Monday, October 23, 2017

Fenomenologi-Ontologi Martin Heidegger

Fenomenologi Ontologi di dalam
Pemikiran Martin Heidegger

Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk memahami realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran pada obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai “Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.[1]

Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bab-bab sebelumnya. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya, supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi dengan pemikiran terbuka.

Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata Ada? Apa arti penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki beragam makna. Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert Dreyfus pernah berpendapat, bahwa Ada adalah latar belakang dari semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas Sheehan, ahli Heidegger lainnya, berpendapat bahwa konsep Ada merupakan konsep yang mencakup keseluruhan realitas. Ada adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk pengetahuan manusia tanpa terkecuali.

Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut. Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut penelitian yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari pertanyaan tentang Ada pun sudah berubah.[2]

Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep Ada sebenarnya ada di dalam setiap hal, sepertiada batu, ada manusia, ada hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep ada manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari Ada yang mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada haruslah diubah menjadi, apakah yang dimaksud dengan Ada yang mendasari ada-ada lainnya di dalam realitas?

Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang Ada yang digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang juga merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian Frede ketertarikan Heidegger pada masalah Ada dan ontologi secara keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam prosesnya untuk memahami Ada?

Heidegger Muda

Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles, pernah berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang ada (science of being).[3] Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang, konsep Ada sudah memperoleh porsi besar di dalam refleksi para pemikir. Mereka kerap menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”, atau “dasar”. Konsep Ada melibatkan dua hal yang sangat penting di dalam diri seorang pemikir, yakni kemampuan berabstraksi, yakni menarik apa yang sama dari segala sesuatu yang berbeda di dalam realias, dan kemampuan refleksi, yakni menilai diri sendiri dan berpikir secara mendalam. Para filsuf Yunani Kuno juga ingin bertanya, apakah Ada itu sesuatu yang tunggal atau jamak? Apakah ada itu satu atau banyak?

Menurut Frede orang yang pertama  kali mengajukan pertanyaan tentang Ada secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang konsep Ada dengan para sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika terkait dengan Ada adalah problem gigantotnacbia, yang berarti problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh besar di dalam ontologi, ilmu tentang Ada, adalah Aristoteles, murid Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia adalah sejarah kelupaan akan ada (forgetfulness of being).

Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam ada seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance), yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri; tidak membutuhkan suatu apapun di luar dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan substansi tersebut. Kategori-kategori itu adalah kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu, tindakan, afeksi, posisi, dan kepemilikan. Misalnya anda melihat sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu dari kategori-kategori Ada lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya. Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori Ada bukanlah ciptaan manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara logis. Kategori ada adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia.

Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai seorang realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari kategori-kategori Ada, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan ia menjadikan konsep Ada sebagai pusat penyelidikannya, maka ia disebut sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya terdiri dari struktur-struktur obyektif dari Ada. Inti dari struktur obyektif itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel pada substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh di dalam konsep Ada, karena konsep Ada itu sendiri terdiri dari substansi dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan ada (unified of being). Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori Ada.

Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema sentral di dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika. Heidegger pun menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema ini. Baginya konsep ada di dalam filsafat Aristoteles masihlah kosong. Kekosongan itu diisi oleh para filsuf abad pertengahan dengan ajaran-ajaran Kristiani, seperti yang misalnya dilakukan dengan sangat mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Pada filsuf neothomisme di abad kedua puluh juga masih mengacu pada Aristoteles di dalam refleksi mereka tentang substansi.[4]

Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui tradisi berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism (yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja namanya tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Dan kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya sebagai tema diskusi.

Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung argumen yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep Ada itu sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu yang ada di dalam realitas.

Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk merumuskan konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat ada sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan pesat di dalam pemikiran Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya keduanya, yakni tentang pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns Scotus, karena ia adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan substansi Aristoteles. Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk memahami konsep Tuhan. Memang Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan yang berusaha memberikan pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama dengan substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di dalam benda-benda lainnya.

Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan untuk mengembangkan refleksi tentang Ada yang sama sekali baru. Dalam arti ini ada tidak hanya berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan kata lain ada menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki manusia. Pertanyaan tentang ada bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan manusia melibatkan konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai dunianya, dan proses pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah struktur dari realitas. Itulah Ada.[5]

Namun menurut Scotus konsep ada berbeda-beda untuk setiap hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan ada dari akal budi (being of reason). Dalam arti ini kebenaran yang ada di dalam akal budi tidak otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda. Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang merokok tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas.

Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh mempengaruhi Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak selalu sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai subyektivitas yang obyektif (objective subjectivity). Yang obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness) oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul Being and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa, penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah merupakan pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu sudah tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.

Being and Time

Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya yang banyak berbicara tentang ada? Ada jarak waktu 12 tahun sebelum Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger di dalam Being and Time sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl. Namun walaupun berhutang pada Husserl, Heidegger tetap memiliki banyak perbedaan argumen dengannya. Setidaknya ada dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa ia sangat terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul Logical Investigations. Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan Husserl, Heidegger kemudian menyadari betul peran fenomenologi di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti ini bisa juga dikatakan, bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan metode fenomenologi untuk memahami ada.[6]

Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya kita mengingat kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu konsep kunci di dalam fenomenolog Husserl adalah intensionalitas. Menurutnya setiap aktivitas manusia, baik fisik maupun mental, seperti berpikir, selalu mengarah pada suatu fenomena obyektif di luar dirinya. Dalam arti ini kesadaran tidak pernah kesadaran pada dirinya sendiri, melainkan kesadaran akan sesuatu. Setiap obyek di luar diri manusia hanya bisa dipahami sejauh obyek tersebut dipahami oleh kesadaran. Jika ingin memahami hakekat dari semua benda-benda yang ada di dunia, maka kita harus melihat kaitannya obyek itu dengan kesadaran manusia yang mempersepsinya.

Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah sesuatu yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I). Aku murni adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari obyek di luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah memahami kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat, terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang berpusat pada ego manusia.

Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis transendental (transcendental subjectivist). Subyektivisme transendental sendiri adalah paham yang berpendapat, bahwa subyektivitas merupakan sumber dari semua bentuk pengetahuan, pikiran, dan pengalaman manusia. Lalu dimanakah tempat dunia eksternal? Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik eksternal. Namun di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda terlebih dahulu, sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa tampak. Yang menjadi fokus utama fenomenologi adalah pengalaman subyek dan isi kesadarannya, ketika berusaha memahami dunia.

Heidegger setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa ada dari benda-benda terletak di dalam pengertian manusia tentang benda-benda tersebut. Namun setidaknya ada empat hal dari pemikiran Husserl yang tidak disetujui oleh Heidegger. Yang pertamaadalah ia tidak setuju dengan kecenderungan Husserl untuk memusatkan seluruh analisisnya pada manusia sebagai subyek. Fakta bahwa manusia bisa sadar akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia memahaminya secara utuh. Di dalam tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan bahkan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh dalam kesalahan.[7] Yang kedua Heidegger tidak setuju dengan konsepsi Husserl tentang “menaruh di dalam kurung”. Tidak mungkin manusia bisa menaruh di dalam kurung pertimbangan-pertimbangannya tentang dunia eksternal. Sebaliknya pertimbangan-pertimbangan itu harusnya dijadikan bagian utuh dari proses penafsiran manusia atas dunianya.

Yang ketiga menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya akan terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat bahwa dunia luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan, bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran manusia.Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri. Penolakan terhadap pandangan-pandangan Husserl ini membantu Heidegger merumuskan pandangannya sendiri di dalam karya terbesarnya, yakni Being and Time.[8]

Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep ada itu sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon for an Interpretation of the Meaning of Being in General danDestroying the History of Ontology.

Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk menghancurkan ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan menerangkan proyek ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan di dalam pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Desttuktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. KataDesttuktion lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir di dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.

Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada (forgetfulness of being). Para filsuf berpikir bahwa ada itu tidak memiliki konsep yang konkret, dan juga bahwa ada hanya bisa dipahami melalui pengada-pengada, seperti manusia, tuhan, konsep-konsep, dan sebagainya. Cara berpikir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles segala sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori ada, seperti kualitas, kuantitas, substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari itu seperti sudah ditulis sebelumnya, Ada hanya dapat diketahui melalui benda-benda konkret di dalam realitas.[9]

Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa ada merupakan konsep yang independen dari pikiran manusia. Baginya inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang ada di dalam sejarah, yakni ketika ada dipandang sebagai obyek yang keberadaannya dapat dilepaskan dari manusia sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes dan Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek, juga tidak mengurangi kesulitan di dalam memahami ada tersebut. Manusia seolah adalah subyek yang memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia bisa tahu mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema penting di dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat pengetahuan.

Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana kita bisa menjamin kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan impresi dari subyek atas dunia? Kant dengan filsafatnya hendak menjawab pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih terjebak pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa dipahami, karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran yang sangat penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika.

Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di dalam filsafat modern muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari obyek, yakni dunia yang dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai ‘membelah dan menghancurkan fenomena’ (splitting asunder of the phenomena). Keterpisahan subyek manusia dan dunia obyektif yang dipersepsinya adalah penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam filsafat yang tidak terselesaikan secara tuntas.[10] Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai sikap alamiah (natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya. Sikap berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam maupun di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh pengetahuan dari satu sisi saja, dan tidak dari keseluruhan aspek.

Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek yang diamati. Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering juga adalah manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia (worldless). Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang secara keras oleh Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek pengamat adalah bagian dari dunia yang sama dari obyek yang diamati, yakni dunia. Manusia adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama (being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada.

Namun sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah menyelesaikan proyek destruksi metafisikanya. Buku yang membuat pemikirannya dikenal banyak orang, Being and Time, tidak pernah selesai. Niat Heidegger untuk melakukan destruksi metafisika-ontologi, dan sekaligus mengajukan suatu cara baru untuk memahami Ada tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada bagian kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek buku itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak pernah bisa menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke tema-tema filosofis lainnya.

Di dalam Being and Time, Heidegger hendak memahami ada dari seluruh realitas dalam artinya yang paling dinamis, sesuai dengan perkembangan dan perubahan realitas itu sendiri. Di dalam metafisika-ontologi tradisional, konsep ada tidak dipahami dalam temporalitas waktu. Padahal konsep waktu seperti yang selalu ditekankan Heidegger sangat terkait dengan konsep ada itu sendiri. Untuk mengubah pemahaman tentang ada itu sendiri, Heidegger lalu mencoba memahami ada melalui mahluk yang mampu memikirkan dan menanyakan ada, yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah entitas yang terisolasi, ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar belakangnya. Manusia adalah mahluk yang dari dasar dan hakekatnya sudah dibentuk oleh dunia.

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada (modes of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan ada, dan bukan untuk ada itu sendiri. Di dalamBeing and Time, Heidegger memang banyak menganalisis tentang manusia sebagai mahluk penanya ada, dan bukan ada itu sendiri. Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang ada itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya.[11]

Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care). Memelihara sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam. Karena manusia selalu berada di dalam relasi keterlibatan (involvement) dengan alam, maka sudah selayaknya ia ikut merawat dan memelihara alam itu sendiri. Tindak memelihara disini bukanlah tindakan amal, melainkan sudah melambangkan relasi fundamental antara manusia dengan alam, dan sebaliknya. Heidegger juga berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari alam keseluruhan, karena ia selalu ada-di-dalam-dunia (being in the world). Jadi manusia dan alam berada di dalam kesatuan ontologis yang utuh serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang tepat dari manusia terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam sebagai bagian dari diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis Frede dalam tulisannya tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita sendiri, seluruh eksistensi kita, ke dalam dunia dan memahami diri kita dan semua hal di dunia ini dalam bentuk kemungkinan bentukan kita tentang diri kita sendiri.”[12] Manusia dan alam adalah satu, karena gambaran tentang dunia adalah gambaran manusia tentang dunia. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.

Segala sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya. Dan makna itu bisa diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari pemaknaan itu sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan mencipta ulang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang bermakna bagi manusia juga sudah selalu terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan masa depan. Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan, melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini. Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah dunia (world) yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita sehari-hari. Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat dengan dunia di dalam kekiniannya.

Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality) di dalam filsafat Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau mengatakan, bahwa manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau memiliki intuisi tentang waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni berharap untuk masa depan, mengingat apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta terikat di dalam kekinian (presentness). Keserentakan dari ketiga momen itu, yakni yang lalu, sekarang, dan masa depan, itulah yang disebut sebagai temporalitas, menurut Heidegger. Dalam arti ini kekinian murni (here and now) adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam kekinian murni, melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam ketiga momen, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Fenomenologi sebagai Ontologi

Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan Heidegger? Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik fenomenologi ingin kembali kepada obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi menolak semua rumusan teori, asumsi, maupun prasangka yang seringkali justru mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan. Fenomenologi ingin memahami esensi dari kesadaran manusia sebagaimana dilihat dari sudut pandang orang pertama. Di tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya.

Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia tidak lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran manusia. Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami ada. Jadi dia menerapkan fenomenologi untuk memahami ada. Dalam arti inilah fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami ada Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya ada, yakni manusia itu sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan dunia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah ada itu sendiri. Ada yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas, melainkan ada yang menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger adalah suatu upaya untuk memahami Ada yang menyingkapkan dirinya.***


[1] Pada bab ini saya mengacu pada Dorothea Frede, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993.

[2] Lihat, Frede, 1993, hal. 41.

[3] Lihat, ibid, hal. 45.

[4] Lihat, ibid, hal. 46.

[5] Lihat, ibid, hal. 49.

[6] Bdk, ibid, hal. 52.

[7] Lihat, ibid, hal. 53.

[8] Lihat, ibid.

[9] Lihat, ibid, hal. 60.

[10] Lihat, ibid, hal. 61.

[11] Lihat, ibid, hal. 63.


[12] Ibid, hal. 64.

No comments: