Seorang perempuan cacat tanpa tangan,
hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh
seorang laki-laki yang adalah anak dari seorang pejabat. Pernikahan mereka
direstui oleh kedua orang tua laki-laki. Pesta pernikahan terlaksana begitu
meriah. Para undangan yang datang, umumnya merasa terharu sekaligus bangga atas
keputusan mempelai laki-laki. Para
undangan terharu melihat kondisi mempelai wanita yang tidak memiliki kedua
tangannya.
Wanita ini hidup di panti asuhan
karena sejak dilahirkan oleh ibunya di rumah sakit dan ternyata kondisi
tubuhnya yang cacat, terutama kedua tangan, membuat kedua orang tua
meninggalkan bayi itu. Bayi itu kemudian dititipkan pada salah satu panti
asuhan di Yogyakarta. Ia dididik dan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan
tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, perempuan ini tidak mau mencari
pekerjaan lain tetapi memutuskan untuk kembali bekerja pada panti asuhan yang
telah membesarkannya.
Cinta itu melampaui segala-galanya.
Karena cinta maka si lelaki itu berani memutuskan untuk menikahi perempuan
cacat itu. Yang membuat pernikahan itu sedikit bergengsi karena laki-laki
(mempelai laki-laki) berasal dari golongan kaya dan anak dari orang terpandang.
Keputusannya didukung juga oleh keluarganya, terutama ayanya yang memiliki jabatan penting. Cinta
mengalahkan segala-galanya, termasuk jabatan. Cinta menjadi daya tarik dan
masuk ke dalam seluruh lini kehidupan.
Pernikahan mereka merupakan bagian
penting untuk menerima diri dan orang lain. Cinta itu bisa hidup dan bersemi
ketika kedua belah pihak bisa menerima dan menghidupkannya. Tanpa sikap
penerimaan yang baik maka cinta tidak bisa bertumbuh secara baik. Cinta itu
tumbuh di mana ada lahan subur, tempat berseminya benih-benih cinta itu. “Cinta bukanlah untuk mengharapkan
pemberian. Cinta adalah tentang keanggunan hati untuk memberi. “Tidak sedikit
orang baru belajar mencintai dengan lembut dan mesra hanya setelah kekasih mereka
mencintai orang lain.” ***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment