Friday, July 29, 2016

KEMANUSIAAN KITA TERKOYAK

Ketika berdoa bersama para narapidana di Lapas wanita-Kota Tangerang  pada  Kamis, 27 Juli 2016, sepertinya kami semua tertawan oleh sebuah situasi yang mengharuskan kami untuk larut dalam doa. Ada isak tangis  saat sedang berdoa bersama.  Sepertinya di depan kami sudah ada mayat, padahal waktu eksekusi direncanakan pada pkl.00.  Para narapidana mengenangkan kembali hari-hari kebersamaan dengan Maria Utami yang juga menjadi salah satu terpidana mati yang siap ditembak di hadapan regu penembak.  
MARIA UTAMI, salah satu narapidana yang tertunda eksekusinya
Pkl. 14.00 siang itu kami memanjatkan 5 peristiwa Rosario (khusunya peristiwa terang) dan tepat pkl. 15.00 kami selesai doa Rosario dan dilanjutkan doa koronka. Dalam hening doa yang panjang, ada satu harapan yang muncul adalah “mudah-mudahan” mukjizat terjadi dan penundaan eksekusi mati, terutama terhadap Maria Utami. Selepas doa sore, para narapidana juga mengumpulkan kekuatan baru untuk terus berdoa menanti pelaksanaan eksekusi mati.

Setelah berdoa, saya diminta untuk berbicara seputar pelaksanaan hukuman mati.  Saya katakan bahwa “apa yang sedang dialami oleh Maria Utami, merupakan pengalaman Getzemani, sebuah pengalaman pergulatan yang telah dialami oleh Yesus ketika berada di taman Getzemani,” Di sini, letak kemanusiaan Yesus terlihat lewat ketakutan yang luar biasa. Dalam situasi itu, Yesus berdoa, Ya, Bapa, kalau mungkin piala ini berlalu dari padaku, tetapi bukan atas kehendakku yang terjadi, melainkan kehendak-Mu yang terjadi.     
Kami semua yang larut dalam kesunyian di kapel “Crucio” Lapas wanita Tangerang, sedang  membayangkan apa yang akan terjadi dengan Maria Utami dan kawan-kawannya di hadapan regu tembak di Nusakambangan. Malam itu, dunia  internasional sedang menyoroti Indonesia karena melakukan eksekusi mati.  Dari ke 14 orang terpidana mati, hanya 4 orang yang ditembak mati, salah satunya Freddy Budiman, gembong narkoba asal Indonesia.  Sementara itu Maria Utami ditunda proses pelaksanaannya.

Berhadapan dengan eksekusi mati yang sedang digencarkan oleh pemerintahan Jokowi, menyisahkan sebuah pertanyaan penting. Apakah dengan hukuman mati, kejahatan tidak ada lagi? Persoalan kejahatan tidak bisa diberantas dengan membunuh penjahat itu sendiri. Ada cara yang lebih manusiawi yang bisa dipakai untuk melawan kejahatan. “Kejahatan harus dilawan dengan kebaikan.” Adagium ini terkesan sederhana tetapi patut dihidupkan lagi dalam proses pendampingan para penjahat yang telah tertangkap. Negara harus bertanggung jawab untuk memberikan pendampingan dan melihat perubahan sikap dalam proses pembinaan selama di lapas. Untuk apa seorang narapidana ditembak mati, sementara dia sudah menjalani hukuman di penjara selama  belasan tahun? Di sinilah pemerintah mesti membuka mata untuk melihat proses dan pengalaman pertobatan yang terjadi. Sejauh pemerintah menutup mata dan tidak mau melihat perkembangan baik dalam diri seorang narapidana, maka para penegak hukum tetap memberikan stigma yang jelek kepada narapidana. Ingat bahwa para regu penembak terhadap narapidana mati juga merupakan pelanggar HAM, hanya dilegalkan oleh negara dengan  payung hukumnya.  Memberantas kejahatan dengan cara kejahatan, tidak akan menemukan solusi yang tepat. Yang ada adalah kemanusiaan kita terkoyak sepanjang sejarah.***(Valery Kopong)  

No comments: