Monday, February 15, 2021

Berpihak Pada Kebenaran

 

Beberapa waktu yang lalu, sebuah kejadian menimpah seorang wartawan di salah satu wilayah di Flores Timur. Wartawan dari media online itu ditonjok oleh salah seorang pekerja proyek bangunan puskesmas yang sedang dikerjakan. Mengapa wartawan itu ditonjok? Karena wartawan itu menulis tentang kondisi bangunan puskesmas yang belum rampung dan menelan biaya yang cukup besar. Memang sangat memprihatinkan bahwa ketika bekerja meliput berita dan berpihak pada fakta sesungguhnya, ada resiko yang harus ditanggung oleh seorang wartawan. Menjadi wartawan peliput berita berarti ia harus turun ke lapangan dan melihat kondisi yang terjadi, setelah itu ia menulis sesuai fakta yang ada.

Banyak wartawan zaman sekarang tidak mau mengambil resiko. Kebanyakan wartawan lebih senang meliput berita-berita yang memiliki nilai jual yang positif ketimbang harus berkutat dengan berita yang sensitif dan beresiko terhadap wartawan jika memberitakan peristiwa sensitif itu. Peran wartawan saat ini sangat dilematis, di antara tuntutan profesionalitas dan juga tuntutan hidup yang berkaitan dengan tuntutan ekonomi. Wartawan yang memiliki integritas tinggi, tentunya berkomitmen untuk menyampaikan sebuah peristiwa sesuai fakta dan tanpa mempertimbangkan sebuah resiko yang akan merenggutnya. Seperti yang dilakukan oleh Agus, seorang wartawan media online yang harus berurusan dengan para pekerja karena  menuliskan sebuah fakta di lapangan.

Keberadaan wartawan menjadi fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Apa yang sudah dilakukan oleh Agus yang menuliskan berita tentang proses pengerjaan puskesmas itu, memberikan informasi kepada publik  dan sekaligus mengingatkan pemerintah dan DPRD setempat untuk mengontrol jalannya sebuah program yang menelan begitu banyak biaya. Harus diakui bahwa banyak proyek pemerintah di seluruh Indonesia, tidak berjalan secara mulus dan bahkan ada yang mangkrak begitu saja. Dengan melihat kondisi seperti itu, wartawan tentunya gelisah dan ingin memberikan fungsi kontrol melalui pemberitaan terhadap peristiwa itu.    

Fakta dan peristiwa sepertinya harus menyatu dengan jiwa seorang wartawan. Seseorang tidak bisa menegaskan dirinya sebagai wartawan ketika belum menyatu hidupnya dengan fakta dan peristiwa di sekitarnya. Ketika ia (wartawan) itu menegaskan diri sebagai pencinta kebenaran maka pada saat yang sama ia harus jujur saat melakukan peliputan berita. Kejujuran seorang wartawan dalam meliput berita juga menjadi ancaman bagi mereka yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Apabila berita yang ditulis itu adalah berita yang menyenangkan dan memberi inspirasi bagi orang lain dan wartawan itu disanjung.  Tetapi menjadi persoalan adalah ketika berita yang diberitakan itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sangat sensitif dan bisa meruntuhkan kredibilitas orang lain, terutama para pejabat dan pemangku kepentingan maka ancaman terhadap wartawan menjadi langganan.

Berita yang mau diberitakan itu sensitif seperti persoalan korupsi, proyek yang mangkrak dan peristiwa sensitif lain, seorang wartawan harus berusaha untuk mendapatkan berita akurat. Ia (wartawan) harus turun ke lapangan untuk menemui dan mewawancarai nara sumber primer agar data yang terhimpun menjadi akurat. Memang ini tidak mudah karena kebanyakan wartawan saat ini, lebih mengandalkan “telinga orang lain” untuk mendapatkan berita, atau juga mengolah berita dari media lain untuk kemudian menyajikan berita yang sama, hanya berbeda kemasan bahasanya. Mental wartawan yang mengandalkan “telinga orang lain” menjadi sangat rapuh dan tulisan yang dimuat pada media juga dianggap tidak kredibel. Memang berat menjadi wartawan karena ia membawa berita kebenaran. Bagi seorang wartawan, berpihak pada kebenaran dalam menuliskan sebuah fakta, bisa menyandung orang dan juga mengancam para pemangku kepentingan. Wartawan disanjung, wartawan didera karena berpihak pada kebenaran.***(Valery Kopong)     

No comments: