Oleh: Valery Kopong*
Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu. Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian lenyap?
Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
Apabila Gereja mau membuka mata untuk melihat kondisi riil maka seharusnya tidak hanya membuat gerakan “Ayo Sekolah” yang tidak lebih sebagai gerakan mengumpulkan uang, mirip mengumpulkan uang untuk korban bencana tetapi lebih dari itu berupaya dalam membangun sekolah murah yang dikhususkan bagi siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomis. Mengapa Gereja tidak mendirikan sekolah yang benar-benar untuk orang miskin? Gereja harus punya mimpi untuk mewujudkan persoalan ini karena kalau tidak maka gerakan Ayo sekolah hanyalah sebuah ajakan sia-sia karena gerakannya sesaat. Penulis tidak mengecilkan niat baik pihak keuskupan Agung Jakarta yang menggagas gerakan ini tetapi kita melihat bahwa perhatian terhadap persoalan pendidikan haruslah berkelanjutan agar generasi baru yang disiapkan lewat dunia pendidikan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang layak.
Gereja Katolik dikenal sebagai perintis pendidikan di negeri ini. Hanya belum terdengar Gereja membuka sekolah murah (bukan gratis) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah. Kalau menilik beberapa sekolah Kristen Protestan, keberpihakkan mereka dalam dunia pendidikan cukup merata. Ada sekolah yang dibuka untuk kelas atas, menengah dan bawah. Dengan membuka sekolah pada tingkatan yang berbeda membuka peluang adanya subsidi silang dari mereka yang mampu kepada yang tidak mampu. Beranikah Gereja Katolik membuka terobosan baru dalam membangun sekolah murah sebagai bagian penting dalam mewujudkan opsi terhadap mereka yang miskin dan tersisi sebagai akibat kekurangan ekonomi.
Mari Berbagai, adalah tema sentral masa prapaskah Keuskupan Agung Jakarta yang dua tahun terakhir digulirkan. Pengguliran tema ini tentu dilatari oleh alasan teologis yang mendalam. Tetapi makna teologis itu menjadi hidup ketika diperhadapkan dengan kenyataan sosial. Teologi terus bergumul agar menemukan makna ekaristis sesungguhnya yakni barbagi untuk mereka yang hadir namun dilupakan oleh sejarah dan dunia. Berpihak pada mereka yang tidak mampu secara ekonomis melalui dunia pendidikan, suatu ketika mereka menyadari diri sebagai orang yang tertolong dan dengannya mereka rela menolong generasi di bawahnya. ***
0 komentar:
Post a Comment