Friday, September 21, 2012

MENYONGSONG PAROKI BARU

Tanggal 23 September 2012 merupakan hari bersejarah bagi umat Gereja Santo Gregorius. Pada tanggal ini diadakan peresmian gereja yang merupakan pengalihan status Gereja stasi menjadi sebuah paroki mandiri. Tanggal 23 September 2012 hanya merupakan upacara peresmian sedangkan tanggal resmi berdiri sebagai paroki berdasarkan SK Mgr. Ignatius Suharyo per 3 September 2012, bertepatan dengan pesta nama pelindung, Santo Gregorius Agung. Tanggal 3 September 2012, bapak Uskup Agung Jakarta mengangkat Romo Adrianus Andy, Pr sebagai Pastor Kepala Paroki. Perjalanan gereja ini kurang lebih 20 tahun hingga pada akhirnya memproklamirkan diri sebagai sebuah paroki mandiri. Terima kasih pada para perintis, terutama Romo Binzler Bintarto, SJ, Romo Bratakartana, SJ, Romo Maximianus Sriyanto, SJ, Romo Ignatius Swasono, SJ.***(Valery Kopong)

Tuesday, September 4, 2012

GEREJA PERLU BERMIMPI


                                                          Oleh: Valery Kopong*

    Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas  tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni  “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu. Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat  dan kemudian lenyap? 
    Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan  yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari  sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
    Apabila Gereja mau membuka mata untuk melihat kondisi riil maka seharusnya tidak hanya membuat gerakan “Ayo Sekolah” yang tidak lebih sebagai gerakan mengumpulkan uang, mirip mengumpulkan uang untuk korban bencana tetapi lebih dari itu berupaya dalam membangun sekolah murah yang dikhususkan bagi siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomis.    Mengapa Gereja tidak mendirikan sekolah yang benar-benar untuk orang miskin? Gereja harus punya mimpi untuk mewujudkan persoalan ini karena kalau tidak maka gerakan Ayo sekolah hanyalah sebuah ajakan sia-sia karena gerakannya sesaat. Penulis tidak mengecilkan niat baik pihak keuskupan Agung Jakarta yang menggagas gerakan ini tetapi kita melihat bahwa perhatian terhadap persoalan pendidikan haruslah berkelanjutan agar generasi baru yang disiapkan lewat dunia pendidikan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang layak. 
    Gereja Katolik dikenal sebagai perintis pendidikan di negeri ini. Hanya belum terdengar Gereja membuka sekolah murah (bukan gratis) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah. Kalau menilik beberapa sekolah Kristen Protestan, keberpihakkan mereka dalam dunia pendidikan cukup merata.  Ada sekolah yang dibuka untuk kelas atas, menengah dan bawah. Dengan membuka sekolah pada tingkatan yang berbeda membuka peluang adanya subsidi silang dari mereka yang mampu kepada yang tidak mampu.  Beranikah Gereja Katolik membuka terobosan baru dalam membangun sekolah murah sebagai bagian penting dalam mewujudkan opsi terhadap mereka yang miskin dan tersisi sebagai akibat kekurangan ekonomi.
    Mari Berbagai, adalah tema sentral masa prapaskah Keuskupan Agung Jakarta yang dua tahun terakhir digulirkan. Pengguliran tema ini tentu dilatari oleh alasan teologis yang mendalam. Tetapi makna teologis itu menjadi hidup ketika diperhadapkan dengan kenyataan sosial. Teologi terus bergumul agar menemukan makna ekaristis sesungguhnya yakni barbagi untuk mereka yang hadir namun dilupakan oleh sejarah dan dunia. Berpihak pada mereka yang tidak mampu secara ekonomis melalui dunia pendidikan, suatu ketika mereka menyadari diri sebagai orang yang tertolong dan dengannya mereka rela menolong generasi di bawahnya. ***

Monday, July 2, 2012

MENJADI RASUL AWAM YANG HANDAL

Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) Gereja Stasi Santo Gregorius mengadakan seminar. Seminar yang menghadirkan 2 pembicara dari Keuskupan Agung Jakarta ini berlangsung pada Minggu, 15 April 2012. Karena ketiadaan tempat maka seminar ini dilangsungkan dalam Gereja Stasi Santo Gregorius. Dalam sambutan singkat di awal acara tersebut, Bapak Soter selaku ketua penyelenggara mengharapkan agar dalam seminar itu dapat menambah wawasan kita untuk lebih tahu tentang apa itu kerasulan awam dan bagaimana membangun awam ke depan secara lebih baik. Seminar ini mengusung tema: “Memahami Kerasulan Awam dan Perannya dari sisi Spiritualitas Katolik.” Sebagai anggota Gereja yang sudah dibaptis, maka setiap orang punya kewajiban untuk memperkenalkan Kristus kepada siapa saja. Menjadi pewarta Sabda tidak hanya dimonopoli oleh kaum klerus tetapi lebih dari itu sangat diharapkan agar keterlibatan awam yang handal sangat dibutuhkan saat ini. Menyadari betapa pentingnya peranan awam ini maka seksi kerasulan awam secara gencar mempersiapkan awam-awam yang tangguh untuk terlibat dalam seluruh lini kehidupan. Dalam paparan materi tentang bagaimana merasul, Ibu Maria Anastasia Ratna Aryani mengingatkan para peserta mengenai rahmat baptisan yang telah diterima. “Kita punya rahmat baptisan yang sama, dan sebagai orang yang sudah dibaptis maka setiap orang diutus untuk menjadi rasul awam yang handal. Pada masa keemasan Gereja, iman memainkan peranan yang penting. Awam harus dilibatkan untuk menyucikan dunia. Setelah konsili Vatikan II, keterlibatan awam mulai terasa. Kita mensyukuri rahmat baptisan tetapi lebih dari itu adalah diutus untuk menjadi rasul menurut profesi kita masing-masing,” tegas Ibu Ratna, wakil bendahara Partai Hanura ini. Pada kesempatan seminar itu ditampilkan sosok Mgr. Soegiyapranoto, SJ yang telah mengajarkan bangsa ini untuk bagaimana terlibat secara penuh, baik sebagai anggota Gereja maupun sebagai warga negara. Keterlibatan kaum awam di sini sangat dibutuhkan tanggung jawab terutama dalam mewujudkan “bonum communae.” Yang menjadi spirit yang bisa menggerakan keterlibatan awam adalah Ajaran Sosial Gereja. Sasaran pemberdayaan awam: kerawam dari masing-masing paroki, para aktivis sosial-politik kemasyarakatan, lingkungan RT/RW, kaum muda dan ormas-ormas katolik. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Ignatius Indarto Bimantoro. Menurutnya, ada dua peran kaum awam yakni, peran awam dalam Gereja dan peran awam dalam masyarakat. Di awal pembicaraannya, ia mengingatkan bahwa seksi kerasulan awam melihat perannya dalam konteks yang lebih luas. Dalam keterlibatan, setiap kita memainkan peran terutama dalam pengembangan bakat dan talenta sebagai bentuk pelayanan sekaligus merasul. Bapak Bimantoro, dalam memaparkan gagasannya yang singkat, lebih banyak mengajak para peserta yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan untuk bertanya dan berdiskusi bersama.***(Valery Kopong)

T T S

Rinai pagi menetes perlahan membasahi raut wajah pertiwi. Titik-titik hujan jatuh perlahan, seolah mengiringi langkahku menyusuri panti Wreda Marfati. Panti yang sunyi seakan mengajak para penghuni untuk larut dalam permenungan. Di antara sekian banyak orang jompo, saya sempat temui Opa Paulus (bukan nama sebenarnya) yang lagi asyik mengisi hari-hari hidup dengan teka-teki silang. Saya coba menghampiri dan bertanya seputar minat baca. “Opa punya minat baca yang tinggi ya?” tanyaku. “Iya, saya punya kesukaan membaca dan mengisi TTS (Teka Teki Silang), “ jawab opa. “Mengapa opa, tidak suka membaca Kitab Suci?” tanyaku lebih jauh. “Saya tidak suka baca Kitab Suci,” jawabnya santai. Lebih jauh ia mengatakan bahwa pernah diajarkan membaca kitab suci tetapi baginya, hanyalah omongan hampa saja. Kita hanya diberi hiburan-hiburan sabda tetapi tidak ada realisasinya. Mendengar jawaban opa itu, saya tersipu malu. Kitab Suci rupaya kurang mendapat tempat di hatinya selama mengayuh hidup. Lebih jauh dapat saya katakan bahwa opa ini selalu berpikir matematis, mengkalkulasikan sesuatu berdasarkan fakta dan strategi-strategi nyata dalam menggapai cita-cita. Ia tidak suka berhadapan dengan sesuatu yang bernilai sejarah, apalagi kitab suci terutama Perjanjian Lama yang berisikan pengalaman iman umat Israel dan sejarah perjalanan hidup masa lampau. Opa tidak suka digiring kesadaranya untuk mengenang peristiwa masa lampau karena masa lampau baginya adalah sesuatu yang terlewatkan dan tanpa perlu dikenang lagi. Mengenang kembali berarti menyita perhatian dan energi yang lebih untuk mulai membangun sekaligus membaharui masa lampau itu dalam kekinian. Opa itu kelihatan cerdas dan kritis. Ia tidak mau menguras energi. Baginya, hidup hanya dijalani bagai air mengalir yang tanpa pernah berpikir untuk kembali. Ia sudah tua, sudah renta. Karenanya lebih baik memaknai hidup dengan menebak teka-teki silang untuk mengusir tingkat kejenuhan di tengah usia yang tua sambil menunggu panggilan terakhir dari Allah. Mengisi teka-teki adalah cara paling sederhana untuk memaknai relasi dalam hidup. Di dalam TTS, ada pertanyaan mendatar dan menurun. Barangkali pertanyaan mendatar menunjukkan relasi yang akrab antarsesama manusia. Sedangkan pertanyaan menurun menunjukkan bahwa jalan terakhir berpulang pada ibu pertiwi. Kehidupan yang baik sangat bergantung pada relasi yang terbangun selama hidup itu. Membangun relasi karenanya, menjadi momentum terakhir yang menentukan nasib hidup manusia kelak. Seperti bermain teka-teki, ada yang dijawab pasti dan ada yang tidak, demikian juga kehidupan itu sendiri. Barangkali kita pernah menanam kebaikan tetapi lupa di mana kita berbuat baik. Di panti jompo itu, ada yang masuk ke rumah jompo karena kemauan sendiri tetapi ada juga yang dipaksa ke rumah jompo karena alasan kesibukan keluarga. Banyak yang mengalami keterasingan diri, namun bisa menemukan teman-teman sebaya sebagai teman dalam bergaul di pucuk usia mereka yang hampir rampung. Di rumah jompo itu, sepertinya saya melihat ‘terminal terakhir,’ tempat orang menyiapkan diri di usia senja untuk menerima panggilan abadi nanti. Hidup itu adalah sebuah teka-teki namun kematian yang akan menjemput opa dan teman-temannya adalah sebuah kepastian, bahkan lebih pasti dari ilmu pasti.***(Valery Kopong)

MENYEBARKAN TITIK-TITIK KEBAIKAN

Bertempat di depan halaman Gereja Stasi Santo Gregorius, berlangsung temu wicara dengan mengusung tema; “Peran Umat Katolik di Kabupaten Tangerang.” Temu wicara ini menghadirkan dua nara sumber yaitu Drs. Stanislaus Lewotoby (Pembimas Katolik Provinsi Banten) dan Zaky Iskandar, anggota DPR RI dari Partai Golkar. “Sebagai orang Katolik, apa yang menjadi peran kita? Pertanyaan ini dengan sendirinya menjadi darah daging kita. Apa yang sudah ditanamkan oleh Mgr. Soegiyapranoto, SJ, itulah jati diri umat Katolik Indonesia,” demikian Romo Herman dalam kata sambutannya mengawali temu wicara itu. Apa yang dikatakan Romo Herman memperlihatkan lemahnya peran umat Katolik di dalam kehidupan sehari-hari terutama dengan kelompok masyarakat lain. Lebih jauh di dalam sambutan itu, Romo Herman masih melontarkan pertanyaan kepada para peserta temu wicara yang umumnya merupakan utusan dari lingkungan dan wilayah di Gereja Stasi Santo Gregorius. “Siapa yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam hidup bermasyarakat?” Di antara umat yang hadir, ada beberapa umat yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam lingkup rukun tetangga. Dengan sedikit keterlibatan orang-orang Katolik dalam lingkungan masyarakat, maka tidak heran kalau orang-orang Katolik kurang dikenal di masyarakat. Atas dasar keprihatinan ini maka seksi Kerasulan Awam Gereja Stasi Santo Gregorius mulai gencar mengadakan pertemuan sekaligus mendorong keterlibatan umat, tidak hanya dalam lingkup Gereja tetapi lebih dari itu diharapkan untuk terlibat dalam kelompok-kelompok di luar Gereja. Di akhir kata sambutannya, Romo Herman berpesan bahwa dalam kehidupan kita, “kita tidak bisa memisahkan diri sebagai warga negara Indonesia dan sebagai anggota Gereja.” Hal senada juga diharapkan oleh ketua penyelenggara, Bapak Soter. Menurutnya, “Kita selalu mengambil peran sebagai anggota Gereja dan warga negara.” Lebih jauh ia menegaskan bahwa dalam diktum Soegiyapranoto “menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia,” rasanya belum lengkap kalau kita belum menyebut diri sebagai 100% orang Tangerang, khususnya Kabupaten Tangerang. Memang, menjadi warga negara yang baik, rupanya dimulai dalam lingkup yang lebih kecil, tempat kita tinggal, yaitu wilayah Tangerang. Menyadari pentingnya keterlibatan umat Katolik dalam wilayah Kabupaten Tangerang dan Banten secara keseluruhan maka sie karasulan awam menghadirkan dua nara sumber yang bisa memberi masukan sekaligus “kritik” mengenai peran dan sumbangsih umat Katolik dalam masyarakat. Pada sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky Iskandar, anggota DPR RI. Dalam pemaparan awal, Zaky menggambarkan peta “wilayah Kabupaten Tangerang yang begitu luas. Dengan kondisi seperti itu maka dibutuhkan pelayanan maksimal kepada masyarakat.” Perkembangan Kabupatan Tangerang yang cepat ini juga dibarengi dengan perkembangan umat Katolik yang menyebar di wilayah-wilayah Kabupaten Tangerang. Maka dalam pelayanan pun umat Katolik juga mendapat sentuhan pelayanan dari pemerintah. “Apa yang bisa saya lakukan, saya bisa bantu dalam kaitan dengan pelayanan,” demikian Zaky di selah-selah pemaparan pandangan dalam temu wicara. Ia (Bapak Zaky) sudah menunjukkan komitmen pelayanan terhadap publik. Dalam kaitan dengan perijinan pendirian rumah-rumah ibadah terutama Gereja Stasi Santo Gregorius, Bapak Zaky yang juga merupakan putra Bapak Ismet, Bupati Kabupaten Tangerang memberikan pelayanan terhadap perijinan tersebut. Figur-figur seperti Bapak Zaky adalah figur yang bisa diandalkan sebagai pemimpin karena memiliki nilai-nilai toleran dan keberpihakkan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Waktu yang disediakan panita cukup banyak tetapi karena ada kesibukan lain maka Bapak Zaky tidak terlalu banyak berbicara. Beliau memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya. Cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta yang merupakan utusan lingkungan dan wilayah, bahkan ada yang merupakan utusan dari Paroki Santa Helena serta Paroki Santa Odilia. Pertanyaan-pertanyaan itu seputar pendidikan, pengelolaan sampah dan permasalahan sosial yang lain. Dengan bijaksana, semua pertanyaan itu dijawab oleh beliau. Masih banyak lagi yang ingin bertanya bahkan sudah mengacungkan tangan tetapi karena keterbatasan waktu maka sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky ditutup. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Stanislaus Lewotoby, Pembimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten. Di awal pembicaraan, beliau mengatakan bahwa dalam Gereja Katolik, hampir semua suku ada di dalamnya. Ini merupakan sebuah potensi sekaligus kekuatan yang bisa dikembangkan dalam membangun Gereja itu sendiri. “Tetapi sejauh mana orang-orang Katolik tampil di hadapan umum dan menghadirkan ciri kekatolikan?” Inilah pertanyaan sederhana dari Pembimas Katolik tetapi sekaligus menggugah kita untuk berefleksi di dalam menjalankan peran kita masing-masing. Lebih jauh dalam pembicaraannya, Pembimas Katolik mengedepankan beberapa tokoh nasional Katolik yang cukup disegani dan bisa dijadikan sebagai model dalam berkiprah, seperti: Mgr. Soegiya, Romo Mangun, Kasimo, Van Lith dan Frans Seda. Tokoh-tokoh nasional ini menunjukkan perannya sebagai warga negara dan warga Katolik yang baik. Mereka mengabdi dan memberikan pelayanan kepada publik dengan mengedepankan ciri-ciri kekatolikan. “Adakah dari kita akan seperti mereka?” Di tengah hirup-pikuk kehidupan negara ini, figur-figur ini menjadi sumber inspirasi dalam memperjuangkan kepentingan umum dan sekaligus membangkitkan moralitas bangsa yang kian terpuruk. Sebagai orang Katolik, tentunya diharapan untuk selalu berbuat baik. “Setiap saat, umat Katolik membuat satu titik kebaikan. Titik-titik kebaikan itu akan meluas,” demikian pesan Pembimas Katolik dipenghujung temu wicara itu. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh setiap orang Katolik menjadi sebuah tanda untuk mewartakan kerajaan Allah, kerajaan yang berpihak pada kebenaran. Dapatkah kita berlaku baik dan menyebarkan kebaikan itu kepada orang-orang lain?***(Valery Kopong)