Wednesday, September 23, 2020

Dinding Itu Koyak

 

              Setelah gempa mengguncang, sebuah kapel tua tampak terkoyak dindingnya. Pada dinding di belakang meja altar, ada retakan panjang, persis membelah salib yang sedang tergantung pada dinding kapel itu. Banyak perdebatan muncul saat menatap retakan itu. Seorang dosen ilmu alam menganjurkan supaya dinding itu segera ditambal dengan semen sehingga tidak mengganggu orang yang sedang berdoa. Anjuran ini ditampik oleh dosen filsafat estetika. Ia memandang retakan itu sebagai sesuatu yang estetik, sebuah sentuhan Allah terhadap manusia. Retakan panjang yang menggurat pada tepi salib dilihat sebagai bentuk keterbukaan Allah terhadap manusia. Allah yang transenden, kini hadir dalam pergulatan hidup manusia, imanen.

          Dalam konteks teologi salib, retakan panjang yang terkisah dalam cerita di atas, menunjukkan intervensi Allah dalam keterlibatan hidup manusia. Teologi terlibat seperti yang diupayakan oleh para teolog Indonesia tidak lain adalah teologi salib. Keterlibatan Gereja dalam dimensi kehidupan memilih satu realitas pokok yakni berpihak pada golongan lemah. Leonardo Boff, seorang pegiat theology of Liberation, secara jelas memihak golongan masyarakat yang mengharapkan, masyarakat yang sedang menantikan pembebasan diri mereka dari kekangan kekuasaan.

          Situasi tertekan yang dialami masyarakat lemah, merupakan ancaman serius yang perlu diproteksi. Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez memberi peringatan kepada publik bahwa masyarakat miskin bertanya serius mengenai kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. “Seseorang pernah bertanya pada saya, di masa macam apa kita hidup ini? Aku menjawab, “di masa di mana ada koma, koma, dan koma….seribu koma membentang.”

          Koma adalah tanda yang mengisyaratkan pada publik bahwa sebuah persoalan tak akan pernah selesai. Karena itu dalam menerapkan teologi salib, perlu juga memahami “teologi koma,” sebuah teologi yang berakar dalam permasalahan sosial dan sulit untuk mencari alternatif pemecahannya.

 

 

Yesus Kristus: Teolog Ulung

          Dalam berteologi, kepribadian Kristus menjadi dasar utama yang mendapat perhatian. Dalam Injil Lukas sebagai injil kaum Anawim, menggambarkan secara vulgar keterlibatan Yesus dalam membela kehidupan orang-orang kecil. Pola-pola pewartaan dan pembelaanNya, mencirikan sebuah teologi yang hidup, yang tidak pernah hilang dari gesekan zaman. Keterlibatan Yesus menyatakan bahwa Allah sedang terlibat “sebagai daya liberatif, sebagai Dia yang menyembuhkan dan menyelamatkan seluruh dunia dalam segala dimensi kehidupan.” 

          Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki ruang kemungkinan bagi pertarungan masyarakat dalam strata sosial. Dalam proses pertarungan seperti ini, sebagian besar masyarakat berada pada posisi lemah. Model masyarakat seperti ini sedang menanti “bela rasa” dari mereka yang memiliki power dan wewenang. Jeritan perlawanan sebagai “bahasa pembelaan diri” terkadang dibungkam oleh mesin-mesin penggilas.

 

Melihat Derita          

          Hampir setiap hari keberadaan masyarakat kecil selalu dipermasalahkan. Atas nama keindahan dan kerapihan kota, lapak-lapak mereka yang dijadikan sebagai tempat berjualan digusur tanpa mengenal kompromi.  Inilah wajah-wajah penunggu, yang letih diterpa masalah. Mungkinkah mereka lebih layak memahami teologi salib? Sebuah teologi yang hidup, mengandaikan teologi itu terus beraksi dan teolog sendiri berefleksi terhadap aksi yang telah dilakukan. 

          Refleksi yang bernas, lahir dari pengalaman terutama pengalaman tentang Indonesia yang sedang berada dalam “trilogi derita,” yaitu derita karena musibah di darat, laut dan udara.  Di sini, Gereja mesti terlibat untuk menyuarakan rehabilitasi management dalam pelbagai dimensi kehidupan. Upaya perbaikan ini sebagai bentuk penataan sistem untuk dapat memungkinkan masyarakat bergerak hidup secara leluasa.  Sistem pembalakan liar di hutan misalnya, perlu dijaga ketat supaya tidak terjadi tanah longsor yang dapat mengorbankan masyarakat kecil. Pengontrolan kelayakan kapal laut dan pesawat secara kontinu sehingga dapat meminimalisasi angka kecelakaan. 

          Salib adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Melalui salib, Kristus telah mengajarkan pada kita tentang bagaimana keterlibatan dan pengorbananNya terhadap orang lain. Salib memiliki nilai artistik dan futuristik karena melalui salib manusia bisa belajar tentang nilai lain dibalik derita dan pengalaman pengorbanan Yesus membuka ruang kehidupan pada masa yang akan datang.  Penderitaan manusia tidak lebih dari sebuah retakan panjang, seperti dinding kapel yang terkisah pada awal tulisan di atas. Dalam retakan panjang itu, Allah mau membuka diri, membalut derita manusia dengan “kain pengorbanan Yesus.” Teologi salib dalam konteks zaman ini tidak muncul setelah manusia menderita karena ulah penguasa, tetapi teologi salib berkembang karena keberpihakannya saat sebelum manusia menderita.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Mengambil Bagian Dalam Perutusan Yesus

 Yesus memberi kuasa dan tenaga kepada para muridNya untuk memberitakan Injil,mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit.Di dalam melaksanakan semuanya itu, Yesus berpesan agar tidak membawa bekal.ini artinya bahwa kita hendaknya fokus dalam melaksanakan tugas pewartaaan Kerajaan Allah dan para murid hendaknya ngak perlu kwatir tentang kebutuhan barang duniawi karena semuanya akan tercukupi. 


Sebagai anggota Gereja, di antara kita ada yang terpilih dalam kepengurusan dewan pastoral paroki, wilayah rohani, stasi, kelompok kategorial maupun organisasi kemasyarakatan.Inilah wadah bagi kita untuk ambil bagian dalam tugas pewartaan Kerajaan Allah, mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit. Bulan Kitab Suci Nasional ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mewartakan agar dalam kehidupan kita ini dapat mengatasi krisis identitas diri dan krisis iman dalam semangat cinta kasih.Kita juga diajak untuk memerangi roh roh jahat yang ada di sekitar kita, seperti kebencian, dendam, iri hati, sakit hati. Kita kalahkan mereka dengan kebaikan dan cinta kasih.Kita juga diajak untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit malas  penyakit penyebar gosip/hoax dalam media sosial, penyakit pemecah persatuan anggota Gereja, dan jenis penyakit yang lain. Itulah tugas perutusan kita. Dan itu semua dapat kita laksanakan , kalau kita berpegang teguh pada Yesus, yang mengutus kita.
(Inspirasi:Lukas 9:1-6, 23 September, Suhardi )

Tuesday, September 22, 2020

“SAATKU BELUM TIBA”

                                                         Wawancara Imajiner

Selamat bertemu Bunda Maria. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior media online www.adonaranews.com.  Apakah Bunda Maria ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?

“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk media online, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?

Begini Bunda Maria. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkah  Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?

            Kami  sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar  dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai.  Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.

Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?

            Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi  warna sebuah pesta.  Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan  pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.

Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?

            Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik.  Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.

Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?

            Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”

Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”

            Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.

            Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus.  Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul  lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?

            Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).

            Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.

            Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya.  Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.

            Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

PERSAUDARAAN UNIVERSAL

Persaudaraan dan cinta kasih kristiani adalah bersifat universal. Dimana pun dan kapan pun kita dapat menemukan saudara-saudari kita dan " ibu " kita secara imani. Dan betapa bahagia kita, betapa bersyukur kita, kita dapat disambut dan diterima di mana pun dan kapan pun karena kita semua adalah bersaudara.
    

Yesus mengajarkan kepada kita untuk membangun persaudaraan. Tentu saja persaudaraan yang dijiwai oleh kasih. Karena inilah ciri dan identitas persaudaraan kristiani. Yesus pernah bersabda" Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri."
    

Persaudaraan kristiani itu tanpa memperhitungkan latar belakang seseorang : entah suku, warna kulit, bahkan agama. Kita dapat mengembangkan persauadaraan dengan siapapun dan kapanpun.  Sebagai para pengikut Yesus, kita hendaknya menjadi pion-pion dalam mengembangkan dan mempererat persaudaraan kristiani ini,sehingga tercipta kehidupan yang lebih damai, nyaman, akrab dan indah.
   


Untuk sungguh mampu mewujudkan persaudaraan kristiani, kita hendaknya lebih banyak mendengarkan , membaca dan melaksanakan Sabda Tuhan, apalagi bulan ini adalah Bulan Kitab Suci Nasional, sehingga lambat laun kita dapat memperbaiki krisis identitas diri dan krisis iman kita serta kita dapat mempererat tali persaudaraan di antara kita sebagai KELUARGA BESAR ALLAH.
(Inspirasi:Lukas 8:19-21, 22 September, Suhardi )

Transformasi Hidup sebagai Murid Yesus

Apa konsekwensi kita mengikuti Yesus? Konsekwensinya adalah adanya kesediaan untuk terjadinya transformasi hidup.Transformasi hidup dapat terjadi kalau kita selalu terbuka terhadap penerangan Roh Kristus. 

Bacaan Injil menceritakan bagaimana Matius,seorang pemungut cukai, yang dianggap kaum pendosa, dapat mengikuti Yesus.Di sini terjadi transformasi hidup, dari seorang pemungut cukai menjadi seorang murid Yesus.Transformasi hidup Matius terjadi bukan karena gerakan dirinya sendiri, tetapi Pribadi Kristus yang menarik dia untuk mau mengikutiNya. Hal yang menarik dalam transformasi hidup Matius adalah bahwa dia langsung bergegas untuk mengikutiNya, tanpa bertanya apa yang dia akan dapat selama mengikutiNya dan bagaimana dengan kekayaan yang dimilikinya.Semuanya itu dia singkirkan dari pikirannya. Bagi dia yang penting adalah mengikuti Yesus. 


Kita perlu berefleksi diri sebagai seorang murid Yesus, jika kita tidak mengalami transformasi hidup.Transformasi hidup dapat terjadi ketika kita meninggalkan hidup lama dan mengenakan gaya hidup baru dalam terang dan semangat Kristus.Kita hilangkan rasa dengki,sakit hati,dendam,benci dengan sesama.Itu semua kita ubah dengan kebaikan dan cinta kasih.Kita hilangkan sifat-sifat malas dalam pelayanan dan pengorbanan.Kita ganti dengan semangat pelayanan dan sifat murah hati.
Mengikuti Yesus hendaknya mengalami tranformasi hidup yang lebih baik.
(Inspirasi:Matius 9:9-13,  21 September, Suhardi)

Friday, September 18, 2020

Abdi Allah

 

Servus Servorum Dei, abdi para abdi Allah. Begitulah Paus Gregorius menyebut dirinya. Sebutan ini juga menjadi sebuah julukan bagi jabatan Paus di Roma. Mengabdi pada umat, apalagi berani menjadi pelayan merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dilakoni. Namun orang-orang tertentu yang menyadari spiritualitas pelayanan kristiani, menjadi seorang pelayan ketika menjadi pejabat adalah sesuatu yang lumrah. Spiritualitas pelayanan kristiani adalah  spiritualitas gerak turun, mengikuti peristiwa inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia. Itu berarti setiap orang harus rendah diri dan mengambil pola pelayanan pada komunitas kelas bawah. 

            Cita-cita untuk melayani dan menjadi abdi umat selalu menggaung dalam diri Gregorius. Ia dilahirkan di kalangan bangsawan (Aristokrat). Gregorius lahir di Roma pada tahun 540. Ibunya Silvia dan dua orang tantenya, Tarsilla dan Aemeliana, dihormati pula oleh Gereja sebagai orang kudus. Ayahnya Geordianus, tergolong kaya raya; memiliki banyak tanah di Sicilia  dan sebuah rumah indah di lembah bukit Ceolian, Roma. Selama masa kanak – kanaknya, Gregorius mengalami suasana pendudukan suku bangsa Goth, Jerman atas kota Roma; mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun demikian, Gregorius menerima suatu pendidikan yang memadai. Ia pandai sekali dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialetika.

            Kehidupan dalam lingkup keluarga bangsawan tidak membuat ia berbesar kepala terhadap orang di luar kelompok Aristokrat. Cita-cita awal menjadi pemimpin dan pelayan, memungkinkan ia untuk belajar berendah hati dan mau bersolider dengan siapa saja. Pada usia 33 tahun ia menjadi Prefek kota Roma, suatu kedudukan tinggi dan terhormat dalam dunia politik Roma saat itu. Kedudukan duniawi diperoleh karena didukung oleh keluarga berdarah biru itu. Tetapi apakah jabatan politik yang diemban membuat ia lupa akan yang lain dan terus mempertahankannya?

Jabatan politis itu tidak selamanya abadi. Melalui jabatan tersebut belum membuka “ruang” baginya untuk membaktikan diri secara penuh bagi Allah. Ia pada akhirnya memilih jalan Tuhan.  Tuhan memanggil dan menghendaki Gregorius untuk berkarya di ladang anggur-Nya. Gregorius meletakkan jabatan politiknya dan mengumumkan niatnya untuk menjalani kehidupan membiara. Ia menjual sebagian besar kekayaannya dan uang yang diperolehnya dimanfaatkan untuk mendirikan biara – biara. Ada enam biara yang didirikan di Sicilia dan satu di Roma. Di dalam biara – biara itu, ia menjalani kehidupannya sebagai seorang rahib. Namun ia tidak saja hidup di dalam biara untuk berdoa dan bersemadi, ia juga giat di luar; membantu orang – orang miskin dan tertindas, menjadi diakon di Roma, menjadi Duta Besar di istana Konstantinopel. Pada tahun 586 ia dipilih menjadi Abbas di biara Santo Andreas di Roma. Di sana ia berjuang membebaskan para budak belian yang dijual di pasar – pasar kota Roma.

Pada tahun 590, dia diangkat menjadi Paus. Dengan ini dia dapat dengan penuh wibawa melaksanakan cita – citanya membebaskan kaum miskin dan lemah, terutama budak – budak dari Inggris. Ia mengutus Santo Agustinus ke Inggris bersama 40 biarawan lain untuk mewartakan Injil di sana. Gregorius adalah Paus pertama yang secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia. Ia memimpin Gereja selama 14 tahun dan dikenal sebagai seorang Paus yang masyur, negarawan dan administrator ulung pada awal abad pertengahan serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Karena tulisan – tulisannya yang berbobot, dia digelari sebagai Pujangga Gereja Latin. (Valery, dari berbagai sumber*)