Thursday, January 31, 2013

PETA PERTUMBUHAN UMAT KATOLIK


(Sebuah Analisis Data)

Pendahuluan
SEPANJANG menjadi penyuluh Agama Katolik dan diminta untuk mencari data-data umat, baik di tingkat kecamatan (KUA)  maupun di paroki-paroki se-Kota dan Kabupaten Tangerang, memang cukup melelahkan. Tetapi dibalik itu,  ada kegembiraan karena dengan turun ke lapangan, saya bisa bertemu dengan orang-orang dengan karakter  yang sangat unik. Ada yang ramah, ada pula yang mencurigai kehadiran saya di paroki khususnya.
                Mengapa mereka curiga? Kan sama-sama Katolik? Ini pertanyaan singkat dan mendasar tetapi sulit untuk ditemukan jawaban yang pasti. Memang, saya akui bahwa di mata orang-orang Katolik, mereka tidak pernah mengenal Penyuluh Agama Katolik. Mereka hanya mengenal Katekis yang bertugas membimbing kelompok-kelompok tertentu seperti  bina iman anak, bina iman remaja, katekumen, dan kelompok-kelompok lainnya yang dibentuk oleh Gereja sendiri. Telinga orang-orang Katolik lebih akrab dan bersahabat dengan Katekis ketimbang Penyuluh Agama Katolik. Maklum, di Kabupaten Tangerang, baru saya sendiri yang menjadi Penyuluh Agama Katolik, karena itu keheranan mereka yang baru mendengar penyuluh, sangatlah beralasan.
                  Istilah Penyuluh dan Katekis yang dikenal dalam Gereja Katolik memiliki kesamaan tugas. Nama ini hanya membedakan bahwa Penyuluh Agama Katolik berlatar belakang PNS dan Katekis bekerja di bawah naungan Gereja. Memang, walaupun memiliki nama yang berbeda, tetapi toh, tugas perutusannya sama, yakni membimbing orang, menyuluh orang agar  berada pada jalan yang benar.
Proses Pencarian Data
                Gereja Katolik dikenal sebagai Gereja yang memiliki tertib administrasi, mulai dari keuangan dan data-data tentang umat. Kalau berpijak pada pandangan ini maka tentu setiap orang berpikiran bahwa orang yang mencari data pasti dengan sendirinya meminta data tersebut di sekretariat. Untuk Gereja Katolik, sulit-sulit gampang untuk diminta data-data tersebut. Pengalaman saya sendiri ketika berhadapan dengan pastor paroki, kehadiran saya dicurigai dan mempertanyakan apa tujuan pengambilan data. Saya menjelaskan bahwa saya dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang. Tugas saya sebagai Penyuluh Agama Katolik dan saya diminta untuk mencari data-data umat. pastor paroki semakin tidak percaya, apalagi saya sebagai PNS. “Silakan cari data sendiri menurut versi pemerintah, “ demikian kata salah seorang pastor paroki yang saya tidak perlu sebut namanya.
                Dengan mengatakan demikian berarti bahwa saya tidak diperbolehkan untuk mengambil data, padahal saya hanya tahu data-data keseluruhan saja. Tapi apakah ini menciutkan nyali saya dalam mencari data? Tidak!! Tidak!! Banyak cara yang saya tempuh untuk memperoleh data yang dikehendaki oleh Pembimas Katolik maupun Kasi Penamas. Saya mulai mencari tahu teman-teman saya dari beberapa paroki yang tersebar di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan. Saya meminta bantuan mereka untuk menghimpun seluruh data agar saya dapat memperolehnya. Mulai dari sejarah berdirinya paroki, jumlah lingkungan, jumlah pastor dan biarawan/wati yang bekerja di paroki yang bersangkutan, saya peroleh. Data-data yang saya peroleh ini tidak merupakan suatu kebenaran mutlak tetapi mendekati kebenaran terutama perhitungan secara matematis. Di bawah ini dapat dilihat grafik perkembangan umat di paroki-paroki, baik Kota maupun Kabupaten Tangerang. Angka ini menunjukkan jumlah umat dibeberapa paroki yang ada di Kota dan Kabupaten Tangerang. Dari jumlah dibawah ini menunjukkan, kapan paroki tersebut berdiri.

 
                Jumlah umat yang paling banyak adalah umat yang berada di Paroki Santa Maria Tangerang yang letaknya di Kota Tangerang. Bisa dimaklumi perkembangan ini karena keberadaan paroki ini jauh lebih awal ketimbang paroki-paroki lain. Dalam sejarah dicatat  bahwa perkembangan paroki ini berawal dari masuknya Belanda dan juga Jepang. Pada awalnya, Gereja Paroki Santa Maria hanya merupakan sebuah gedung sederhana, tetapi lama kelamaan ada perkembangan yang luar biasa.
                Dengan berkembangnya paroki Santa Maria dari jumlah umat maka dengan sendirinya dapat berpengaruh pada wilayah-wilayah pinggiran yang dihuni oleh orang-orang Katolik. Dalam sejarah perkembangan ini, keberadaan paroki tua ini kemudian melahirkan banyak paroki lain yang berada di sekitarnya, terutama Santo Agustinus di Perum-Karawaci, Santa Bernadet-Ciledug. Kemudian paroki-paroki baru ini juga membesarkan stasi (bagian dari paroki) untuk kemudian membentuk komunitas sendiri dan pada akhirnya menyatakan kesanggupannya sebagai sebuah paroki.
                Paroki Agustinus telah melahirkan Paroki Santa Monika di BSD Serpong. Keberadaan paroki di jantung area bisnis dan kawasan elite ini pada akhirnya menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Dari segi jumlah umat, perkembangan umat semakin pesat. Paroki Santa Monika tidak tinggal diam tetapi juga berupaya untuk melahirkan paroki baru yang kini sedang dipersiapkan yakni, Stasi Santa Laurensia. Gereja stasi yang berdiri megah di kawasan elite itu, kini sedang dipersiapkan untuk menjadi sebuah paroki baru, yakni Paroki  Santa Laurensia. Paroki Agustinus, Santa Monika dan Laurensia, dipercayakan oleh pastor-pastor dari Ordo Salib Suci (OSC) untuk menanganinya. Mereka juga sedang mempersiapkan sebuah stasi baru yang berada di Melati-Serpong.
                Walaupun perkembangan umat Katolik semakin pesat tetapi banyak persoalan yang juga terus dihadapi bersama terutama persoalan mengenai perijinan rumah ibadah. Untuk wilayah kota, ada dua paroki yang masih belum memiliki Ijin Membangun dari pemerintah, yakni Paroki Santo Agustinus-Perum-Karawaci dan Paroki Santa Bernadet-Ciledug. Mereka tetap menggunakan ruang sederhana untuk mengadakan ibadah dan misa bersama, sambil menunggu waktu yang tepat untuk memperoleh injin.
                Sedangkan paroki-paroki dalam wilayah Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan, semuanya sudah memiliki ijin resmi dari pemerintah. Data terakhir yang dihimpun, beberapa bulan lalu, Stasi Santo Gregorius sudah mendapatkan Ijin Membangun dari pemerintah kabupaten. Dengan mengantongi ijin ini maka stasi Gregorius saat ini sedang mempersiapkan diri untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri karena memiliki jumlah umat 7.000  lebih.
Perkembangan paroki di wilayah, kabupaten Tangerang, Kota Tangarang dan Kota Tangerang Selatan
                Sekedar membandingkan laju pertumbuhan umat dan perkembangan gereja-gereja paroki. Dari tiga wilayah yang menjadi peta kekuatan umat katolik di Tangerang yang masuk dalam keuskupan Agung Jakarta, perkembangan umat dan pendirian gereja, sedikit mengalami perbedaan yang menyolok. Kita lihat perbandingan dari tiga wilayah ini:
1.    Kabupaten Tangerang
                Perkembangan Kabupaten Tangerang, secara fisik masih jauh dari harapan bila dibandingkan dengan kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Walau demikian, banyak umat yang hidup membaur dengan umat dari agama lain, dan hal ini akan berpengaruh pada pola pergaulan dan juga upaya untuk mendirikan rumah ibadah secara resmi. Apabila umatnya, dalam pola pergaulan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar tanpa ada masalah yang berarti maka hal ini menjadi modal dasar membangun gereja, khususnya dalam proses perijinan. Demikian sebaliknya, apabila tidak terjadi dialog yang hidup maka biasanya terjadi ganjalan ketika proses perijinan dilaksanakan.
                Banyak umat katolik hidup di wilayah kabupaten Tangerang dan bernaung di beberapa Gereja Paroki seperti: Santa Helena, Santa Odilia, dan Stasi Santo Gregorius. Perjuangan awal dalam merintis berdirinya paroki ini bisa dibilang cukup alot. Namun dalam proses perijinan tidak menemukan kendala yang berarti. Hal ini bisa terlihat dari prosedur yang diikuti dan juga respon balik pemerintah setempat juga baik.  Memang diakui bahwa pejabat di kabupaten Tangerang terutama Bupati Ismet cukup baik menjalin relasi dengan umat katolik dan dengannya pengeluaran ijin tersebut bisa dilihat sebagai upah dari kebaikan relasi yang terjalin selama ini.

2.    Kota Tangerang

                Apa yang terjadi dengan gereja-gereja katolik di wilayah kota Tangerang? Inilah pertanyaan awal yang muncul sebagai reaksi dari kondisi riil yang terjadi di lapangan. Pada pemerintahan WH, sulit sekali mendapat ijin dari pemerintah.  Dari beberapa paroki yang tersebar di wilayah kota Tangerang, hanya ada satu yang memiliki ijin resmi yaitu Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang. Lalu bagaimana dengan yang lain? Paroki Santa Bernadeth-Ciledug dan Paroki Agustinus Perum, selama sekian tahun masih menunggu keluarnya IMB. Tapi rupanya mengalami kendala. Masyarakat sekitar sepertinya sudah terstigma dan anti terhadap gereja katolik.
                Mengapa mereka anti terhadap gereja katolik? 
3.    Kota Tangerang Selatan
       Perkembangan Gereja di Kota Tangerang Selatan terbilang begitu pesat. Hal ini dipengaruhi oleh pembukaan area pemukiman baru terutama pengembangan perumahan-perumahan baru. Dengan pengembangan perumahan baru seperti ini memberi peluang bagi tumbuh-kembangnya umat katolik yang masuk ke wilayah-wilayah baru karena pengembangan perumahan.
      Hal penting yang patut dicatat adalah umat di Tangerang Selatan umumnya berpendidikan tinggi dan hal ini juga berpengaruh pada soal cara pandang terhadap agama lain serta pendirian gereja-gereja baru. Kalau dibandingkan dengan kabupaten Tangerang dan kota Tangerang, kebanyakan gereja paroki tumbuh dan berkembang secara pesat di Tangerang Selatan. (Valery Kopong)

PAROKI SANTO AGUSTINUS – KARAWACI


Santo Agustinus adalah nama paroki. Nama pelindung paroki yang berada di kawasan Perumnas Karawaci ini bukanlah sebuah kesengajaan kalau kemudian menempatkan St. Agustinus ini sebagai pelindung Paroki. Meskipun pemakaian nama pelindung ini juga disamakan dengan tanggal peresmian Paroki St. Agustinus pada tanggal 28 Agustus 1988 dan menjadi hari Ulang Tahun Paroki setiap tanggal 28 Agustus tersebut, namun pemilihan Santo Agustinus diharapkan selalu menjadi inspirasi bagi umat, bahwa melalui pertobatannya yang sangat besar, St. Agustinus mampu memberi sumbangan yang bernilai bagi gereja.
            Sebagai kumpulan umat beriman yang berdosa, yang jauh dari kesempurnaan, umat diharapkan mampu menimba pertobatan St. Agustinus dan memulai sikap hidup yang terinspirasikan oleh injil dengan sebuah pertanyaan refleksi, “Injilkah yang menjiwai hidup mereka?” Hal ini juga selalu dan selalu diingatkan kepada umat dalam setiap perayaan Ulang Tahun Paroki, bahwa inti dari penghayatan umat beriman adalah melalui pertobatan. Melalui pertobatan inilah kita telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menyelami kehendak Tuhan bagi kita. Melalui pertobatan juga sebagai sebuah pembelajaran akan kerendahan hati.

Letak Paroki St. Agustinus Karawaci

Mencapai Paroki St.Agustinus Karawaci Tangerang yang satu kompleks dengan Perhimpunan Sekolah STRADA, tidaklah sulit. Lingkungan perumahan “PERUMNAS” dengan jalan-jalan yang cukup lebar dan dilalui oleh kendaraan umum, membuat Paroki St.Agustinus Karawaci mudah dijangkau baik dengan kendaraan umum maupun pribadi. Rute-rute kendaraan umum (Angkot) di wilayah Kotamadya Tangerang, seperti rute: R 11, R 14, R 17, R 02, R 08 Lippo, mulai dari arah: Cimone, Cikokol, Pasar Kemis, Cikupa, Tangerang Kota, Perumahan Lippo Karawaci melewati dan atau bersinggungan di terminal Cibodas yang dekat dengan keberadaan Paroki St.Agustinus, Jl. Prambanan Raya.
            Keberadaan umat menyebar sampai dengan radius 20 km dari pusat Gereja, dengan wilayah terjauh adalah wilayah Pasar Kemis dan Cikupa Tangerang. Karakteristik umat Paroki St.Agustinus, secara sosial ekonomi lebih pada range social menengah ke bawah, dengan mayoritas umat yang bekerja sebagai karyawan pabrik, pegawai negeri, guru, maupun karyawan lepas lainnya. Secara kultural, umat pada dasarnya merupakan masyarakat urban dengan mayoritas pendatang dari suku Jawa yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik di wilayah Tangerang. Di samping itu juga ada pendatang dari Sumatera Utara, Flores, maupun daerah-daerah lain di Indonesia dan warga keturunan. Umat tersebut tersebar pada perumahan-perumahan: PERUMNAS I, II,III,IV, Perumahan Harapan Kita,  Perumahan Liga Mas Regency, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Aster, Perumahan Palem Semi, sebagian perumahan LIPPO Karawaci, Perumahan Taman Cibodas, Perumahan Keroncong Permai, Perumahan Taman Walet sampai dengan perumahan-perumahan kontrakan di sekitar Pasar Kemis, Cikupa. Menurut data statistik, jumlah umat ada 11.000 orang dan jumlah umat ini tersebar di 16 wilayah dan 84 lingkungan.

Sekilas Latar Belakang Paroki St. Agustinus – Karawaci

            Dalam sejarah cikal bakal berdirinya paroki ini, bermula dari umat di lingkungan Emanuel di Perumnas I – Karawaci Tangerang, yang pada tahun 1980, masih tergabung dalam Paroki Santa Maria yang Berhati Tak Bernoda di Jl. Daan Mogot Tangerang. Jarak lingkungan Emanuel dengan pusat paroki cukup jauh dan kendaraan umum masih minim, maka lingkungan ini kemudian dijadikan sebagai stasi dari Paroki Santa Maria- Tangerang. Pada waktu itu misa di lingkungan ini dilakukan hanya sebulan sekali, dengan menggunakan ruang rapat milik kantor pemasaran Perumnas di Jl. Cendrawasih Perumnas I Tangerang.
            Karena umat semakin bertambah banyak, maka dirasakan perlu untuk memiliki tempat yang lebih baik untuk beribadat. Untuk mempermudah pembangunan tempat ibadah yang sederhana maka dibentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) dengan struktur kepengurusan:

Pelindung :  Romo FX. Tan Soe Ie, SJ (Pastor Kepala Paroki St.Maria)
Penasihat  :  J. Sarimin (Ketua Lingkungan Emanuel saat itu)
Ketua        : D. Sardjono
Sekretaris  :  M. Hutabarat
Bendahara :  R. Slamet Susyanto
      Atas usaha tim PPG tersebut, diperoleh tanah seluas 1000 m2 yang terletak di Jl. Cisabi, dengan Surat Keputusan dari Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang berupa surat ijin lokasi dan penggunaan tanah untuk pembangunan gereja di Kawasan Perum Perumnas Tangerang dengan No: 370/PM.014.6/SIP/II/1981 tertanggal 25 Februari 1981. Dalam proses pendirian gedung tersebut maka diadakan kerja sama dengan perkumpulan STRADA dan dalam pembangunan diikutsertakan seluruh kekuatan umat di lingkungan Emanuel, pada tahun ajaran 1981 / 1982 dapat didirikan gedung serba guna tahap I sebagai tempat ibadah dan sekolah TK.
            Dalam kunjungan kegembalaannya, Bapak Uskup Agung Jakarta ke Paroki Tangerang pada bulan September 1981, beliau juga berkenan hadir di wilayah Emanuel. Beliau sangat terkesan dengan melimpah ruahnya umat yang hadir. Pertemuan diadakan dengan duduk secara lesehan di tikar. Pada kesempatan kunjungan yang pertama ini, beliau menyarankan agar segera mencari tanah yang luasnya memadai, supaya dapat menampung umat dengan segala kegiatannya. Atas saran tersebut Tim PPG mencari tanah yang sesuai. Akhirnya pada tanggal 2 Juni 1982 dapat dibeli tanah melalui Perkumpulan STRADA, sebidang tanah seluas 8.910 m2 yang terletak di Cibodas, Kecamatan Jatiuwung.
            Ternyata perkembangan umat semakin pesat, oleh Perkumpulan STRADA kemudian didirikan Gedung Serbaguna Tahap II, sekaligus sebagai gedung gereja, mengingat fasilitas tanah dan peruntukkannya adalah untuk gereja. Dengan gedung baru ini maka frekuensi misa dapat ditingkatkan menjadi 2 kali dalam satu bulan. Perkembangan pendidikanpun terus melaju pesat. Tahun 1984, Perkumpulan STRADA membeli tanah di Bencongan, tetapi karena lokasinya jauh dari jalan besar, timbul masalah dalam membangunnya. Karenanya dibangun lagi gedung darurat tahap III dengan memanfaatkan jalur hijau halaman sekolah.     
            Pada awal tahun 1985, terbetik berita bahwa tanah-tanah yang dibeli melalui perkumpulan STRADA yang berada di wilayah Emanuel akan terkena Proyek Perumnas II Tangerang. Sebagai gantinya diperoleh tanah yang berlokasi di Jl. Prambanan Perumnas II seluas 9.410 m2 dan sisanya seluas 2.290 m2 terletak di Jl. Danau Tondano. Pada bulan Mei 1988, diperoleh kabar dari keuskupan Agung Jakarta bahwa umat  di wilayah Emanuel dan sekitarnya akan dipisahkan dari Paroki Tangerang, mengingat di wilayah ini sudah ada umat, tanah dan Romo dari Ordo Salib Suci (OSC) yang telah bersedia untuk berkarya di sini.
            Sebagai persiapan pembukaan paroki baru, Keuskupan Agung Jakarta telah mempersiapkan sebuah rumah tipe M 70 di Jl. Prambanan 1 A yang dipergunakan sebagai pastoran sementara, sedangkan 2 rumah tipe M 54 di Jl. Empu Panuluh akan dipergunakan sebagai susteran. Sedangkan untuk ibadatnya sendiri, untuk sementara dibangun menempel dengan gedung darurat milik SD STRADA yang telah dibangun lebih dahulu. Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ berkenan meresmikan Paroki St.Agustinus.

Pendirian Paroki St.Agustinus – Karawaci

Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ meresmikan berdirinya Paroki Karawaci dengan nama pelindung Paroki St.Agustinus. Diresmikannya paroki ini secara formal tertuang dalam Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta nomor 1344 / 3.25.4.39/ 88, tanggal 28 Agustus 1988 tentang pendirian Paroki Agustinus / PGDP Paroki St.Agustinus Karawaci, maka tugas tim PPG wilayah Emanuel dianggap selesai. Namun untuk mewujudkan gedung gereja yang sesungguhnya, oleh Dewan Paroki St.Agustinus dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja  (PPG) Paroki St.Agustinus yang diketuai oleh Bapak FA Sri Hartono. Perjuangan PPG memperoleh ijin mendirikan bangunan tidak semulus yang kita harapkan, banyak kendala yang dihadapi. Bahkan sampai sekarang, ijin untuk mendirikan Gereja tersebut juga belum diperoleh, sehingga seiring dengan lajunya perkembangan umat di Paroki St.Agustinus, segera dipersiapkan tempat beribadah yang baru, dalam bentuk gedung serbaguna.
            Seiring dengan pergantian Dewan Paroki yang baru, Romo Christ Tukiyat, OSC, pastor kepala paroki saat itu, pada tanggal 14 Desember 1991 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Gedung Aula Dewan Paroki, dan telah selesai pengerjaannya 10 bulan kemudian. Pada tanggal 30 Agustus 1992, Aula serbaguna (Gedung Gereja) diresmikan penggunaannya oleh Romo A. Istiarto, OSC sebagai wakil provinsial OSC. Sampai dengan saat ini tugas untuk mewujudkan Ijin Mendirikan Gereja masih belum tercapai, semoga dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, gereja yang telah didambakan umat sejak 1988 (atau hampir 18 tahun lebih) dapat segera terealisir. Kendala utama belum terbitnya ijin mendirikan Gereja adalah karena belum adanya persetujuan dari warga sekitar, meskipun dalam batas tertentu keterlibatan paroki maupun umat katolik di sekitar Gereja telah cukup memberikan perhatian dan kerja sama dengan warga sekitar.   
Namun hal ini menjadi tantangan tersendiri, sehingga kelak hidup berdampingan dengan saling menghormati, saling bekerjasama bisa menjadi landasan di dalam persahabatan yang sejati. Meski dalam artis fisik, Paroki St. Agustinus belum memiliki gedung gereja namun sebagai kumpulan umat beriman, paroki St.Agustinus tetap diharapkan sebagai sumber pegangan iman bagi umat di wilayahnya. Bahkan dari paroki ini juga telah lahir paroki baru dengan stasinya yang sebelumnya menjadi stasi (St. Ascensio – Serpong) Paroki St.Agustinus Karawaci, yaitu: Paroki St. Monica – Bumi Serpong Damai, Stasi St. Helena – Perumahan Lippo Karawaci, serta Stasi St. Odilia – Perumahan Citra Raya.

Gereja Karawaci Sebagai Gereja Pengembangan

            Kalau menilik sejarah cikal bakal Gereja St. Agustinus Karawaci, maka berdirinya Gereja Karawaci adalah lebih disebabkan pada perkembangan umat karena proses industrialisasi yang terjadi di Tangerang yang dimulai tahun 1980-an, serta tumbuhnya perumahan-perumahan baru di wilayah Tangerang. Hal ini juga diperkuat dengan dibangunnya jalan tol Jakarta – Merak pada tahun 1985-an, yang secara tidak langsung sangat berpengaruh pada percepatan pertumbuhan wilayah Tangerang Barat dan sekitarnya. Gereja St. Agustinus yang semula hanya sebagai sebuah stasi dari Paroki St. Maria Tangerang, khususnya untuk wilayah Perumnas I dan Perumahan Cimone Permai, akhirnya melayani hampir seluruh wilayah Tangerang bagian barat, mulai dari wilayah Serpong sampai dengan Balaraja, mulai dari Cimone sampai dengan Pasar Kemis. Wilayah ini sebelumnya mempunyai radius pelayanan hampir 30 km dari pusat Gereja Karawaci. Sampai pada akhirnya dari paroki ini bersemi paroki baru beserta stasinya yang mengambil alih sebagian wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci, seperti: Paroki Sta. Monica yang mempunyai wilayah pelayanan di daerah Serpong dan sekitarnya, Stasi Sta. Helena dengan wilayah pelayanan perumahan Lippo Karawaci, Binong sampai dengan Legok, serta stasi Sta.Odilia Citra Raya dengan wilayah perumahan Citra Raya, Balaraja sampai dengan wilayah Tangerang Barat lainnya. Wilayah pelayanan paroki St. Agustinus Karawaci, sebelumnya adalah pecahan dari Paroki St.Maria yang Berhati Tak Bernoda. Setelah pemecahan kembali menjadi 3 wilayah pengembangan paroki baru, maka wilayah pelayanan Paroki St.Agustinus sekarang meliputi:
Sebelah Timur Gereja: Mulai dari Perumnas I, Perumahan Cimone, Jl.Teuku Umar (d.h. Karawaci) s.d. Perumahan Palem Semi dan sebagian perumahan Lippo Karawaci. (Saat ini wilayah BSD sudah menjadi Paroki Sta. Monica BSD).Sebelah Barat Gereja: Mulai dari Perumnas II, III, IV sampai dengan Perumahan Taman Cibodas, Keroncong Permai, Pasar Kemis dan Cikupa. Sebelah Selatan Gereja: Mulai Perumnas II, Perumahan Harapan Kita sampai dengan Jalan Tol Jakarta Merak. (Perumahan Lippo Karawaci s.d. Legok telah menjadi Stasi Sta. Helena Lippo Karawaci). Sebelah Utara Gereja: Mulai dari Perumahan Aster, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Ligamas Regency, daerah Jl. Sinta sampai dengan Jl.Gatot Subroto (d.h.Jl. Raya Serang). Luas cakupan wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci hampir mencapai jarak kurang lebih 20 km2. Luas cakupan wilayah tersebut hanya dilayani oleh 3 gembala dari Ordo Salib Suci (OSC) sejak awal paroki ini didirikan sampai dengan saat ini. Belum ada pergantian penanggungjawab reksa pastoral paroki ordo maupun konggregasi lain di paroki ini. Secara bergantian dalam suatu periode tertentu, penugasan imam-imam secara bergantian tetapi dari ordo yang sama yaitu Ordo Salib Suci (OSC).


Wednesday, January 30, 2013

JABATAN RAHMAT



Judul Buku         : Ketua Lingkungan Di Era Sibuk
Penulis                : Marcus Leonhard Supama
Penerbit              : Kanisius, Yogyakarta 2012
Tebal Buku         : 176 halaman

Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi dibalik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.  
                Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakin berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”
                Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  
                Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.(Valery Kopong)

PERARAKAN MASUK DAN NYANYIAN PEMBUKA



                Perarakan masuk para pelayan dan petugas sebagai tanda diawalinya perayaan Ekaristi ini disambut oleh umat beriman dengan berdiri sambil diiringi dengan nyanyian pembuka.
                Pada hari Minggu dan hari raya, perarakan masuk ini diiringi dengan nyanyian pembuka, yang memiliki beberapa fungsi:
  1. Mengiringi perarakan para petugas liturgy (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung.
  2. Membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
  3. Mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.
Berkaitan dengan fungsi kedua: membina persekutuan umat, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1.       Tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. “Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dna membangun sikap batin yang sama pula.”
2.       Terlibat: seluruh umat menyanyikan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor.
3.       Berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan.