Friday, August 26, 2016
Monday, August 15, 2016
Monday, August 8, 2016
MENITI JALAN PULANG (Elegi bersama motorku, REVO)
Jumat siang itu, tepatnya tanggal 5 Agustus 2016. Aku melepaspergikan
motor kesayanganku. Sudah sembilan tahun, aku menungganginya dan tak pernah mengeluh ketika menggunakannya ke
tempat kerja dan tempat-tempat
lain. Ibarat melepaskan seorang anggota
keluarga untuk bepergian jauh dan pasti ada rasa yang kurang yang muncul dalam
diri orang-orang yang melepaskannya. Demikian
juga dengan motor kesayanganku, sudah sembilan tahun hidup dan ada bersamaku, terpaksa aku melepaskannya
untuk dikirim ke kampung halamanku, Gelong-Adonara Timur-Flores Timur.
Aku coba untuk mengambil kamera dan memotretnya, supaya aku memiliki sebuah dokumentasi tentangnya, tentang REVO yang berplat B 6506 NSA. Walau aku harus merelakannya ke kampung halamanku, tetapi kenangan yang terdokumentasi seakan membuka memori kehidupanku pada sembilan tahun silam ketika aku dengan susah payah memilikinya. REVO, motorku seakan tahu tentang perjalanan hidupku yang merangkak dari bawah dan perlahan menanjak. Ia mengerti suka duka hidupku dalam menerjang gemuruh knalpot dan riuh-redahnya mesin-mesin di kota metropolitan.
REVO, kini dalam perjalanan bersama
kantor Pos menuju Surabaya dan masih harus melanjutkan perjalanan dari Surabaya
menuju Adonara dengan menumpang kapal barang. Sebuah perjalanan melelahkan
tetapi harus dijalani demi mencapai lewo tanahku tercinta, Gelong-Adonara. Sembilan tahun, REVO menemaniku menelusuri
lorong-lorong kota yang riuh tetapi perjalananmu pulang ke kampung merupakan
sebuah perjalanan pulang, perjalanan sunyi. Kiranya REVO menemukan tempat baru
dan mendapat energi baru di tempat yang sunyi, lewo tanahku tercinta Gelong
yang jauh dari sentuhan sinyal.***(Valery Kopong).
Monday, August 1, 2016
MERINTIS ‘JALAN MISKIN’
Oleh: Valery
Kopong*
Malam semakin
larut dan keheningan perlahan turun mencium bumi Pasar Kemis-Tangerang-Banten.
Tepat pukul 21.30 malam, kami tiba di rumah sang pengacara itu, setelah lama
menunggunya karena baru tiba dari luar kota. Memang, kesibukan telah melingkupi
kehidupan pria berdarah Batak itu. Di selah-selah kesibukan dan boleh dikatakan
bahwa hampir tidak ada waktu senggang baginya, tetapi ia masih menyempatkan
diri menerima kami untuk
mewawancarainya.
“Selamat malam,” sapa Pak
Johnson Panjaitan S.H, kepada kami yang bertandang ke rumahnya. wawancara
kami dengannya, sepertinya berlangsung secara alamiah dan non formal. Kami
diterima dalam suasana kekeluargaan dan langsung diajak untuk mengambil bagian
pada santap malam. Sambil menikmati
hidangan yang telah disediakan keluarga Pak Johnson, obrolan pun terus
mengalir. Pertama-tama ia menyatakan keprihatinan terhadap situasi negara yang
sedang carut-marut. “Tidak lama lagi harga barang-barang kebutuhan mulai naik
disertai dengan kenaikan BBM. Memang, tahun 2011 merupakan tahun keprihatinan
bersama atas seluruh situasi yang terjadi di negeri ini,” keluh Pak Johnson.
Sering sekali wajah Pak Johnson
Panjaitan tampil di televisi. Tetapi siapakah dia yang begitu berani
menyuarakan keprihatinan masyarakat, terutama dalam bidang hukum? Pak Johnson
adalah seorang Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia. Sebagai seorang pengacara, ia
dikenal akrab dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan hukum.
Menjadi pengacara bukanlah cita-citanya. Cita-cita awal Pak Johnson adalah mau
menjadi Jaksa Agung. Tetapi kenyataan berbicara lain, ia bahkan lebih
membaurkan hidupnya dalam pusaran persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Selain sebagai Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia, ia juga sebagai penasihat
hukum “Indonesia Police wacth”
(Lembaga Pengamat Polri), sebuah LSM yang memantau seluruh gerak perjalanan
Polri sekaligus memberikan kritik terhadap lembaga yang mempunyai peran strategis
ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)