Tuesday, April 10, 2012

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

0 komentar: