yang biasa dan sederhana. Waktu yang berlalu begitu cepat di tengah pengalaman hidup beriman adalah mukjizat yang menghadirkan wajah Allah yang abadi. Uskup Suharyo dalam Surat Gembala Prapaska 2012 menyebut kelompok ini sebagai “komunitas alternatif.” Kata “alternatif” mengacu pada pengertian “pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi ke-4, Gramedia, 2008:44). Boleh jadi, “komunitas alternatif” Israel menjadi inspirasi bagi umat Katolik di Keuskupan Jakarta khususnya dan umat Katolik Indonesia umumnya untuk tidak lagi berkutat sebatas “berapa orang” yang dibabtis setiap minggu (jumlah) tetapi bagaimana kita mesti hidup sebagai orang Katolik yang seperti Kristus dalam Ekaristi: berhati sederhana, tulus memecah-mecahkan diri dan terbuka membagi hidup-Nya kepada semua orang tanpa sekat-sekat diskriminasi suku, agama, rasa dan golongan (SARA). Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas di Republik ini mestinya menjadi kekuatan alternatif yang bersumber pada Ekaristi Kristus, lalu dengan rahmat kekuatan itu menjadikan hidupnya sebagai sebuah “Ekaristi yang hidup”: saat di mana melalui pikiran, gagasan, profesi dan pekerjaan-pekerjaan, kita berbagi hidup dengan semua orang, bahkan segenap ciptaan. Di tengah agresivitas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lain yang bernafsu mengejar penganut dari takaran statistik (jumlah), di tengah migrasi sekelompok besar umat Katolik yang telah menikmati “kue” ekonomi, sosial dan politik negeri ini, lalu berpaling kepada “berhala-hala lain” (misalnya, meninggalkan Gereja), umat Katolik yang minoritas ini mesti menjadi “komunitas alternatif” yang seperti “sisa Israel” teguh dalam iman kepada Allah dan tulus berbagi dengan sesama. Hidup yang dilandasi jiwa Ekaristi menggerakkan umat Katolik untuk menjadi “Injil yang hidup” dalam konteks Indonesia yang plural: menjadi saksi konkret menerima dan berkomunikasi secara jujur dengan semua orang dari latar belakang apa pun dan menjadi “Ekaristi yang hidup”: setia berbagi apa yang ada pada kita seperti Kristus yang tulus memecah-mecahkan diri-Nya lalu memilih jalan salib untuk menyelamatkan semua umat manusia. “Komunitas alternatif” adalah ajakan bagi seluruh umat Katolik untuk menjadi saksi Ekaristi yang nyata di Republik ini melalui bakat, talenta dan profesi-profesi di bidang sosai, ekonomi dan politik. Umat Katolik yabg minoritas diajak untuk menjadi seperti garam: yang “mengenakkan” ranah kehidupan publik melalui pikiran, gagasan dan solusi alternatif-kreatif yang mencerahkan di tengah gelombang kebohongan dan penipuan miskin rasa malu yang memendungkan wajah peradaban bangsa ini. Secara khusus, ajak bagi umat Katolik yang mendapatkan kepercayaan publik untuk mengabdi dan melayani Republik ini dalam ranah sosial, politik dan ekonomi, kiranya menjadi cahaya Ekaristi: menjadi saksi hidup yang sederhana dan jujur sehingga rela membagi diri dengan tulus, minim kalkulasi ekonomi politik yang egois (Bdk Mat. 5:13-16). Yohanes Pembabtis mengingatkan: Cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Yoh 3:14). Kita semua, dengan latar belakang dan profesi apa pun, diajak untuk menjadi saksi hidup dengan melawan arus ketidaktulusan, kebohongan dan korupsi yang mengalir deras menggenangi hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Penulis adalah Jurnalis, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Flores

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Monday, March 12, 2012

APA YANG TERJADI DENGAN DIRIKU?

(Sumber inspirasi Markus, 6:53-56) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan” Saudara/I pendengar di mana pun Anda berada. Hari ini kita diajak untuk merenungkan kisah penyembuhan bagi mereka yang sakit, mereka yang tak berdaya. Sehari sebelum peristiwa penyembuhan di Genezaret, Yesus sudah memperlihatkan suatu keajaiban yaitu berjalan di atas air, menyusuri orang banyak yang naik perahu yang sedang diterpa angin sakal. Apa yang dilakukan Yesus dihadapan publik, memperlihatkan sesuatu di luar batas kelaziman, di luar jangkauan ratio manusia dan hal itu menjadi tanda heran bagi manusia yang melihatnya. Mengapa Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah dan keselamatan manusia, selalu memperlihatkan mukjizat atau keajaiban-keajaiban dihadapan publik? Kehadiran Yesus di tengah-tengah kelompok yang dijanjikan juru selamat oleh Allah, namun kelompok yang bersangkutan yakni umat Israel masih menolak kehadiran sang mesias itu sendiri. Mereka belum percaya pada Yesus yang merupakan utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dan membuka simpul-simpul dosa. Karena itu tanda heran atau mukjizat yang dilakukan Yesus, selain merupakan bagian penting dalam pewartaan tentang datangnya kerajaan Allah, tetapi juga mau menggiring kesadaran manusia yang masih tumpul hatinya dan menolak kehadiran sang juru selamat, perlahan percaya pada-Nya. Apa yang dilakukan Yesus terutama menyembuhkan orang-orang sakit juga mengungkapkan wibawa keallahan-Nya di hadapan dunia. Tetapi fenomena sosial yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan dunia kepada dirinya, tidak semata-mata dibantu dengan tindakan menyembuhkan sebagai upaya membangun pamor kemesiasan tetapi apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan Allah dalam solidaritasnya dengan mereka yang terpinggirkan. Yesus selalu menempatkan “kepekaan sosial” sebagai cara paling mudah dalam membangun relasi dengan manusia lain. Karena melalui kepekaan sosial, terbangunlah rasa toleransi dan tindakan produktif yang menyelamatkan manusia yang mengalami “tuna di dalam kehidupannya.” Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Penginjil Markus secara dramatis membahasakan keberpihakan Yesus dan kejelian orang-orang sakit yang selalu membuka diri bagi kehadiran Sang juruselamat. Orang-orang sakit tidak lagi menunggu kabar, kapan Yesus lewat di sekitar rumahnya tetapi justeru mereka yang sakit juga diletakkan di pasar, sebuah ruang terbuka, tempat transaksi para penjual dan pembeli. Penginjil Markus mau membuka wawasan, membuka cara baru dalam melihat peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa terbuka dimana kehadiran Yesus menjadi milik bersama dan tindakannya melampaui semua orang, siapa saja yang membutuhkan bantuan. Pasar, sebuah ruang publik yang bising, tempat orang-orang melakukan transaksi, Allah mau hadir bersama putera-Nya untuk memulihkan harapan yang sirna, mengembalikan yang cacat ke keadaan semula. Di sinilah tempat traksaksi iman antara mereka yang terluka dan sang juru selamat. Orang-orang sakit membuka diri, membiarkan keselamatan itu menjalar dalam dirinya dan hanya satu harapan tunggal yang melekat dalam dirinya yaitu ingin agar kesembuhan bisa terlaksana. Baginya, hidup sehat merupakan modal utama dan kerinduan terbesar dalam dirinya. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Kehadiran Yesus dan tindakan nyata Yesus selalu mengutamakan keselamatan manusia. Keberpihakkan kepada mereka yang tersisih menjadi prioritas perhatian yang diberikan oleh Yesus. Ketika Yesus melakukan sesuatu kepada orang lain maka pada saat yang sama ia mengorbankan kepentingan, memangkas egoisme sendiri untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Di pasar, seperti yang dilukiskan oleh penginjil Markus, Yesus telah menjumpai begitu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Ia membaurkan diri bahkan menenggelamkan diri dalam gegap-gempitanya pasar agar Ia bisa menyatu dengan manusia. Dan dalam keterlibatan yang intens itu, Yesus menghadirkan cinta tanpa batas, melampaui batas-batas cinta diri. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam dunia pendidikan, nilai pengorbanan terhadap sesama juga menjadi prioritas. Anak-anak didik yang umumnya masih mencari jati diri dan ilmu pengetahuan, perlu mendapat perhatian lebih dari para pendidik. Dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka maka ada jalan terbuka menuju ruang peradaban baru yang lebih berdaya dan produktif. (Valery Kopong)

“Aku dalam "Menggapai Aku atau Kapankah Waktuku Sampai?”

Bacaan Markus 8:11-13 Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam YEsus kristus. Mengapa angkatan ini meminta tanda? Inilah satu pertanyaan retoris yang diajukan oleh Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang farisi. Permintaan orang-orang farisi ini akan tanda dari Yesus memperlihatkan tingkat kualitas kepercayaan terhadap Dia yang semakin lemah dan karena kehadiran Yesus sendiri mengganggu kemapanan hidup mereka. Yesus tidak secara serta-merta memperlihatkan tanda baru, bahkan menolak untuk memberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Tanda Yunus menjadi tanda peringatan Tuhan kepada Niniwe dan Yunus sendiri tidak melakoni tugas sebagai nabi yang menyerukan sebuah peradaban hidup yang baru. Yunus melarikan diri dari Tuhan dan mendapatkan kutukan dariNya. Ia dibuang ke laut dan ditelan ikan. Ia hidup selama 3 hari, tiga malam dalam perut ikan. Apa yang terjadi di zaman nabi Yunus sudah menjadi peringatan yang menyejarah dan kisah yang menyapa setiap generasi yang hidup. Tanda pertama yang diperlihatkan Allah kepada manusia melalui Yunus menjadi sebuah ikatan antara masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini terikat oleh tanda dari sang penguasa waktu. Yesus tidak memperlihatkan tanda baru selain tanda nabi Yunus karena Ia memahami kedalaman makna dari tanda tersebut yang juga mengena dengan dirinya sendiri. Yesus menghargai tanda dan membiarkan tanda itu bermakna dalam siklus zaman tetapi tak satu pun yang menyadari makna tanda dari nabi Yunus itu. Namun Yesus yang diberi peran yang kian berat itu menyadari bahwa Dia akan segera hancur di bawah tekanan perutusan yang menyelamatkan itu. Yesus tampil di hadapan orang-orang farisi dalam ketelanjangan cogito, ergo sum, saya berpikir maka saya ada, merasa perlu menyembunyikan diri lagi dibalik berbagai tekanan untuk memperlihatkan tanda baru dari-Nya. Desakan permintaan tanda ini seolah-olah tanda Yunus telah usang dan diganti dengan tanda dari Yesus sendiri. Kategori waktu dan ruang, kategori sebab-akibat dan substansi adalah kerangka-kerangka yang tetap yang ada dalam benak pemikiran manusia, yang tidak bergantung pada penentuan bebas manusia dan sebab itu berada di luar tanggung jawab manusia. Menunjukkan keterbatasan pikiran manusia berarti juga menyatakan keterbatasan tanggung jawabnya. Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Apakah di dalam hidup, sebagai pengikut Kristus, kita pun menyangsikan tanda dari Yunus dan meminta tanda baru dari Yesus? Yesus telah memaknai tanda tersebut dan bahkan mengalami sendiri. Kalau Yunus ditelan ikan dan hidup di dalam perut ikan selama 3 hari, 3 malam maka Yesus pun telah menggenapi tanda itu. Ia telah ditelan maut dan hidup di dalam perut bumi selama 3 hari. Inilah tanda yang telah diperlihatkan Yesus kepada dunia, tanda kematian dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Tanda inilah yang menjadi ikatan iman kita kepada Yesus sebagai sumber keselamatan kita. Orang-orang farisi mewakili angkatannya, masih ragu dan meminta tanda baru dari Yesus. Apa yang dilakukan oleh orang-orang farisi seringkali juga kita lakukan untuk mengungkapkan lemahnya kepercayaan kita kepada seseorang. Terkadang kita ragu kepada guru-guru dan mempertanyakan nilai yang mewakili kemampuan kita. Merasa ragu itu adalah sesuatu yang wajar di dalam hidup ini. Tetapi menjadi tidak wajar jika di dalam hidup kita dipenuhi dengan keragu-raguan. Apabila hidup kita diliputi oleh rasa ragu yang berkepanjangan maka akan menjadi sulit untuk menentukan hidup yang lebih optimis. Mudah-mudahan kita tidak merasa ragu lagi terhadap Yesus karena dialah yang menjadi pelita yang menerangi masa depan kita. (Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (2)

Apa yang dilakukan Yesus mendapat banyak reaksi terutama orang-orang Yahudi yang tahu tentang hukum Taurat. Seorang guru, tidak perlu duduk, apalagi makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya. Yesus sendiri, kehadiran-Nya di tengah manusia membawa perubahan sekaligus mengundang reaksi berlebihan dari orang-orang yang mapan dengan tata aturan sosial religius. Para pemungut cukai adalah gambaran mereka yang menjadi tukang pemeras masyarakat terutama kalangan petani dan nelayan. Penagihan pajak yang tinggi menjadikan kelompok-kelompok pinggiran menjadi terdepak secara ekonomis dan memelaratkan hidup mereka. Keberadaan Yesus yang seharusnya menjadi kerinduan besar kelompok petani dan nelayan untuk menentang para pemungut pajak, namun justeru Yesus membaur dengan Matius, seorang pemungut cukai. Mengapa Yesus bergaul dengan pemungut cukai? Tidak adakah orang lain yang lebih layak diperhatikan oleh Yesus? Apa yang dilakukan Yesus menjadi pertentangan bersama bahkan dengan peristiwa di mana Yesus bergaul dengan Matius, menjadi pilihan mereka untuk menjerat-Nya. Apa kata Yesus, seorang yang sehat tidak memerlukan tabib. Hanya orang sakitlah yang memerlukan tabib. Yesus memperlihatkan secara implisit tujuan kedatangan-Nya untuk mengembalikan kondisi hidup mereka yang dipandang dengan sebelah mata. Tidak hanya Matius, Zakheus pun demikian. Mereka sama-sama sebagai pemungut cukai selalu membuka diri bagi kehadiran Yesus. Menyadari pentingnya kehadiran Yesus, Zakheus pun rela memanjat pohon agar melihat, seperti apakah Yesus itu. Baginya, Yesus tidak hanya lewat begitu saja di hadapannya tetapi justeru ia memaknai “safari rohani” Yesus dalam mencari mereka yang terbuang. Kehadiran Yesus mengubah hidup mereka dan menjadikan hidup mereka lebih bermakna. Matius sebagai pemungut cukai, dijadikan oleh Yesus sebagai murid-Nya. Inilah bukti kemuridan Yesus yang menempatkan para murid-Nya dengan nuansa kesederhanaan. Mereka-mereka inilah yang membuka diri, membiarkan rahmat mengalir dari dalam dirinya agar tertumbuhkan benih-benih kebaikan. “Ikutlah Aku. Matius pun bangkit dan mengikut Dia.” Bangkit dan mengikuti Dia tidak hanya dimengerti sebagai gerak tubuh secara normatif, tetapi lebih dari itu mereka bermakna, mereka sudah bangkit dari keterpurukan, dari ketakberdayaan untuk menggapai rahmat keselamatan.***(Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (1)

Di pinggir danau yang sedang disusuri Yesus, sorot mata-Nya tertuju pada dua orang bersaudara. Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya. Tidak hanya dua orang ini tetapi Yesus masih lagi memanggil dua orang bersaudara, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya. Yesus, walaupun sesaat menelusuri danau dan melihat aktivitas mereka, segera Ia memanggil murid-murid pertama ini. Apa reaksi dari para murid yang dipanggil itu? Proses pemilihan murid-murid pertama tidak memberikan sebuah kriteria yang ketat. Tetapi yang pasti adalah Yesus mengetahui kesungguhan mereka untuk mau melepaskan segala-galanya, melepaskan ikatan yang membelenggu mereka dalam mengikuti Yesus. Menarik bahwa pekerjaan dari murid-murid perdana yang dipanggil Yesus adalah penjala ikan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang bertarung dengan tantangan alam. Deburan ombak yang terus menghantam perahu, menjadikan mereka harus mencari keseimbangan agar perahu yang mereka tumpangi tidak terbalik dan tenggelam. Pekerjaan sebagai nelayan menjadi modal dasar mereka untuk mengikuti Yesus. Dengan “jala” yang menjadi milik mereka yang paling berharga, memicu mereka untuk terus menjala manusia dengan modal keberanian. “Mari, ikutlah AKu dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.” Kata-kata Yesus ini mengubah situasi karena menarik mereka dari tengah-tengah keakraban dengan ayah mereka yang bersama dengan mereka. Mereka meninggalkan ayah mereka sendirian di tepi danau. Hati ayah mereka tidak mengalami sebuah pemberontakan karena dia tahu bahwa Yesus lebih membutuhkan mereka untuk kepentingan pewartaan karena itu ia (ayah) mereka berani melepaskan anak mereka demi suatu tujuan yang luhur. Mereka terus mencari dan menggali jati diri serta semangat pelayanan yang dilakukan oleh murid-murid pertama. Kesederhanaan mereka untuk menerima tawaran menjadi kunci pembaharu hidup mereka. (Valery Kopong)