Ketika berdoa bersama para narapidana di Lapas
wanita-Kota Tangerang pada Kamis, 27 Juli 2016, sepertinya kami semua
tertawan oleh sebuah situasi yang mengharuskan kami untuk larut dalam doa. Ada isak
tangis saat sedang berdoa bersama. Sepertinya di depan kami sudah ada mayat,
padahal waktu eksekusi direncanakan pada pkl.00. Para narapidana mengenangkan kembali hari-hari
kebersamaan dengan Maria Utami yang juga menjadi salah satu terpidana mati yang
siap ditembak di hadapan regu penembak.
MARIA UTAMI, salah satu narapidana yang tertunda eksekusinya |
Setelah berdoa, saya diminta untuk berbicara seputar pelaksanaan hukuman mati. Saya katakan bahwa “apa yang sedang dialami oleh Maria Utami, merupakan pengalaman Getzemani, sebuah pengalaman pergulatan yang telah dialami oleh Yesus ketika berada di taman Getzemani,” Di sini, letak kemanusiaan Yesus terlihat lewat ketakutan yang luar biasa. Dalam situasi itu, Yesus berdoa, Ya, Bapa, kalau mungkin piala ini berlalu dari padaku, tetapi bukan atas kehendakku yang terjadi, melainkan kehendak-Mu yang terjadi.
Kami semua yang larut dalam kesunyian di kapel “Crucio”
Lapas wanita Tangerang, sedang membayangkan apa yang akan terjadi dengan
Maria Utami dan kawan-kawannya di hadapan regu tembak di Nusakambangan. Malam itu,
dunia internasional sedang menyoroti
Indonesia karena melakukan eksekusi mati.
Dari ke 14 orang terpidana mati, hanya 4 orang yang ditembak mati, salah
satunya Freddy Budiman, gembong narkoba asal Indonesia. Sementara itu Maria Utami ditunda proses
pelaksanaannya.
Berhadapan dengan eksekusi mati yang sedang
digencarkan oleh pemerintahan Jokowi, menyisahkan sebuah pertanyaan penting. Apakah
dengan hukuman mati, kejahatan tidak ada lagi? Persoalan kejahatan tidak bisa
diberantas dengan membunuh penjahat itu sendiri. Ada cara yang lebih manusiawi
yang bisa dipakai untuk melawan kejahatan. “Kejahatan harus dilawan dengan
kebaikan.” Adagium ini terkesan sederhana tetapi patut dihidupkan lagi dalam
proses pendampingan para penjahat yang telah tertangkap. Negara harus
bertanggung jawab untuk memberikan pendampingan dan melihat perubahan sikap
dalam proses pembinaan selama di lapas. Untuk apa seorang narapidana ditembak
mati, sementara dia sudah menjalani hukuman di penjara selama belasan tahun? Di sinilah pemerintah mesti
membuka mata untuk melihat proses dan pengalaman pertobatan yang terjadi. Sejauh
pemerintah menutup mata dan tidak mau melihat perkembangan baik dalam diri
seorang narapidana, maka para penegak hukum tetap memberikan stigma yang jelek
kepada narapidana. Ingat bahwa para regu penembak terhadap narapidana mati juga
merupakan pelanggar HAM, hanya dilegalkan oleh negara dengan payung hukumnya. Memberantas kejahatan dengan cara kejahatan,
tidak akan menemukan solusi yang tepat. Yang ada adalah kemanusiaan kita
terkoyak sepanjang sejarah.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment