Friday, September 25, 2020

Merawat Sejarah

 

Pada usia 30 tahun Yesus  tampil di depan umum untuk mewartakan  Kerajaan Allah dan kabar gembira.  Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus merupakan sebuah kerajaan yang berpihak pada mereka yang lemah,  tersingkir dan juga mereka yang dilupakan oleh masyarakat.  Yesus hadir sebagai seorang penyelamat tetapi kehadiran-Nya di dunia sebagai manusia biasa.  Ia lahir di kandang hewan, hal ini mau menunjukkan kepada kita bahwa Yesus mau menghambakan diri-Nya dan pada akhirnya mau solider  dengan manusia.

 

Ia sangat menghargai tradisi-tradisi atau adat istiadat yang telah berkembang di dalam masyarakat Yahudi.  Yesus sendiri juga merupakan warga Yahudi karena itu Ia menghargai tradisi-tradisi yang ada,  salah satunya, yaitu tradisi yang setiap tahun dilakukan oleh umat Israel untuk berkumpul di Yerusalem, kota suci  yang bisa mempersatukan bangsa Israel yang tersebar di beberapa tempat.  Dengan berkumpulnya mereka di Yerusalem pada setiap tahun mengingatkan mereka akan nenek moyang mereka yang  telah berhasil keluar dari tanah Mesir dan dari tanah Mesir,  Allah pada akhirnya menuntun mereka untuk kemudian mengembara di padang gurun selama 40 tahun.  Di sini mau menunjukkan kepada kita tentang kesetiaan yang diperlihatkan oleh Allah kepada bangsa pilihan-Nya Israel. 

 

Setiap tahun mereka diingatkan kembali akan peranan Allah dalam seluruh sejarah keselamatan yang mereka alami dan terutama yang dialami oleh nenek moyang mereka.  Yesus sebagai salah seorang Yahudi juga mengikuti seluruh ritual kegiatan yang ada di Yerusalem.  Kedua orang tuanya membawanya untuk pergi ke Yerusalem  dan berusaha untuk bisa memahami arti penting dari sebuah makna pembebasan  dalam peristiwa Paskah Yahudi.  Yesus sendiri berusaha untuk bisa memahami,  bagaimana peran pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap bangsa Israel.

 

Walaupun mereka disebut sebagai bangsa pilihan Allah,  tetapi sikap dan tindakan mereka terkadang jauh dari harapan Allah  sendiri karena itu berkali-kali Allah menunjukkan kemarahan.   Walaupun dalam situasi kemarahan, Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap bangsa yang telah dipilihnya menjadi bangsa kesayangan-Nya sendiri. Dalam kaitan dengan tradisi yang telah ada di dalam masyarakat Yahudi,  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi itu di hadapan mereka.  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat Yahudi tetapi pengalaman masa lampau coba diingatkan kembali oleh Yesus. 

 

Melalui  tindakan-Nya, Yesus mengingatkan mereka bahwa apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka di masa lampau,  terutama ketika mereka mengalami arti penting peranan Allah di dalam hidup bangsa Israel.  Yesus mau menekankan arti penting dari sejarah itu, sejarah masa lampau dibuka kembali oleh Yesus lewat tindakannya dan melalui tindakan itu Yesus mengingatkan kita tentang makna terdalam dari sejarah yang telah terlewatkan oleh bangsa Israel.  

 

Kita lihat Yesus memilih kedua belas Rasul,  ini mengingatkan kita tentang 12 anak Yakub yang kemudian bisa berkembang menjadi sebuah negara besar. Ini merupakan satu bentuk keterlibatan peranan masa lampau dan kemudian diingatkan kembali lewat tindakan perjanjian baru yang dilakukan oleh Sang Penyelamat yaitu Yesus sendiri.  Kemudian kita juga diingatkan akan puasa yang dilakukan oleh Yesus selama 40 hari 40 malam dan tempat puasa yang di lakukan oleh Yesus,  di padang gurun. Kalau kita melihat sejarah perjalanan masa lampau padang gurun merupakan titik pencobaan yang paling radikal karena di padang gurun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di padang gurun tidak menjanjikan sebuah kehidupan baru tetapi di sinilah Ia memulai berpuasa  sebelum memulai karyanya di hadapan public.  Dia coba untuk mengalienasi  diri, mengheningkan diri di padang gurun agar dia mengalami kekuatan.  

 

Peristiwa puasa Yesus selama 40 hari 40 malam   juga mengingatkan kita akan pengalaman pengembaraan masa lampau yang dilakukan oleh bangsa pilihan Allah selama 40 tahun.  Mereka mengembara di padang gurun,  banyak suka duka yang mereka alami dan pada akhirnya mereka bisa mencapai tanah Kanaan,  tempat yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham.  Apa yang dilakukan oleh Yesus mengingatkan kita akan pentingnya peristiwa masa lampau dan juga mengingatkan nilai-nilai terdalam dari peristiwa itu bahwa dengan memilih padang gurun kita dibiarkan untuk ditantang dan pada akhirnya kita bisa berusaha untuk mencari jalan keluar, bagaimana cara mempertahankan diri di tengah padang gurun itu.  

 

Padang gurun adalah simbol ruang pergulatan hidup dan Yesus mengingatkan kepada kita bahwa hidup tidak semulus yang kita bayangkan. Kita juga harus mengalami cobaan agar kita membiarkan di dalam cobaan itu dan menyerahkan seluruh cobaan  itu di dalam tuntunan Allah sendiri.  Hanya di dalam tuntunan Allah maka semuanya bisa terlaksana secara baik,  apapun tantangan yang kita alami.  Tantangan bisa  terselesaikan secara baik karena intervensi Allah sendiri.  Hidup dan menjalani kehidupan ini bukan berarti kita membiarkan diri untuk lepas bebas dari sang sumber kehidupan itu sendiri tetapi justru hidup kita menjadi bertahan dan penuh makna di dalam genggaman Allah sendiri.  

 

Titian pencobaan itu bisa dilewati  hanya karena kemurahan hati Allah sendiri. Allah sendiri mencobai kita agar kita tahu seberapa jauh kita bertahan di dalam titik pencobaan itu dan pada akhirnya Allah yang sama menatap kita pada saat kita mencapai titik puncak penyelesaian.  Tindakan Yesus mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penting pada masa lampau yang penuh makna. Pada akhirnya kita yang hidup juga meninggalkan satu sejarah penuh makna dan generasi berikut akan mengenang sejarah yang pernah kita lewati itu. Kita yang menjadi Israel baru karena baptisan juga merawat sejarah yang sama agar iman pengembaraan kita semakin kuat dan tertuju pada Allah,  Sang Pemberi hidup itu sendiri.***(Valery Kopong)  

 

Thursday, September 24, 2020

Siapakah Aku?

 

Setiap orang yang menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja yang dimaksudkan di sini adalah  umat Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?

Dibaptis Untuk Gereja

            Ketika orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus hidup  dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup Gereja maupun di luar Gereja.

            Melihat peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang sudah dibaptis?

            Konsep Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki, artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan tentang Kristus.

            Istilah kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.

            Dalam refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat, sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan menggereja.

 

Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?

            Ketika ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana, yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang dimilikinya.  Sejalan dengan ini, lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.

            Sebagai anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda dalam memainkan peran di Gereja.  Anak-anak bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?

            Bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan doa yang lain.  Sumbangan yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menanamkan benih-benih kebaikan.      

Siapakah Aku Bagi Sesamaku?

            Manusia hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.

            Kisah orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

            Membangun sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain. Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

            Dalam lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat dalam kisah pengorbanan Kristus.***(Valery Kopong)

           

Wednesday, September 23, 2020

Dinding Itu Koyak

 

              Setelah gempa mengguncang, sebuah kapel tua tampak terkoyak dindingnya. Pada dinding di belakang meja altar, ada retakan panjang, persis membelah salib yang sedang tergantung pada dinding kapel itu. Banyak perdebatan muncul saat menatap retakan itu. Seorang dosen ilmu alam menganjurkan supaya dinding itu segera ditambal dengan semen sehingga tidak mengganggu orang yang sedang berdoa. Anjuran ini ditampik oleh dosen filsafat estetika. Ia memandang retakan itu sebagai sesuatu yang estetik, sebuah sentuhan Allah terhadap manusia. Retakan panjang yang menggurat pada tepi salib dilihat sebagai bentuk keterbukaan Allah terhadap manusia. Allah yang transenden, kini hadir dalam pergulatan hidup manusia, imanen.

          Dalam konteks teologi salib, retakan panjang yang terkisah dalam cerita di atas, menunjukkan intervensi Allah dalam keterlibatan hidup manusia. Teologi terlibat seperti yang diupayakan oleh para teolog Indonesia tidak lain adalah teologi salib. Keterlibatan Gereja dalam dimensi kehidupan memilih satu realitas pokok yakni berpihak pada golongan lemah. Leonardo Boff, seorang pegiat theology of Liberation, secara jelas memihak golongan masyarakat yang mengharapkan, masyarakat yang sedang menantikan pembebasan diri mereka dari kekangan kekuasaan.

          Situasi tertekan yang dialami masyarakat lemah, merupakan ancaman serius yang perlu diproteksi. Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez memberi peringatan kepada publik bahwa masyarakat miskin bertanya serius mengenai kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. “Seseorang pernah bertanya pada saya, di masa macam apa kita hidup ini? Aku menjawab, “di masa di mana ada koma, koma, dan koma….seribu koma membentang.”

          Koma adalah tanda yang mengisyaratkan pada publik bahwa sebuah persoalan tak akan pernah selesai. Karena itu dalam menerapkan teologi salib, perlu juga memahami “teologi koma,” sebuah teologi yang berakar dalam permasalahan sosial dan sulit untuk mencari alternatif pemecahannya.

 

 

Yesus Kristus: Teolog Ulung

          Dalam berteologi, kepribadian Kristus menjadi dasar utama yang mendapat perhatian. Dalam Injil Lukas sebagai injil kaum Anawim, menggambarkan secara vulgar keterlibatan Yesus dalam membela kehidupan orang-orang kecil. Pola-pola pewartaan dan pembelaanNya, mencirikan sebuah teologi yang hidup, yang tidak pernah hilang dari gesekan zaman. Keterlibatan Yesus menyatakan bahwa Allah sedang terlibat “sebagai daya liberatif, sebagai Dia yang menyembuhkan dan menyelamatkan seluruh dunia dalam segala dimensi kehidupan.” 

          Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki ruang kemungkinan bagi pertarungan masyarakat dalam strata sosial. Dalam proses pertarungan seperti ini, sebagian besar masyarakat berada pada posisi lemah. Model masyarakat seperti ini sedang menanti “bela rasa” dari mereka yang memiliki power dan wewenang. Jeritan perlawanan sebagai “bahasa pembelaan diri” terkadang dibungkam oleh mesin-mesin penggilas.

 

Melihat Derita          

          Hampir setiap hari keberadaan masyarakat kecil selalu dipermasalahkan. Atas nama keindahan dan kerapihan kota, lapak-lapak mereka yang dijadikan sebagai tempat berjualan digusur tanpa mengenal kompromi.  Inilah wajah-wajah penunggu, yang letih diterpa masalah. Mungkinkah mereka lebih layak memahami teologi salib? Sebuah teologi yang hidup, mengandaikan teologi itu terus beraksi dan teolog sendiri berefleksi terhadap aksi yang telah dilakukan. 

          Refleksi yang bernas, lahir dari pengalaman terutama pengalaman tentang Indonesia yang sedang berada dalam “trilogi derita,” yaitu derita karena musibah di darat, laut dan udara.  Di sini, Gereja mesti terlibat untuk menyuarakan rehabilitasi management dalam pelbagai dimensi kehidupan. Upaya perbaikan ini sebagai bentuk penataan sistem untuk dapat memungkinkan masyarakat bergerak hidup secara leluasa.  Sistem pembalakan liar di hutan misalnya, perlu dijaga ketat supaya tidak terjadi tanah longsor yang dapat mengorbankan masyarakat kecil. Pengontrolan kelayakan kapal laut dan pesawat secara kontinu sehingga dapat meminimalisasi angka kecelakaan. 

          Salib adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Melalui salib, Kristus telah mengajarkan pada kita tentang bagaimana keterlibatan dan pengorbananNya terhadap orang lain. Salib memiliki nilai artistik dan futuristik karena melalui salib manusia bisa belajar tentang nilai lain dibalik derita dan pengalaman pengorbanan Yesus membuka ruang kehidupan pada masa yang akan datang.  Penderitaan manusia tidak lebih dari sebuah retakan panjang, seperti dinding kapel yang terkisah pada awal tulisan di atas. Dalam retakan panjang itu, Allah mau membuka diri, membalut derita manusia dengan “kain pengorbanan Yesus.” Teologi salib dalam konteks zaman ini tidak muncul setelah manusia menderita karena ulah penguasa, tetapi teologi salib berkembang karena keberpihakannya saat sebelum manusia menderita.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Mengambil Bagian Dalam Perutusan Yesus

 Yesus memberi kuasa dan tenaga kepada para muridNya untuk memberitakan Injil,mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit.Di dalam melaksanakan semuanya itu, Yesus berpesan agar tidak membawa bekal.ini artinya bahwa kita hendaknya fokus dalam melaksanakan tugas pewartaaan Kerajaan Allah dan para murid hendaknya ngak perlu kwatir tentang kebutuhan barang duniawi karena semuanya akan tercukupi. 


Sebagai anggota Gereja, di antara kita ada yang terpilih dalam kepengurusan dewan pastoral paroki, wilayah rohani, stasi, kelompok kategorial maupun organisasi kemasyarakatan.Inilah wadah bagi kita untuk ambil bagian dalam tugas pewartaan Kerajaan Allah, mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit. Bulan Kitab Suci Nasional ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mewartakan agar dalam kehidupan kita ini dapat mengatasi krisis identitas diri dan krisis iman dalam semangat cinta kasih.Kita juga diajak untuk memerangi roh roh jahat yang ada di sekitar kita, seperti kebencian, dendam, iri hati, sakit hati. Kita kalahkan mereka dengan kebaikan dan cinta kasih.Kita juga diajak untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit malas  penyakit penyebar gosip/hoax dalam media sosial, penyakit pemecah persatuan anggota Gereja, dan jenis penyakit yang lain. Itulah tugas perutusan kita. Dan itu semua dapat kita laksanakan , kalau kita berpegang teguh pada Yesus, yang mengutus kita.
(Inspirasi:Lukas 9:1-6, 23 September, Suhardi )