Friday, August 1, 2008

ICIS dan Prakarsa Perdamaian

Khamami Zada

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar The International Conference of Islamic Scholars (ICIS), 29 Juli-1 Agustus 2008 di Hotel Borobudur, Jakarta. Tema yang diusung, ”Upholding Islam as Rahmatan li al- ’Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim World.

Dengan hadirnya sejumlah ulama dan intelektual Islam dari Timur Tengah, Asia, Afrika, dan kawasan lain, ICIS berusaha memainkan peran strategis guna mendialogkan konflik yang melanda negara-negara Muslim dan aksi nyata menyelesaikannya.

Negara sumber konflik

Kini, negara-negara Muslim dilanda konflik berkepanjangan. Konflik internal bernuansa politik-ekonomi, agama, dan etnis, sedangkan konflik eksternal melibatkan antarnegara dalam perebutan kekuasaan wilayah, ekonomi, agama, etnis dan politik. Contohnya, konflik agama dan etnik di Sudan, krisis Irak yang mendorong konflik antara Syiah-Kurdi dan Sunni, dan konflik Palestina-Israel.

Meskipun berperan strategis dalam menyelesaikan konflik, negara pula yang sebenarnya menjadi sumber konflik. Kerja sama antarnegara dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel menjadi bukti, konflik tidak bisa sekadar diselesaikan oleh negara. Negara kadang tidak mampu menembus batas psikologis-historis masalah konflik di suatu negara. Sebab, dalam negara itu berkumpul segudang kepentingan ekonomi dan politik.

Negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Suriah, cenderung tidak bersatu dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Apalagi negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Rusia, yang memiliki kepentingan ekonomi (bisnis senjata, peralatan perang, dan lainnya) dan pengaruh politik global. Inilah yang menjadikan persoalan konflik di negara-negara Muslim sulit terselesaikan.

Karena itulah, perlu dilakukan terobosan lain untuk menyelesaikan konflik di negara-negara Muslim. Prakarsa perdamaian tidak hanya dipusatkan pada kekuatan negara, tetapi juga diarahkan pada kekuatan masyarakat secara kultural.

Menurut Max Weber (1978:213-214), meski negara merupakan manifestasi tertinggi otoritas, tetapi otoritas adalah masalah relasi sosial yang bukan hanya melibatkan hubungan politis karena masyarakat di luar negara memiliki mekanisme distribusi otoritasnya sendiri. Jadi, otoritas dalam ruang sosial apa pun diperlukan untuk menjaga tertib sosial. Masyarakat biasanya lebih mendengarkan suara para pemimpin yang secara tradisional memiliki pengaruh.

Di sinilah prakarsa perdamaian amat ditentukan oleh bagaimana persepsi dan sikap pemimpin keagamaan terhadap masalah sosial yang dihadapi karena kekuatan otoritas dan legitimasi yang dimiliki mampu mengorientasikan masyarakat ke arah konflik atau damai.

Pemimpin dan harmoni

Ketegangan, pertentangan, dan sengketa tidak akan mudah menjadi konflik kekerasan sepanjang pemimpin agama mampu mentransformasikannya menjadi kehidupan sosial yang harmoni dan damai (Khamami Zada, dkk, Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial, PP. Lakpesdam NU-EIDHR Komisi Eropa, 2008;21-24).

Dalam konteks inilah ulama dan intelektual Islam berperan penting sekaligus signifikan dalam proses perdamaian. Ulama dan intelektual Islam memiliki otoritas dan legitimasi serta pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, peran ulama dan intelektual Islam bukan sekadar penyelesaian konflik (conflict resolution), tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya konflik (conflict prevention). Inilah yang bisa diperankan oleh ulama dan intelektual Islam dalam proses perdamaian.

Itu sebabnya, ulama NU diundang Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani perpecahan antara Pemerintah Thailand dan Muslim Patani. Dengan pendekatan Islam Melayu, Muslim Patani baru bisa dijembatani dan disusun ulang dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pascapemerintahan Thaksin, perdana menteri Thailand yang baru mengajak Indonesia membantu penyelesaian krisis di Thailand Selatan (Badrus Sholeh dan Abdul Mun’im DZ, Pesantren dan Perdamaian Regional, 2007).

Dengan komitmen ICIS ketiga yang bukan lagi sekadar wacana, konferensi ditindaklanjuti aksi nyata. Artinya, NU tidak ingin bergulat dalam perdebatan diskursif soal konflik, tetapi mulai didorong berbuat, membantu penyelesaian konflik di negara-negara Muslim. Prinsip dalam aksi nyata ke depan adalah dialog, solidaritas, keadilan, kesabaran, forward looking, dan kepemimpinan visioner.

Karena itu, ICIS ketiga diibaratkan sebagai ”rumah besar” yang menaungi ulama sans frontiers, ulama lintas batas negara yang aktif berkontribusi dalam proses perdamaian di negara-negara konflik. Mereka akan menerjemahkan gagasan besar yang tertuang dalam ICIS kepada ulama di negaranya untuk menghimpun aktor-aktor perdamaian.

Dengan demikian, jelas jika peran Islam Indonesia masih dibutuhkan negara-negara Muslim lainnya. NU sebagai representasi Islam Indonesia tampil memimpin negara–negara Muslim untuk memberi kontribusi besar bagi proses perdamaian.

Khamami Zada Panitia ICIS; Manajer Kajian Agama dan Kebudayaan Lakpesdam NU

Jumat, 1 Agustus 2008 | 00:45 WIB

0 komentar: