Thursday, September 24, 2020

Siapakah Aku?

 

Setiap orang yang menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja yang dimaksudkan di sini adalah  umat Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?

Dibaptis Untuk Gereja

            Ketika orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus hidup  dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup Gereja maupun di luar Gereja.

            Melihat peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang sudah dibaptis?

            Konsep Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki, artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan tentang Kristus.

            Istilah kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.

            Dalam refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat, sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan menggereja.

 

Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?

            Ketika ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana, yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang dimilikinya.  Sejalan dengan ini, lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.

            Sebagai anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda dalam memainkan peran di Gereja.  Anak-anak bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?

            Bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan doa yang lain.  Sumbangan yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menanamkan benih-benih kebaikan.      

Siapakah Aku Bagi Sesamaku?

            Manusia hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.

            Kisah orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

            Membangun sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain. Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

            Dalam lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat dalam kisah pengorbanan Kristus.***(Valery Kopong)

           

Wednesday, September 23, 2020

Dinding Itu Koyak

 

              Setelah gempa mengguncang, sebuah kapel tua tampak terkoyak dindingnya. Pada dinding di belakang meja altar, ada retakan panjang, persis membelah salib yang sedang tergantung pada dinding kapel itu. Banyak perdebatan muncul saat menatap retakan itu. Seorang dosen ilmu alam menganjurkan supaya dinding itu segera ditambal dengan semen sehingga tidak mengganggu orang yang sedang berdoa. Anjuran ini ditampik oleh dosen filsafat estetika. Ia memandang retakan itu sebagai sesuatu yang estetik, sebuah sentuhan Allah terhadap manusia. Retakan panjang yang menggurat pada tepi salib dilihat sebagai bentuk keterbukaan Allah terhadap manusia. Allah yang transenden, kini hadir dalam pergulatan hidup manusia, imanen.

          Dalam konteks teologi salib, retakan panjang yang terkisah dalam cerita di atas, menunjukkan intervensi Allah dalam keterlibatan hidup manusia. Teologi terlibat seperti yang diupayakan oleh para teolog Indonesia tidak lain adalah teologi salib. Keterlibatan Gereja dalam dimensi kehidupan memilih satu realitas pokok yakni berpihak pada golongan lemah. Leonardo Boff, seorang pegiat theology of Liberation, secara jelas memihak golongan masyarakat yang mengharapkan, masyarakat yang sedang menantikan pembebasan diri mereka dari kekangan kekuasaan.

          Situasi tertekan yang dialami masyarakat lemah, merupakan ancaman serius yang perlu diproteksi. Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez memberi peringatan kepada publik bahwa masyarakat miskin bertanya serius mengenai kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. “Seseorang pernah bertanya pada saya, di masa macam apa kita hidup ini? Aku menjawab, “di masa di mana ada koma, koma, dan koma….seribu koma membentang.”

          Koma adalah tanda yang mengisyaratkan pada publik bahwa sebuah persoalan tak akan pernah selesai. Karena itu dalam menerapkan teologi salib, perlu juga memahami “teologi koma,” sebuah teologi yang berakar dalam permasalahan sosial dan sulit untuk mencari alternatif pemecahannya.

 

 

Yesus Kristus: Teolog Ulung

          Dalam berteologi, kepribadian Kristus menjadi dasar utama yang mendapat perhatian. Dalam Injil Lukas sebagai injil kaum Anawim, menggambarkan secara vulgar keterlibatan Yesus dalam membela kehidupan orang-orang kecil. Pola-pola pewartaan dan pembelaanNya, mencirikan sebuah teologi yang hidup, yang tidak pernah hilang dari gesekan zaman. Keterlibatan Yesus menyatakan bahwa Allah sedang terlibat “sebagai daya liberatif, sebagai Dia yang menyembuhkan dan menyelamatkan seluruh dunia dalam segala dimensi kehidupan.” 

          Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki ruang kemungkinan bagi pertarungan masyarakat dalam strata sosial. Dalam proses pertarungan seperti ini, sebagian besar masyarakat berada pada posisi lemah. Model masyarakat seperti ini sedang menanti “bela rasa” dari mereka yang memiliki power dan wewenang. Jeritan perlawanan sebagai “bahasa pembelaan diri” terkadang dibungkam oleh mesin-mesin penggilas.

 

Melihat Derita          

          Hampir setiap hari keberadaan masyarakat kecil selalu dipermasalahkan. Atas nama keindahan dan kerapihan kota, lapak-lapak mereka yang dijadikan sebagai tempat berjualan digusur tanpa mengenal kompromi.  Inilah wajah-wajah penunggu, yang letih diterpa masalah. Mungkinkah mereka lebih layak memahami teologi salib? Sebuah teologi yang hidup, mengandaikan teologi itu terus beraksi dan teolog sendiri berefleksi terhadap aksi yang telah dilakukan. 

          Refleksi yang bernas, lahir dari pengalaman terutama pengalaman tentang Indonesia yang sedang berada dalam “trilogi derita,” yaitu derita karena musibah di darat, laut dan udara.  Di sini, Gereja mesti terlibat untuk menyuarakan rehabilitasi management dalam pelbagai dimensi kehidupan. Upaya perbaikan ini sebagai bentuk penataan sistem untuk dapat memungkinkan masyarakat bergerak hidup secara leluasa.  Sistem pembalakan liar di hutan misalnya, perlu dijaga ketat supaya tidak terjadi tanah longsor yang dapat mengorbankan masyarakat kecil. Pengontrolan kelayakan kapal laut dan pesawat secara kontinu sehingga dapat meminimalisasi angka kecelakaan. 

          Salib adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Melalui salib, Kristus telah mengajarkan pada kita tentang bagaimana keterlibatan dan pengorbananNya terhadap orang lain. Salib memiliki nilai artistik dan futuristik karena melalui salib manusia bisa belajar tentang nilai lain dibalik derita dan pengalaman pengorbanan Yesus membuka ruang kehidupan pada masa yang akan datang.  Penderitaan manusia tidak lebih dari sebuah retakan panjang, seperti dinding kapel yang terkisah pada awal tulisan di atas. Dalam retakan panjang itu, Allah mau membuka diri, membalut derita manusia dengan “kain pengorbanan Yesus.” Teologi salib dalam konteks zaman ini tidak muncul setelah manusia menderita karena ulah penguasa, tetapi teologi salib berkembang karena keberpihakannya saat sebelum manusia menderita.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Mengambil Bagian Dalam Perutusan Yesus

 Yesus memberi kuasa dan tenaga kepada para muridNya untuk memberitakan Injil,mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit.Di dalam melaksanakan semuanya itu, Yesus berpesan agar tidak membawa bekal.ini artinya bahwa kita hendaknya fokus dalam melaksanakan tugas pewartaaan Kerajaan Allah dan para murid hendaknya ngak perlu kwatir tentang kebutuhan barang duniawi karena semuanya akan tercukupi. 


Sebagai anggota Gereja, di antara kita ada yang terpilih dalam kepengurusan dewan pastoral paroki, wilayah rohani, stasi, kelompok kategorial maupun organisasi kemasyarakatan.Inilah wadah bagi kita untuk ambil bagian dalam tugas pewartaan Kerajaan Allah, mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit. Bulan Kitab Suci Nasional ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mewartakan agar dalam kehidupan kita ini dapat mengatasi krisis identitas diri dan krisis iman dalam semangat cinta kasih.Kita juga diajak untuk memerangi roh roh jahat yang ada di sekitar kita, seperti kebencian, dendam, iri hati, sakit hati. Kita kalahkan mereka dengan kebaikan dan cinta kasih.Kita juga diajak untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit malas  penyakit penyebar gosip/hoax dalam media sosial, penyakit pemecah persatuan anggota Gereja, dan jenis penyakit yang lain. Itulah tugas perutusan kita. Dan itu semua dapat kita laksanakan , kalau kita berpegang teguh pada Yesus, yang mengutus kita.
(Inspirasi:Lukas 9:1-6, 23 September, Suhardi )

Tuesday, September 22, 2020

“SAATKU BELUM TIBA”

                                                         Wawancara Imajiner

Selamat bertemu Bunda Maria. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior media online www.adonaranews.com.  Apakah Bunda Maria ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?

“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk media online, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?

Begini Bunda Maria. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkah  Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?

            Kami  sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar  dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai.  Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.

Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?

            Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi  warna sebuah pesta.  Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan  pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.

Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?

            Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik.  Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.

Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?

            Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”

Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”

            Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.

            Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus.  Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul  lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?

            Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).

            Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.

            Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya.  Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.

            Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

PERSAUDARAAN UNIVERSAL

Persaudaraan dan cinta kasih kristiani adalah bersifat universal. Dimana pun dan kapan pun kita dapat menemukan saudara-saudari kita dan " ibu " kita secara imani. Dan betapa bahagia kita, betapa bersyukur kita, kita dapat disambut dan diterima di mana pun dan kapan pun karena kita semua adalah bersaudara.
    

Yesus mengajarkan kepada kita untuk membangun persaudaraan. Tentu saja persaudaraan yang dijiwai oleh kasih. Karena inilah ciri dan identitas persaudaraan kristiani. Yesus pernah bersabda" Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri."
    

Persaudaraan kristiani itu tanpa memperhitungkan latar belakang seseorang : entah suku, warna kulit, bahkan agama. Kita dapat mengembangkan persauadaraan dengan siapapun dan kapanpun.  Sebagai para pengikut Yesus, kita hendaknya menjadi pion-pion dalam mengembangkan dan mempererat persaudaraan kristiani ini,sehingga tercipta kehidupan yang lebih damai, nyaman, akrab dan indah.
   


Untuk sungguh mampu mewujudkan persaudaraan kristiani, kita hendaknya lebih banyak mendengarkan , membaca dan melaksanakan Sabda Tuhan, apalagi bulan ini adalah Bulan Kitab Suci Nasional, sehingga lambat laun kita dapat memperbaiki krisis identitas diri dan krisis iman kita serta kita dapat mempererat tali persaudaraan di antara kita sebagai KELUARGA BESAR ALLAH.
(Inspirasi:Lukas 8:19-21, 22 September, Suhardi )