Tuesday, April 10, 2012

Ekaristi: Gerakan untuk Berbagi

Oleh Steph Tupeng Witin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah 2012 mengajak seluruh umat untuk “Bersatu dalam Ekaristi, lalu diutus untuk berbagi” dengan sesama. Ajakan ini merupakan kelanjutan dari Surat Gembaka Prapaska 2011: Mari Berbagi (HIDUP No 15 Tahun ke-65. 10 April 2011.hlm 40). Hal yang istimewa dalam Surat Gembala Prapaska tahun 2012 adalah umat diajak untuk menjadikan Ekaristi sebagai basis gerakan untuk berbagi. Artinya, gerakan berbagi melalui berbagai aksi sosial karitatif kemanusiaan yang menjadi intensi sekaligus imperatif masa prapaska merupakan gerakan energi Kristiani yang bersumber pada Kristus yang memecah-mecahkan diri-Nya dalam Ekaristi. Ketika Kristus membagi-bagi diri-Nya dalam misteri Ekaristi, seluruh umat dengan latar belakang dan status apa pun, bersatu sebagai satu keluarga besar yang menimba kekuatan dari kelimpahan rahmat Ekaristi. Melalui Ekaristi, diri kita yang terpecah-pecah karena dosa diutuhkan kembali dan kita membuka diri untuk menerima Sabda-Nya yang membangun dan mempersatukan kita untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Melalui communio dengan Kristus, keterpecahan diri kita diutuhkan kembali: yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai-berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Inilah saat berahmat ketika communio dengan Kristus itu menggerakkan kita untuk menjadi saksi kasih-Nya melalui gerakan berbagi diri (pikiran, ide, gagasan, bakat dan talenta) dan hidup (pekerjaan, profesi dan pelayanan sosial karitatif kemanusiaan). Komunitas Alternatif Tanah pembuangan dalam narasi Perjanjian Lama menjadi inspirasi biblis yang mengalirkan kekuatan harapan di tengah gelombang penderitaan. Israel terlempar keluar ari tanah air dan menderita dalam represi militeristik Babilonia. Sebagian besar umat Israel yang telah menikmati “kue” posisi politik, sosial dan ekonomi justru kehilangan jati diri. Tuhan tidak lagi menjadi pegangan hidup. Mereka berargumen bahwa Tuhan terasa sangat jauh justru ketika mereka mengharapkan pertolongan-Nya. Tetapi sekelompok kecil umat Israel tetap setia berharap pada Allah. Mereka ulet menata dan membangun hidupnya meski itu harus dirajut di atas puing-puing kehancuran. Penderitaan selama rentang waktu pembuangan menjadi saat purifikasi (pemurnian) iman kepada Allah. Ibarat emas yang diuji kemurniannya dalam tanur api, demikian iman kelompok kecil ini menggapai kemurniannya yang otentik justru dalam tantangan dan salib. Di tengah migrasi religius sebagian besar umat Israel yang berpaling dari Tuhan, “sisa Israel” tetap kokoh dan teguh dalam iman. Kasih Allah yang dialami di tengah puing-puing penderitaan, meski kecil sekali pun dirasakan sebagai partisipasi aktif Allah dalam hidup. Tuhan begitu intim menyapah mereka meski sapaan itu kadang hadir melalui peristiwa-peristiwa hidup yang biasa dan sederhana. Waktu yang berlalu begitu cepat di tengah pengalaman hidup beriman adalah mukjizat yang menghadirkan wajah Allah yang abadi. Uskup Suharyo dalam Surat Gembala Prapaska 2012 menyebut kelompok ini sebagai “komunitas alternatif.” Kata “alternatif” mengacu pada pengertian “pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi ke-4, Gramedia, 2008:44). Boleh jadi, “komunitas alternatif” Israel menjadi inspirasi bagi umat Katolik di Keuskupan Jakarta khususnya dan umat Katolik Indonesia umumnya untuk tidak lagi berkutat sebatas “berapa orang” yang dibabtis setiap minggu (jumlah) tetapi bagaimana kita mesti hidup sebagai orang Katolik yang seperti Kristus dalam Ekaristi: berhati sederhana, tulus memecah-mecahkan diri dan terbuka membagi hidup-Nya kepada semua orang tanpa sekat-sekat diskriminasi suku, agama, rasa dan golongan (SARA). Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas di Republik ini mestinya menjadi kekuatan alternatif yang bersumber pada Ekaristi Kristus, lalu dengan rahmat kekuatan itu menjadikan hidupnya sebagai sebuah “Ekaristi yang hidup”: saat di mana melalui pikiran, gagasan, profesi dan pekerjaan-pekerjaan, kita berbagi hidup dengan semua orang, bahkan segenap ciptaan. Di tengah agresivitas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lain yang bernafsu mengejar penganut dari takaran statistik (jumlah), di tengah migrasi sekelompok besar umat Katolik yang telah menikmati “kue” ekonomi, sosial dan politik negeri ini, lalu berpaling kepada “berhala-hala lain” (misalnya, meninggalkan Gereja), umat Katolik yang minoritas ini mesti menjadi “komunitas alternatif” yang seperti “sisa Israel” teguh dalam iman kepada Allah dan tulus berbagi dengan sesama. Hidup yang dilandasi jiwa Ekaristi menggerakkan umat Katolik untuk menjadi “Injil yang hidup” dalam konteks Indonesia yang plural: menjadi saksi konkret menerima dan berkomunikasi secara jujur dengan semua orang dari latar belakang apa pun dan menjadi “Ekaristi yang hidup”: setia berbagi apa yang ada pada kita seperti Kristus yang tulus memecah-mecahkan diri-Nya lalu memilih jalan salib untuk menyelamatkan semua umat manusia. “Komunitas alternatif” adalah ajakan bagi seluruh umat Katolik untuk menjadi saksi Ekaristi yang nyata di Republik ini melalui bakat, talenta dan profesi-profesi di bidang sosai, ekonomi dan politik. Umat Katolik yabg minoritas diajak untuk menjadi seperti garam: yang “mengenakkan” ranah kehidupan publik melalui pikiran, gagasan dan solusi alternatif-kreatif yang mencerahkan di tengah gelombang kebohongan dan penipuan miskin rasa malu yang memendungkan wajah peradaban bangsa ini. Secara khusus, ajak bagi umat Katolik yang mendapatkan kepercayaan publik untuk mengabdi dan melayani Republik ini dalam ranah sosial, politik dan ekonomi, kiranya menjadi cahaya Ekaristi: menjadi saksi hidup yang sederhana dan jujur sehingga rela membagi diri dengan tulus, minim kalkulasi ekonomi politik yang egois (Bdk Mat. 5:13-16). Yohanes Pembabtis mengingatkan: Cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Yoh 3:14). Kita semua, dengan latar belakang dan profesi apa pun, diajak untuk menjadi saksi hidup dengan melawan arus ketidaktulusan, kebohongan dan korupsi yang mengalir deras menggenangi hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Penulis adalah Jurnalis, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Flores

0 komentar: