Friday, August 1, 2008

ICIS dan Prakarsa Perdamaian

Khamami Zada

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar The International Conference of Islamic Scholars (ICIS), 29 Juli-1 Agustus 2008 di Hotel Borobudur, Jakarta. Tema yang diusung, ”Upholding Islam as Rahmatan li al- ’Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim World.

Dengan hadirnya sejumlah ulama dan intelektual Islam dari Timur Tengah, Asia, Afrika, dan kawasan lain, ICIS berusaha memainkan peran strategis guna mendialogkan konflik yang melanda negara-negara Muslim dan aksi nyata menyelesaikannya.

Negara sumber konflik

Kini, negara-negara Muslim dilanda konflik berkepanjangan. Konflik internal bernuansa politik-ekonomi, agama, dan etnis, sedangkan konflik eksternal melibatkan antarnegara dalam perebutan kekuasaan wilayah, ekonomi, agama, etnis dan politik. Contohnya, konflik agama dan etnik di Sudan, krisis Irak yang mendorong konflik antara Syiah-Kurdi dan Sunni, dan konflik Palestina-Israel.

Meskipun berperan strategis dalam menyelesaikan konflik, negara pula yang sebenarnya menjadi sumber konflik. Kerja sama antarnegara dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel menjadi bukti, konflik tidak bisa sekadar diselesaikan oleh negara. Negara kadang tidak mampu menembus batas psikologis-historis masalah konflik di suatu negara. Sebab, dalam negara itu berkumpul segudang kepentingan ekonomi dan politik.

Negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Suriah, cenderung tidak bersatu dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Apalagi negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Rusia, yang memiliki kepentingan ekonomi (bisnis senjata, peralatan perang, dan lainnya) dan pengaruh politik global. Inilah yang menjadikan persoalan konflik di negara-negara Muslim sulit terselesaikan.

Karena itulah, perlu dilakukan terobosan lain untuk menyelesaikan konflik di negara-negara Muslim. Prakarsa perdamaian tidak hanya dipusatkan pada kekuatan negara, tetapi juga diarahkan pada kekuatan masyarakat secara kultural.

Menurut Max Weber (1978:213-214), meski negara merupakan manifestasi tertinggi otoritas, tetapi otoritas adalah masalah relasi sosial yang bukan hanya melibatkan hubungan politis karena masyarakat di luar negara memiliki mekanisme distribusi otoritasnya sendiri. Jadi, otoritas dalam ruang sosial apa pun diperlukan untuk menjaga tertib sosial. Masyarakat biasanya lebih mendengarkan suara para pemimpin yang secara tradisional memiliki pengaruh.

Di sinilah prakarsa perdamaian amat ditentukan oleh bagaimana persepsi dan sikap pemimpin keagamaan terhadap masalah sosial yang dihadapi karena kekuatan otoritas dan legitimasi yang dimiliki mampu mengorientasikan masyarakat ke arah konflik atau damai.

Pemimpin dan harmoni

Ketegangan, pertentangan, dan sengketa tidak akan mudah menjadi konflik kekerasan sepanjang pemimpin agama mampu mentransformasikannya menjadi kehidupan sosial yang harmoni dan damai (Khamami Zada, dkk, Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial, PP. Lakpesdam NU-EIDHR Komisi Eropa, 2008;21-24).

Dalam konteks inilah ulama dan intelektual Islam berperan penting sekaligus signifikan dalam proses perdamaian. Ulama dan intelektual Islam memiliki otoritas dan legitimasi serta pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, peran ulama dan intelektual Islam bukan sekadar penyelesaian konflik (conflict resolution), tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya konflik (conflict prevention). Inilah yang bisa diperankan oleh ulama dan intelektual Islam dalam proses perdamaian.

Itu sebabnya, ulama NU diundang Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani perpecahan antara Pemerintah Thailand dan Muslim Patani. Dengan pendekatan Islam Melayu, Muslim Patani baru bisa dijembatani dan disusun ulang dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pascapemerintahan Thaksin, perdana menteri Thailand yang baru mengajak Indonesia membantu penyelesaian krisis di Thailand Selatan (Badrus Sholeh dan Abdul Mun’im DZ, Pesantren dan Perdamaian Regional, 2007).

Dengan komitmen ICIS ketiga yang bukan lagi sekadar wacana, konferensi ditindaklanjuti aksi nyata. Artinya, NU tidak ingin bergulat dalam perdebatan diskursif soal konflik, tetapi mulai didorong berbuat, membantu penyelesaian konflik di negara-negara Muslim. Prinsip dalam aksi nyata ke depan adalah dialog, solidaritas, keadilan, kesabaran, forward looking, dan kepemimpinan visioner.

Karena itu, ICIS ketiga diibaratkan sebagai ”rumah besar” yang menaungi ulama sans frontiers, ulama lintas batas negara yang aktif berkontribusi dalam proses perdamaian di negara-negara konflik. Mereka akan menerjemahkan gagasan besar yang tertuang dalam ICIS kepada ulama di negaranya untuk menghimpun aktor-aktor perdamaian.

Dengan demikian, jelas jika peran Islam Indonesia masih dibutuhkan negara-negara Muslim lainnya. NU sebagai representasi Islam Indonesia tampil memimpin negara–negara Muslim untuk memberi kontribusi besar bagi proses perdamaian.

Khamami Zada Panitia ICIS; Manajer Kajian Agama dan Kebudayaan Lakpesdam NU

Jumat, 1 Agustus 2008 | 00:45 WIB

Tuesday, July 22, 2008

Ibu Sumiarsih [60 tahun] bersama anaknya, Sugeng [44 tahun], sudah dieksekusi mati di Surabaya, Sabtu dinihari 19 Juli 2007. Sudah macam-macam upaya yang dilakukan untuk mengubah hukuman mati, tapi gagal. Tinggal 20 tahun di dalam penjara, bertobat, berkelakuan baik, rajin ibadat, sekali-kali tak akan pernah membatalkan hukuman mati.

Ini Indonesia, Bung! Negara yang punya pasal hak asasi manusia di konstitusi, tapi kokoh mempertahankan pidana mati. Maka, Sumiarsih, Sugeng, dan nama-nama lain pun harus meregang nyawa di depan regu tembak.


Mata ganti mata! Gigi ganti gigi! Nyawa ganti nyawa!

Saya terenyuh ketika Bu Sumiarsih dan Sugeng dipertemukan di Rutan Medaeng, Sidoarjo. Sebelumnya Bu Sumiarsih tinggal di Penjara Malang, Sugeng di Penjara Porong, Sidoarjo. Ini isyarat kuat bahwa hari-hari eksekusi segera menjelang. Hampir 20 tahun mereka tak bertemu. Sugeng menggenggam tangan Bu Sumiarsih erat-erat. Begitu pula sebaliknya. Keduanya seakan tak ingin berpisah.

Mari bersiap, mari berdoa! Moga-moga Tuhan kasih tempat terbaik, bertemu di dunia yang lain! Saya tidak tahu apa saja yang dibicarakan Bu Sumiarsih bersama anaknya, Sugeng. Sulit dibayangkan, bertemu sejenak, diawasi tim jaksa dan penjaga penjara, untuk kemudian bersiap di depan regu tembak dua hari kemudian. Ajal memang niscaya. Tapi siapa gerangan yang tak gentar ketika hari-hari hidupnya sudah ditentukan?

Sejumlah jemaat gereja dan rohaniwan menemui Bu Sumiarsih. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya selama 20 tahun, para jemaat tak banyak bicara. Mau omong apa? Hanya rasa yang bicara. Dalam hitungan jam Bu Sumiarsih alias Mbah Sih harus ditembak mati. Harus menebus dosanya gara-gara peristiwa hitam di Dukuh Kupang Barat 13 Agustus 1988.

Oh Tuhan, inikah ajal yang telah Tuhan tentukan? Ataukah, ajal manusia ditentukan jaksa eksekutor? Tiba-tiba Bu Sumiarsih angkat bicara: "Mengapa kalian sedih? Saya tidak sedih kok. Bukankah saya sudah bersama Tuhan Yesus? Kita, orang beriman, tidak boleh takut menghadapi situasi macam apa pun."

Ah, Bu Sumiarsih, kata-katamu seperti dikutip berbagai media di Surabaya sungguh tak pernah saya bayangkan. Ini hanya bisa keluar dari mulut insan yang penuh iman, tawakal, dekat dengan Tuhan. Hidup di penjara selama 20 tahun tampaknya telah menempa Bu Sumiarsih sebagai pengikut Yesus Kristus yang teguh.

"Kami sangat terharu mendengar kata-kata Bu Sumiarsih. Ternyata, bukan kami yang menguatkan Bu Sumiarsih, tetapi justru beliau yang menguatkan kami," berkata beberapa jemaat yang sempat menemui Bu Sumiarsih pada saat-saat terakhir.

Jumat, 18 Juli 2008.

Tengah malam, sekitar pukul 22:00 WIB, Bu Sumiarsih dan Mas Sugeng dibawa keluar dari Rutan Medaeng. Berputar-putar selama satu jam, lalu mampir di lapangan terbuka. Tidak penting di lapangan Mapolda Jatim, lahan di Osowilangun, atau di mana.

Toh, di mana saja acara penembakan dua anak manusia, pada saat bersamaan, harus dilakukan. "Demi hukum. Demi undang-undang. Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa," begitu kira-kira prinsip aparat penegak hukum.

Saya tidak tahu apa yang dikatakan Bu Sumiarsih kepada Tuhan pada detik-detik terakhir. Pula dengan Mas Sugeng. Tapi, mengutip pengacaranya, Pak Tedja Sasmita, Bu Sumiarsih terlihat tenang. Pasrah. "Oh Tuhan, ke dalam tanganmu kuserahkan nyawaku! Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama-Mu!"

Saya membayangkan Bu Sumiarsih menghadapi regu tembak [12 anggota Brimbo Jatim] dengan senyum. Selesai sudah! Umur manusia ternyata begitu pendek. Tak sampai satu menit, begitu perluru bersarang di tubuh fana, roh Bu Sumiarsih pun lepas dari badan. Pula dengan Sugeng. Ibu dan anak ini pun bertemu Sang Khalik!

Di TPU Samaan Malang, sebelum peti jenazah diturunkan, Pendeta Lanny Liem--pembimbing Bu Sumiarsih di penjara selama 20 tahun--menyampaikan kata-kata bijak Bu Sumiarsih kepada sidang jemaat. Lanny berbicara dalam nada yang tegas, layaknya pendeta-pendeta Pentakosta. Berikut kata-kata Bu Sumiarsih:

"Akhir hidup saya ini sudah ditentukan
hari, tanggal dan waktunya
Kepulangan saya bukan sebagai orang jahat,
melainkan sudah takdir dari Tuhan.

Kepada jemaat yang mengikuti pemakaman:
Hidup itu sementara,
kita pasti menghadap Bapa di Surga
Untuk itu, kita harus persiapkan keimanan kita
dan berusaha menebus dosa-dosa
yang pernah kita dilakukan di dunia ini."

Selamat jalan Bu Sumiarsih! Selamat jalan Bu Sumiarsih!


Mengutip kata-kata Rasul Paulus:

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik,
aku telah mencapai garis akhir
dan aku telah memelihara iman."

Lambertus L. Hurek

Thursday, July 10, 2008

Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri

Oleh IGNAS KLEDEN


Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.

Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.

Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.

Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.

Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.

Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.

Mantra

Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi "adalah mengembalikan kata pada mantra". Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.

Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai "Pantun" yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).

Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.

Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.

Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.

Pulau pandan jauh di tengah

di balik pulau angsa dua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang juga


Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:

Cacau landan taktak zizangah

tuta kadu pagara mua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang jua

Atau sebuah pantun lainnya:

Kalau ada sumur di ladang

bolehlah saya menumpang mandi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:

Zuku zangga tukali tangtang

zegeze geze papali podi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.

Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.

Menerobos batas bahasa

Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.

Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.

Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.

Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.

Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.

Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.

Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.

Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.

Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.

hai Kau dengar manteraku

kau dengar kucing memanggilMu

izukalizu

mapakazaba itazatali

tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang

ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu

ku zangga zegezegeze aahh....!

nama nama kalian bebas

carilah tuhan semaumu

Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.

Kode leksikal

Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: "nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu".

Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.

Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.

Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.

Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.

Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:

Ada di atas tiada

tiada di atas ada

ada ada bilang tiada

tiada tiada bilang ada

mau tiada? bilang ada

mau mau bilang tiada

mau ada? bilang tiada

mau mau bilang ada

ya tiada ya ada

ya ada ya tiada

Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:

Rindu di atas benci

benci di atas rindu

rindu rindu bilang benci

benci benci bilang rindu

mau benci? bilang rindu

mau mau bilang benci

mau rindu? bilang benci

mau mau bilang rindu

ya benci ya rindu

ya rindu ya benci

Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama "ping" dan "pong".

Makna baru

Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu "merancap" adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.

Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.

Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:

Siapa menggores di langit biru

siapa meretas di awan lalu

siapa mengkristal di kabut itu

siapa mengertap di bunga layu

Dan ditutup dengan pertanyaan:

siapa tiba-tiba menyibak cadarku

siapa meledak dalam diriku

: siapa Aku

Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua", yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:

Satu kekasihku

aku manusia

rindu rasa

rindu rupa

Di mana Engkau

rupa tiada

suara sayup

hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

engkau ganas

mangsa aku dalam cakarmu

bertukar tangkap dengan lepas

Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:

Kuharap isiNya kudapat remahNya

kulahap hariNya kurasa resahNya

kusangat inginNya kujumpa ogahNya

kumau Dianya kutemu jejakNya.

Daya pukau

Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.

Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:

Tuhanku

dalam termangu

aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<

yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:

I will utter your name, sitting alone among

the shadows of my silent thoughts

I will utter it without words, I will utter it without purpose

Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:

Hold infinity in the palm of your hand

and eternity in an hour

Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:

Siapa dapat meneduh rusuh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membalut luluh

yang padamu yang padaku

siapa dapat turunkan sauh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membasuh lusuh

apa kautahu apa kautahu?

Pelanggaran kategori

Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.

Yang paling mawar

yang paling duri

yang paling sayap

yang paling bumi

yang paling pisau

Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan "yang paling mawar" dan bukan "yang paling harum", "yang paling duri" dan bukannya "yang paling tajam", atau "yang paling sayap" dan bukannya "yang paling bebas"?

Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.

Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:

Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit

siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa

burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal

siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau

tak aku yang paling rindu?

Atau larik-larik lainnya:

Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung

yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang

mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu

Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan "paling", sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.

Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.

Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.

Dekonstruksi bahasa

Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti "sepisau luka sepisau duri" dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan "sepisau" dipelesetkan menjadi "sepisaupa sepisaupi" yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.

Sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya kedalam nyanyi

Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.

Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.

Untuk mengambil sebuah contoh saja:

Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala

nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri

dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau

kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala

guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala

Anu puteri pesonaku!

datang Kau padaku!

Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis "kakekkakek", "bocahbocah", atau "terkekehkekeh". Atau "minumminum", "senyumsenyum", "jingkrakjingkrak" dan "nyanyinyanyi".

Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.

Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.

Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat "senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi" tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat "cuka dalam nadi luka dalam diri".

IGNAS KLEDEN Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004

* (Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan).



Means and End in Democracy

By Ignas Kleden

The conception of democracy as a political theory turns out to be understood in accord with the circumstances in which it is applied. There is a strong tendency in which politicians at least and the people in general are inclined to treat democracy not as a guideline with which to develop politics, economy and socio-cultural life, but rather as a notion, whose content is dependent upon political and economic conditions.

For many industrialized countries in North America, in Western Europe as well as in Eastern part of Asia democracy is perceived as a goal in itself, in which human rights, freedom of expression, right to organize political opposition and equality before the law are insured by the state law and political consensus. This is quite easy to understand since welfare as another goal democracy is to deliver has been there.

However, in countries where so many people still live below the poverty line while unemployment is still lingering at every corner of big cities and political stability is still so precarious owing to unbridled power game among political parties, one is very much tempted to speak of democracy merely as a means, a process, or a way for that matter, but not as a goal or an end in itself, whereby political stability and welfare are seen as the real goals of national politics. A recent statement of the chairman of Golkar’s Advisory Board, Surya Paloh, can be taken as a good case in point.

During a political get-together of Golkar and PDI-P (Indonesian Democratic Party of Struggle) that took place in Medan on 20 June, he said “Democracy is not a goal but only a means to achieve people’s welfare. If there is no welfare, democracy is of no avail” (Kompas, June 21, 2007). One can be easily reminded of the doctrinal tenor of the New Order regime. In those days political stability and economic development became everything at stake. Many basic democratic rights were revoked, or truncated: right to political opposition (on behalf of cultural differences), right to organize political parties (that were reduced to only three), while freedom of expression was put under direct control of the government (through Ministry of Information as its apparatus), this being done under the pretext of national responsibility, whereby responsibility was understood according to Soeharto’s definition of securing political stability and economic growth.

The 1998 political reform seems to have debunked all this belief and make-believe by making it explicitly clear that democracy is a means, but it is definitely an end as well. This principle can never be overstated. To believe that democracy is only a means is to imply that all universal values of democracy such as equality, freedom, right to political participation and political expression, can be suspended if social welfare is still to be pursued. The danger of such a belief is very clear: one can never establish the extent to which economic wealth and social welfare have sufficiently materialized in to order to be able to allow for all democratic rights to be implemented.

Besides that, Indonesia has had a good lesson learned from the New Order time that economic wealth and social welfare are two different and, in many cases, different things. In order for economic wealth to bring social welfare one needs to push for active political participation in democratic way, so that social inequality (that seems to be inevitable) does not give way to social injustice (that can be forestalled). To take for granted that sustainable economic growth will bring about democracy and social justice on a certain stage of economic growth thanks to trickle-down or spill-over effects, is to revive the day dream of developmentalism theorists that has never come true in the whole Indonesian political history.

To assume that social welfare and economic wealth are the only and ultimate goal of doing politics has an obvious risk. If it takes too much time to achieve wealth and welfare through democratic way, one will easily feel justified to go an authoritarian way. However, once one embarks upon an authoritarian politics, it is almost impossible to set the limits where the power-that-be would change his or her authoritarian politics back to democracy.

Our proposition is therefore, democracy is a means and an end at the same time. Both should have democratic character. This implies, one should never aim at democratic goals (e.g. social welfare) by using anti-democratic means (e.g. authoritarian governance) and one should also never use democratic procedures (e.g. legislation) to aim at anti-democratic goals (e.g. authoritarian or theocratic governance).

Sources: The Jakarta Post 26 June 2006, Headlines page 3.
Ignas Kleden , Sosiolog , Leader Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.



Krisis dan radikalisme pelipur lar

Oleh Ignas Kleden


SETIAP krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula. Kecenderungan ini mendapatkan padanannya dalam pemikiran yang menarik kesimpulan secara cepat dan mudah, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah kesimpulan tersebut didukung oleh premis-premis yang memadai ataukah lebih merupakan suatu jumping conclusion dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.

Secara teoretis, generalisasi acap kali bertukar-jalan dengan radikalisme dalam gerakan politik. Kecenderungan ke arah generalisasi itu terdapat dalam hasrat yang menggebu-gebu untuk mencari akar semua persoalan yang ada di Indonesia sekarang, sementara usaha-usaha perbaikan setiap hari dianggap tidak memadai lagi. Kata "akar" dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan radix dalam bahasa Latin. Jadi, usaha politis dan intelektual untuk menemukan akar persoalan bolehlah dinamakan radikalisme.

Pertanyaannya: apakah radikalisme seperti ini berguna dan diperlukan. Ada berbagai bahan yang dapat dikutip dari studi-studi sosiologi tentang manfaat dan mudarat radikalisme ini. Dalam kalangan Marxis ortodoks, masalah kelas sosial dianggap akar persoalan. Selama borjuasi berkuasa, keadaan tidak banyak berubah karena hubungan produksi antara proletariat dan borjuasi akan tetap mempengaruhi tingkahlaku politik dan kebudayaan, sehingga perbaikan apa pun yang dilakukan, tanpa perubahan hubungan produksi tersebut, lebih merupakan tambal sulam yang memberikan kosmetik yang berbeda tetapi tidak menyentuh struktur dasar dalam masyarakat.

Persoalan ini dalam Marxisme mula-mula cukup meyakinkan, karena salah satu kesulitan teoretis didiamkan untuk waktu lama dan mungkin baru pada tahun-tahun akhir ini mulai dikutak-katik di kalangan neo-Marxis. Yang jadi pertanyaan, kalau dialektika adalah kekuatan tunggal yang menggerakkan sejarah, apa pasalnya bahwa dialektika itu hanya boleh diberlakukan di antara kelas (interclass-relation dialectic), yaitu antara borjuasi dan proletariat, dan tidak diberlakukan di dalam satu kelas yang sama (intraclass-relation dialectic)? Mengapa dalam kalangan borjuasi atau proletariat sendiri dialektika itu tiba-tiba tak berfungsi lagi? Jawabannya, barangkali, karena dalam kelas yang sama tidak ada pertentangan yang diakibatkan oleh hubungan produksi yang eksploitatif. Tetapi jawaban ini lebih tautologis sifatnya. Masih dapat dipersoalkan, mengapa dalam borjuasi sendiri tidak terdapat perbedaan dalam hubungan produksi, misalnya di antara mereka yang bermodal sangat besar dan mereka yang modalnya sedang.

Tanpa mau memasuki debat ini secara akademis, tulisan ini ingin menunjukkan satu hal, bahwa pemikiran yang didorong oleh radikalisme cenderung mendarat pada generalisasi, yang enak untuk diterima, tetapi penuh dengan kesulitan teoretis. Demikian pun dalam praktek, generalisasi itu menimbulkan berbagai kontradiksi yang harus didiamkan dengan bantuan propaganda dan represi politik, atau diikhtiarkan untuk diterima melalui Verschleirungsstrategie, yaitu pengelabuan kemampuan refleksi, sehingga orang tidak menyadari lagi adanya kontradiksi tersebut.

Godaan yang sama mulai timbul dewasa ini di tanah air kita. Muncul berbagai ketidakpuasan terhadap usaha politik untuk mengatasi krisis, dan kemudian dicoba dicari akar persoalan, dengan anggapan bahwa begitu krisis ini ditangani pada akarnya, banyak masalah lain akan selesai dengan sendirinya. Asumsi ini sangat berbahaya. Pemikiran ini merupakan jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis. Seorang dokter memang tidak segera memberikan obat sakit kepala kepada seorang penderita migren. Lebih dahulu ia memeriksa apakah migren itu merupakan akibat sampingan dari suatu sakit lain, sehingga kalau akar ini ditangani, migren itu akan hilang.

Pemikiran ini tidak selalu dapat diterapkan dalam masalah sosial karena beberapa alasan. Pertama, hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial amat longgar. Kausalitas dalam gejala fisik dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara faktor A sebagai sebab dan gejala B sebagai akibatnya. Dalam bidang sosial, sebaliknya, gejala B dapat muncul dari lima sebab yang berbeda, sedangkan satu faktor A sebagai sebab dapat menimbulkan lima akibat yang berbeda dan bahkan bertentangan. Syarat ceteris paribus tidak ada dalam bidang sosial. Dalam arti itu, hormat yang tinggi kepada status sosial, yang di Indonesia dianggap menghalangi produktivitas kerja dan efektivitas pemerintahan, di Jepang justru mendukung produktivitas kerja secara luar biasa. Demikian pula, hormat kepada harmoni dalam kebudayaan memang menolong terciptanya toleransi dan perdamaian dalam komunitas-komunitas tradisional. Tetapi, dalam pemerintahan Presiden Soeharto, ia telah menyebabkan lahirnya kekerasan politik yang mendekati kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Kedua, dalam prakteknya, radikalisme mudah mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat menjadi akar di Ambon, dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal, bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan satu serangan kepada akar masalah.

Ketiga, mencari akar persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".

Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang?

Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan Ambon tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran fungsionalisme ini sangat kuat ditunjang oleh pemikiran mekanistis dalam ilmu-ilmu sosial, seakan-akan kalau starter mobil dinyalakan, mesinnya akan hidup, dan kalau gigi dimasukkan dan gas diinjak, mobil akan bergerak. Yang dilupakan ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat.

Baik fungsionalisme maupun mekanisme dalam pemikiran sosial dan politik menafikan satu hal, yaitu bahwa keputusan politik apa pun yang diambil, akibatnya selalu harus diperiksa kembali. Tidak ada jaminan penuh bahwa keputusan itu berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini memang amat meletihkan, tetapi inilah risiko kebebasan manusia. Dalam hal itu, demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi pilihan terbaik karena dia memang tidak dapat meniadakan kelemahan manusia dan keteledoran masyarakat, tetapi memberi kemungkinan bahwa kelemahan itu dapat diperbaiki oleh kontrol terus-menerus, dan keteledoran dapat dikurangi dengan peringatan terus-menerus. Radikalisme hanyalah pelipur lara yang lahir dari harapan akan penyelesaian yang cepat dan gampang, akibat anggapan keliru bahwa seakan-akan masyarakat adalah mesin yang bisa disetel, dan politik setali tiga uang dengan budidaya tanaman.

*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta

Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 14-20 Agustus 2000



Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia

Oleh Ignas Kleden

Pada 31 Oktober 2006 Clifford Geertz meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menurut pengakuannya sendiri, dari usia yang panjang itu 10 tahun lebih dihabiskannya dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.

Geertz belajar antropologi di Universitas Harvard, pada Department of Social Relations, yang didirikan oleh Clyde Kluckhon, bersama beberapa tokoh lainnya, menulis disertasinya di bawah bimbingan Cora DuBois, berdasarkan penelitiannya di Jawa pada tahun 1952, dan menyelesaikan S-3 pada 1956 dengan disertasi yang terbit belakangan sebagai buku berjudul The Religion of Java.

Menerobos Nederlandosentrisme

Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia karena penelitian yang dilakukan di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Pokok kajiannya meliputi agama Jawa, politik aliran (abangan, santri, priyayi), watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, pengelompokan politik tanpa basis kelas, perbandingan Islam Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope of religion dan the force of religion), perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan di Bali (antara individualisme pasar dan rasionalitas ekonomi tanpa kemampuan organisasi ekonomi di satu pihak, berhadapan dengan kemampuan organisasi ekonomi tanpa individualisme pasar dan tanpa rasionalitas ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskannya sebagai theater state, apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali, serta praktik pertanian Jawa yang semenjak tanam paksa tidak berhasil mengalami evolusi menjadi pertanian kapitalis, tetapi mengalami involusi yang menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah banyak dan karena itu tidak memungkinkan investasi baru.

Perlu segera ditambahkan bahwa bukan saja hasil penelitian itu saja yang membuatnya penting di Indonesia, tetapi juga kenyataan bahwa dia termasuk kelompok pertama sarjana ilmu sosial Amerika yang, sengaja atau tidak, telah membuat studi Indonesia tidak hanya terpusat di Leiden dengan menjadikan Indonesia pokok kajian yang penting dalam dunia akademis di Amerika Serikat. Nederlandosentrisme dalam studi Indonesia mulai diterobos dan muncul diversifikasi yang kemudian menyebar ke Australia, Jerman, Rusia, Jepang dan tempat-tempat lain. Dunia mendapat beberapa perspektif yang berbeda tentang bagaimana Indonesia dilihat dari luar dan dari dalam.

Pemberontakan ilmiah

Dalam tradisi antropologi sendiri, latar belakang pendidikannya di Universitas Harvard rupanya banyak mewarnai pemikirannya di kemudian hari. Jalan yang ditempuh Geertz dalam penelitiannya, buat sebagian, merupakan pemberontakan ilmiah terhadap apa yang menjadi mainstream dalam studi antropologi di tempatnya belajar pada waktu itu. Tradisi antropologi itu dibangun oleh nama-nama besar seperti Kroeber, Kluckhohn, Ruth Benedict, Robert Redfield, Franz Boas, Ralph Linton, Bronislaw Malinowski, Edward Sapir, dan Margaret Mead.

Geertz merasa bahwa tradisi itu di bangun di atas suatu keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu diusahakan agar antropologi menjadi disiplin dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Ide tentang kebudayaan lalu diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya-penjelas yang bersifat all-embracing atau semacam all-seasons explanation tentang apa saja yang hendak diusahakan manusia untuk dilakukan, dibayangkan, dikatakan atau dipercayainya.

Geertz yang muncul sebagai seorang Dilthey Amerika rupanya tidak puas dengan tendensi tersebut dan merasa harus mengambil jalan sebaliknya, atau jalan menyimpang. Tidak bisa dikatakan begitu saja bahwa orang Jerman pada dasarnya otoriter, orang Rusia suka kekerasan, orang Amerika praktis dan optimistis, dan orang Jepang dikendalikan oleh rasa malu (dan bukannya rasa salah). Antropologi tidak bekerja dengan agregat-agregat besar. Kebudayaan harus ditulis dengan huruf yang lebih kecil dan dilihat sebagai suatu perkara yang kurang ekspansionis. Untuk mengutip kata-kata Geertz yang khas: ....nampaknya masih tetap mendesak menjadikan kebudayaan suatu pengertian yang lebih terbatas, dengan penerapan yang lebih terbatas, makna yang terbatas, dan suatu pemakaian yang lebih dispesifikasikan sekurang-kurangnya suatu pokok yang agak lebih terfokus dari suatu ilmu yang agak lebih terfokus.

Ketika datang ke Jawa pada tahun 1952, Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelum itu yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau permukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Modjokuto dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik.

Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang, suatu definisi yang oleh Geertz dianggap lapidar tetapi tidak realistis.

Merelatifkan

Inilah sebabnya mengapa sulit sekali memasukkan Geertz dan pendekatannya ke dalam suatu kubu tertentu (suatu kecenderungan yang sering ditertawakannya sebagai pigeonhole disease). Tulisannya tidaklah mengokohkan suatu pendekatan, tetapi lebih merelatifkan banyak keyakinan ilmiah sebelumnya. Bukunya Interpretation of Cultures memberi sisi lain dan kontras terhadap buku kedua gurunya, Kroeber dan Kluckhohn, berjudul Culture yang menghimpun 171 definisi kebudayaan.

Kebudayaan selalu mengandung sesuatu yang menghindar dari apa yang dipastikan dalam definisi, dan karena itu hanya dapat ditafsirkan dan ditafsikan kembali. Bukunya Local Knowledge mulai mempersoalkan kedudukan ilmiah ilmu antropologi dalam suatu suasana akademis yang mengalami pemburaman ragam (blurred genres) tatkala sangat sulit menyebut Foucault seorang filosof, seorang sejarawan atau seorang sosiolog.

Bukunya Works and Lives: The Anthropologist as Author mengajukan tesis yang diterima dengan sukacita dalam kalangan literary criticism tetapi menimbulkan kejengkelan di kalangan antropolog profesional, yaitu bahwa teks etnografi tak berbeda dari sebuah teks literer dan dapat dikritik atas cara itu. Bukunya After The Fact adalah semacam meta refleksi bahwa bukan saja kebudayaan sebuah suku di Papua yang layak menjadi bahan etnografi, tetapi praktik para antropolog sendiri patut menjadi bahan penulisan etnografi. Dibutuhkan suatu etnografi tentang etnografi. Sedangkan bukunya Available Light berisikan refleksi seorang antropolog tentang berbagai isu filsafat dan apa yang dapat dipelajarinya dari sana. Sistem-sistem filsafat telah melicinkan banyak kawasan, tetapi jalan yang licin membuat orang mudah tergelincir. Seorang antropolog harus berjalan, dan karena sebaiknya memilih back to the rough ground, karena gesekan dengan kerikil dan pasir jalanan adalah jaminan bahwa seorang tetap berjalan tegap.

Dalam sebuah esainya yang banyak dipolemikkan, dia menulis pekerjaan sebaik-baiknya bagi seorang sarjana adalah menghancurkan ketakutan. Geertz pastilah bukan arsitek yang membangun gedung-gedung pengetahuan yang megah. Dia lebih mirip ikonoklast yang menghancurkan demikian banyak patung berhala dalam ilmu pengetahuan, dalam studi kebudayaan, dan, barangkali, dalam dirinya sendiri dan dalam diri pembacanya.

Ignas Kleden Sosiolog, Pengajar Teori Sosial dan Teori Sosiologi pada Program Pascasarjana FISIP UI



Pemimpin panutan atau pemimpin देमोक्रतिस?


(Ignas Kleden)

Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar. Dalam istilah antropolog Clifford Geertz dia diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan.
Jarang kita menyadari bahwa memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan. Dengan pengandaian semacam itu muncul ketidak-adilan yang secara tidak disadari diperlakukan pada diri sang panutan. Ini artinya, kalau sang panutan bertingkahlaku baik dan benar, maka hal itu diterima sebagai kenyataan yang serba biasa, sesuatu yang semata-mata given, seakan-akan keteladanan moralnya bukanlah hasil perjuangan pribadinya dalam mencapai nilai-nilai yang lebih luhur. Sebaliknya, kalau dia melakukan suatu kesalahan (dan mungkin kesalahan yang kecil saja) maka segera saja dia dianggap mengecewakan harapan banyak orang, menimbulkan frustrasi dan amarah pada para pengikutnya, yang menganggap dia tidak memenuhi suatu standar yang telah mereka terapkan pada dirinya. Dia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa yang kadangkala tak berhasil mengatasi kelemahannya sendiri.

Paham tentang pemimpin panutan sangat mungkin berasal dari masa aristokrasi, tatkala hubungan patron-klien merupakan pola utama yang mengatur hubungan sosial. Gampangnya, mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi juga model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan. Ungkapan bahasa Prancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang percaya bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup.

Paham ini diubah secara radikal dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide utama tentang persamaan setiap orang. Aspek persamaan yang sering ditekankan dalam diskusi politik adalah persamaan di depan hukum, yaitu ketetapan bahwa tiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam kondisi yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, sekali pun mereka berasal dari status sosial yang berbeda.

Namun demikian, secara implisit, demokrasi mengandaikan adanya semacam persamaan dalam moralitas di antara semua orang, tetapi dalam formula negatif. Berarti, demokrasi tidak mengandaikan bahwa semua orang mempunyai kebajikan yang sama, tetapi orang-orang dengan kebajikan yang berbeda-beda itu, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya kalau mereka mempunyai kekuasaan di tangannya. Asas noblesse oblige diganti oleh prinsip power tends to corrupt, yaitu bahwa kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap kekuasaan. Ini jelas dari kenyataan sederhana bahwa kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri, dan kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya. Dalam aristokrasi diandaikan bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa kewajiban dan kebajikan yang lebih tinggi. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat.

Karena itu dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa seorang pemimpin politik haruslah seorang panutan (sebagaimana berlaku dalam kehidupan agama misalnya). Mereka yang berada dalam kabinet, DPR, birokrasi pemerintahan, dan bahkan kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri --- untuk memakai istilah sosiologi Max Weber --- bukanlah moral virtuosi, yaitu orang-orang yang dikarunia kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalah-gunakan. Rakyat biasa tidak mengalami kerentanan tersebut, karena mereka tidak memiliki kekuasaan.

Inilah sebabnya, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cela atau bebas dari segala cacat. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik pengawasan melalui hukum yang berlaku, mau pun kontrol sosial oleh para warga. Pemimpin yang baik harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai moral courage untuk mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut. Jalan ini jauh lebih menguntungkannya secara politik daripada kalau dia berkelit dengan berbagai dalih bahwa dia tak melakukan kesalahan apa pun.

Terhadap godaan penyelewengan kekuasaan, kita tidak mengharapkan bahwa seorang pemimpin akan demikian teguh hatinya dan demikian saleh jiwanya sehingga sanggup mengatasi godaan penyelewengan dengan kekuatannnya sendiri. Demokrasi mengandaikan bahwa seorang pemimpin menjadi baik dan benar karena dia terhindar dari penyelewengan berkat pengawasan, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Di sini pemimpin menjadi baik dan berhasil bukan karena keunggulan pribadinya, tetapi karena dia dikekang dari praktek penyelewengan oleh pengawasan rakyatnya, meski pun dia sendiri ingin dan sangat tergoda untuk menyelewengkannya. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik, dan dia tidak usaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat demi kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (dan bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (dan bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyatnya (dan bukan untuk dirinya atau kelompok yang kebetulan dekat dengan dirinya).

Sumber: Artikel ini telah diterbitkan di SKH Kompas, 6 Juni 2006, rubrik Opini hlm. 7.
Penulis: Ignas Kleden adalah sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi