Thursday, September 4, 2008

TAHANAN

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap

**
Di sini tak ada “aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu

**
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku…

Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa?

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi.

Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja.

Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:

Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti….
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang, sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain.

Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”

Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-habisnya.

api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 - 24 Agustus 2008~

BINTANG

Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak.

Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita se­akan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”

Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesua­tu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge­rakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re­publik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.

Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.

Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidak­adilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?

Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledak­kan bom, menebar takut dan maut, seperti Al-­Qa­­i­dah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan se­suatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasa­an, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.

Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita meng­ubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menja­lankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah ­kemasan. Partai jadi komoditas, lengkap dengan kha­yalan yang muncul: seakan­-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.

Kini kita punya media massa yang mempermudah pa­rodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luas­nya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gam­pang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhar­ta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus.

Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”

Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 - 31 Agustus 2008~

Perang

September 1, 2008


Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”

”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.

Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.

Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.

Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.

Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.

Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.

”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.

Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.

Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 - 07 September 2008~

Pesta kacang [bean festival] di Ile Ape

20 August 2008


Kak, kame mete pesta kacang.
Pia mete OHA.
Bupati nong hang di ega.


Pesan pendek alias short message service [SMS] ini saya terima dari Kristofora, adik kandung saya, di pelosok Lembata, Flores Timur, Senin 18 Agustus 2008, malam. Dia mengabarkan bahwa di kampung [Mawa dan Bungamuda, Kecamatan Ile Ape] sedang berlangsung PESTA KACANG. Bupati Andreas Duli Manuk dan istri, Margareta Hurek, hadir. Warga sedang ramai-ramai OHA.

OHA nama tarian tradisional di daerah-daerah etnis Lamaholot: Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan. Meskipun ada variasi di sana-sini, pada dasarnya OHA sama saja. Warga berpegangan tangan, bikin lingkaran, kemudian menari. Selang-seling laki-laki perempuan lebih bagus.

Tarian massal macam ini tidak membutuhkan kemampuan khusus macam tari-tarian di Jawa. Siapa saja bisa. Gerakannya sangat sederhana. Hanya saja, perlu beberapa penyanyi tradisional yang bernyanyi solo. Dia menguasai sastra Lamaholot--koda kiring, tutu nuan--sehingga syairnya muncul spontan. Bisa memuji, menyindir, bahkan mengkritik siapa saja, termasuk pejabat.

OHA sangat dinamis. Mula-mula solis menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Istilah musik klasiknya: poco a poco allegretto. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang yang bikin lingkaran membuat gerakan kaki secara rritmis. Bisa dibayangkan 50-80 orang mendentumkan kaki bersama-sama. Di sinilah letak keindahan OHA. Tarian yang berusia ratusan tahun ini senantiasa menarik perhatian orang baik yang hanya sekadar menonton, apalagi melakukannya.

Saking populernya, setiap ada pesta pernikahan, pesta kampung, atau apa saja, OHA selalu digelar. Dulu, orang rela jalan kaki cukup jauh ke kampung-kampung lain hanya untuk bisa OHA bersama-sama. Mana bisa OHA ditarikan sendiri, bukan? Apalagi, di sela-sela tarian orang bisa makan minum dengan lahap.

Dulu, mungkin juga sampai sekarang, OHA dilakukan dari malam sampai matahari terbit. Siangnya istirahat, kerja di kebun, malamnya OHA lagi, dan seterusnya. OHA memang bisa membuat orang Lamaholot kecanduan. Lebih-lebih kalau solis bisa membawakan ORENG [semacam nyanyian tunggal] dengan suara merdu dengan pesan mendalam.

Tarian sejenis OHA adalah HAMANG. Baik OHA maupun HAMANG dilakukan di NAMANG alias tanah lapang. Karena itu, semua kampung harus punya NAMANG. Lebih baik lagi kalau punya lapangan sepak bola. Berbeda dengan OHA yang dinamis, mencapai puncak dengan gerakan yang lincah-bersemangat, HAMANG relatif tenang dan lambat. Lebih reflektif.

Lagu-lagu yang dibawakan secara spontan sarat dengan hikmah kebijaksanaan, kritik sosial, sindiran, hingga doa-doa kepada Sang Pencipta. Tapi HAMANG bisa dengan lekas diubah menjadi OHA kalau situasinya menuntut demikian. HAMANG pun lazim dimainkan semalam suntuk.

Kembali ke PESTA KACANG.

Bagi kami di kampung, pesta kacang ini sangat penting maknanya secara kultural maupun religius. Lazim digelar tiap bulan Agustus, seperti sekarang, pesta kacang merupakan momentum untuk menengok kampung lama [lewo nolungen, lewo ulun]. Berada di kampung lama ibarat kembali ke akar kami sebagai lewo alawen, orang Lamaholot. Di sinilah aneka ritual adat Lamaholot [versi Mawa/Nobolekan] digelar secara relatif sempurna.

Kenapa disebut kampung lama? Ceritanya, hingga awal 1970-an penduduk Ile Ape yang berada di kawasan pesisir utara tinggal di kaki Ile Ape alias Gunung Api. Ata kiwan. Sekitar 5-7 kilometer dari pantai. Rumah di kampung lama sangat sederhana. Namanya ORING atau pondok. Tak pakai dinding. Setiap suku atau fam punya gugus rumah sendiri-sendiri. Rumah ini sangat sentral dalam momentum pesta kacang.

Pengaruh modernisasi, perjumpaan dengan dunia luar, kedatangan misionaris Katolik, era Orde Baru... membuat nenek moyang kami perlahan-lahan eksodus ke bawah [pantai]. Pondok-pondok, berikut berbagai perlengkapan adat, termasuk logam-logam peninggalan zaman dulu, ditinggalkan. Kampung lama pun menjadi arena kosong. Hanya ada beberapa orang yang mampir kalau kebetulan lewat.

Kampung lama, bagi anak-anak era 1980-an macam saya, ibarat sesuatu yang angker. Wingit, kata orang Jawa. Punya nilai mistis sangat tinggi. TULA GUDUNG atau upacara-upacara adat sangat khas. Juga ada banyak larangan, misalnya, tidak boleh mengambil sedikit pun salah satu bagian dari atap pondok dari daun kelapa atau alang-alang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.

Suku Hurek Making seperti saya ada tambahan pemali: Tidak boleh makan daging anjing! Kenapa? Ada legendanya sendiri. Kalau makan daging anjing, kata nenek moyang, bisa terkena penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Harus bikin upacara di rumah adat di kampung lama dan melakukan macam-macam ritual. Tapi, anehnya, banyak famili kami, fam Hurek, di luar Nusa Tenggara Timur yang makan daging anjing.

"Itu kan makanan, ciptaan Tuhan. Saya ikut Alkitab saja deh," kata Cornelis Hurek, paman saya di Malang. Pak Cornelis ini malah pernah beternak anjing. Orang-orang Lembata di Malang dan sekitarnya sering mampir di rumahnya, Kota Lama Gang Buntu 66 Malang, hanya untuk... makan RW. Tahu kan RW? Hehehehe....

Sebelum 1990, pesta kacang berlangsung biasa-biasa saja. Hanya ritual tahunan khusus untuk penduduk di kampung kami, khususnya Mawa dan Nobolekan. Pada era pembentukan 'desa gaya baru' di pesisir pantai, Mawa menjadi Desa Napasabok, sedangkan Nobolekan bergabung dengan Desa Bungamuda. Tapi dulu di kampung lama orang Mawa [Napasabok] dan Nobolekan ini satu kampung alias satu darah. Maka, logat Mawa dan Nobolekan sama saja. Beda dengan logat Atawatung atau Lamawara atau Lewotolok, desa tetangga.

Pesta kacang biasanya berlangsung lebih dari satu minggu. Diawali dengan membersihkan dan memperbaiki rumah adat suku masing-masing. RIE WANAN [tiang kanan] diperciki darah ayam oleh kepala suku. Halaman dan semua bagian penting di kampung lama dibersihkan. Para perempuan mengambil air dari sumur yang ada di bawah [pantai].

Ibu-ibu sibuk memasak. Para bapak yang pintar memancing atau menjala ikan ke pantai. Semua keluarga urunan lauk-pauk, gotong-royong luar biasa. Saya biasanya bantu menganyam ketupat. Ini makanan pokok pesta kacang. Simpanan kacang panjang [merah] di LEPO, wadah anyaman dari daun lontar, dikeluarkan. Kacang ini nantinya dicampur dengan jagung, dibuatlah ketupat. Komposisi kacangnya cukup besar.

Dari sinilah muncul istilah PESTA KACANG. Yah, kacang panjang dan kacang hijau memang makanan penting di Ile Ape. Ibu-ibu tidak pernah memasak nasi jagung 100% atau beras 100%, tapi mencampurnya dengan kacang sebagai NALINGEN. Tentu kacang direbus dulu sampai matang, baru ditanak dengan jagung menjadi nasi jagung.

Jadi, nenek moyang di Ile Ape sebenarnya secara tidak sadar mengkombinasikan karbohidrat dan protein nabati [kacang-kacangan] dalam makanannya. Ditambah sayur merungge alias kelor, plus ikan laut, wah menu itu cukup komplet menurut ilmu gizi. Sampai sekarang banyak orang Ile Ape 'tidak bisa' makan nasi kalau nasinya murni macam di Jawa. Harus ada NALINGEN alias biji-biji kacang panjang.

Pesta kacang yang semula biasa-biasa saja, alamiah, tradisional, lama-kelamaan diketahui orang luar. Termasuk turis Eropa. Orang-orang Ile Ape yang kebetulan menjadi pejabat, mahasiswa, dosen, perantau... menceritakan hal ini kepada orang luar. Lantas, muncul ide untuk menjadikan pesta kacang sebagai event pariwisata budaya.

"Kenapa tidak 'dijual' saja? Bisa mendatangkan devisa, menggerakkan ekonomi rakyat? Dan sebagainya," demikianlah pikiran-pikiran khas pejabat pariwisata.

Ndilalah, Bapak Andreas Duli Manuk, asli Nobolekan, kebetulan terpilih sebagai bupati Lembata. Lalu, saya dengar cerita bahwa jalan setapak menuju kampung lama alias LEWO NOLUNGEN diperbaiki. Diperlebar. Agar kendaraan roda empat bisa tembus ke sana. Tidak perlu lagi jalan kaki sambil menjunjung barang, memikul barang, macam saya dulu waktu kecil.

"Sekarang sudah enak sekali ke kampung lama. Bisa naik oto," kata adik saya. "Kame pia mete OHA," begitu bunyi pesan pendek di telepon seluler saya.

Wah, saya hanya bisa membayangkan PESTA KACANG versi modern di era seluler. Masih adakah suasana wingit, mistis, adat yang kental, macam dulu? Zaman memang terus bergulir. Dan kita tak mungkin membalik putaran jarum jam sejarah.

Orang Ile Ape, Lembata, Lamaholot umumnya, makin maju dan modern. Jalan pikirannya sudah berbeda jauh dengan Ama Arakian [RIP], mantan kepala suku, yang selalu memimpin ritual pesta kacan di kampung lama. Contohnya, ya, om saya di Malang yang mengabaikan larangan makan daging anjing.

"Yang penting, tite tetap peten lewo, peten Lera Wulan Tanah Ekan," katanya.

Ya, sudah!

Setahun kepergian Anne Satya Adhika (RIP)


Oleh Kahono

Engkaulah anugerah terindah dari Allah…

Saat undangan ini ditulis, genap sudah satu tahun anak kami Anne berpulang ke pangkuan Allah Yang Maha Suci, tepatnya besok tanggal 9 September 2008. Waktu yang belum mampu membendung air mata kami yang kadang masih kerap mengalir setiap muncul rasa rindu yang tak terperi.

Bukan kami tidak ikhlas dengan kepergiannya, tetapi perjalanan dua belas tahun bersamanya telah menyiratkan ikatan kuat dan dalam, bukan waktu yang pendek untuk merangkai sebuah jalinan cinta kasih dan menjalani hidup penuh perjuangan bersamanya.

Detik-detik terakhir sebelum Anne meninggalkan kami merupakan hari yang sangat mendebarkan bagiku sebagai orangtua sekaligus sebagai seorang ayah. Tarikan nafasnya satu-satu, dan Anne anakku pun mulai melemah, sehingga harus dibantu dengan alat pemompa. Kutunggui anakku terus-menerus, aku tahu Anne ingin menyampaikan kata-kata tetapi tidak bisa untuk mengatakannya.

Kami hanya dapat membelai rambutnya, mencium keningnya, memijit pelan punggungnya sambil memberikan bimbingan doa dan dorongan untuk sabar dan mendekatkan diri kepada-Nya. Aku melantunkan doa Bapa Kami di samping Anne, aku tahu anakku sadar dan mendengarkan doa itu, meski kondisi tubuhnya tidak memungkinkannya berkomunikasi. Anne berusaha menggapai tanganku dan tangan istriku ketika itu, lalu Anne menggenggam tangan kami dengan sangat erat, sementara itu aku terus melantunkan doa.

Itulah doa paling menyentuh dan tersedih dalam hidupku. Aku masih ingat betul percakapan kami dengan Anne lima menit sebelum Anne pergi, ”Anne...Anne..ma..maafkan ba..bapak ibu ya....” ketika itu Anne pun menjawab dengan suara lirih ”aa..aaaku tuh su..su..sudah memaafkan....ibuuu, bapak ma..maafkan Anne ya....” dan kami pun hanya bisa mengangguk, karena air mata kami semakin deras keluar begitu saja.

Usaha tim medis sudah maksimal, doa telah kami lantunkan, tapi kondisi Anne semakin memburuk. Akhirnya aku tidak lagi memohon kesembuhan, tetapi memohon pada Allah agar diberikan jalan terbaik. Tanggal 27 September 2007, pukul 09.45 WIB akhirnya Anne anakku menutup mata untuk selama-lamanya. Sambil berusaha untuk tabah, perasaanku sebagai ayah berkecamuk saat itu.

Anne telah pergi...Anne telah pergi...tapi apa yang dapat kulakukan kecuali sabar, pasrah kepada keagungan dan kebaikan Allah?. Tanpa kusadari air mataku terus keluar begitu deras, aku berusaha segera mengabari sanak saudaraku, dan saat kupegang gagang telepon aku pun tidak sanggup untuk berkata-kata, namun sanak saudaraku nampaknya sudah tanggap akan isak tangisku yang terdengar lirih di telepon.

Selamat jalan Anne anakku, maafkan bapak dan ibu... Semoga Allah Yang Maha Baik senantiasa memberikan kebahagiaan tiada tara di rumah-Nya yang kudus. Sesungguhnya segalanya milik Allah, dan hanya kepada Allah-lah segalanya akan kembali.

Anne...pelajaran berharga yang Anne berikan kepadaku, kepada kami, dan kepada semuanya akan arti hidup dan kehidupan bahwa semuanya akan kembali kepada Allah Yang Maha Agung semata, dan tidak ada yang abadi. Yang sombong, yang kaya, yang gagah, yang merasa besar pasti akan terurai juga menjadi tanah, dan akhirnya kebaikan dan keutamaan Allah juga yang berperan.

Anne...... kepergianmu kami ikhlaskan, bergembira dan berbahagialah di Surga, doakan dan tunggulah kami. Kiranya kelak kami akan juga menyusulmu. Ayah, Ibu dan Sela adikmu akan selalu menyayangi dan merindukanmu… Engkau adalah anugerah terindah yang Allah berikan kepada ayah, ibu, dan Sela ….

Kami yang menyayangimu.
Yogyakarta, September 2008

Anne Satya Adhika

Lahir: Rabu, 7 Juni 1995
Dipanggil Allah Yang Maha Suci : Rabu Legi, 26 September 2007

Diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Selasa, 9 September 2008
Pukul : 17.00 WIB
Tempat : Rumah kami Jl. Gejayan, Santren Gang Menur No. 5C Yogyakarta

Demikianlah undangan kami, atas perhatian dan kehadiran Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudari kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat kami,
Kahono dan keluarga

Kami menyadari karena jarak dan kesibukan yang tidak memungkinkan Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri undangan ini, maka sudilah kiranya menulis doa untuk anak kami di http://anne1995.wordpress.com/2008/08/23/buku-tamu/


Obbie Messakh di Metro TV

01 September 2008



Obbie Messakh itu ternyata ceria, suka bercanda, ceplas-ceplos. Beda jauh dengan lagu-lagunya yang sebagian besar bercerita tentang kesedihan, bahkan frustrasi. Ini terlihat saat Obbie Messakh tampil di acara Zona 80, Metro TV, Minggu 31 Agustus 2008. Selama satu jam, diselingi iklan, tentu, penonton televisi diajak kembali ke era 1980-an.

Obbie Messakh, pemusik asal Rote, Nusa Tenggara Timur, memang salah satu ikon 80-an. Suka tidak suka orang harus ingat Obbie kalau bicara tentang musik pop 1980-an. Karya-karyanya mendominasi Aneka Ria Safari dan Selecta Pop di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia masa itu.

Ratusan lagu, bahkan mungkin ribuan, telah lahir dari tangan Obbie Messakh. Sebab, Obbie mengaku mulai menulis lagu sejak 1974. Rinto Harahap menjadi salah satu penulis lagu yang banyak memberi inspirasi padanya. Namun, setahu saya, Obbie Messakh mulai melejit ketika direkrut JK Records pada awal 1980-an. Judhi Kristianto, bos JK Records, mengandalkan Obbie dan Pance Fransisikus Pondaag sebagai penulis lagu utama perusahaan rekaman itu.

Karakter lagu-lagu Obbie memang pas dengan karakter Judhi yang juga pemusik dan penulis lagu. Maka, puluhan artis pun diorbitkan JK Records. Sebut saja Lidya Natalia, Ria Angelina, Helen Sparingga, Heidy Diana, Dian Piesesha, Marina Elsera, Nindy Ellese... dan masih banyak lagi. Sukses Obbie di JK Records membuat produser lain di era 80-an terigur. Mereka antre menunggu lagu-lagu Obbie Messakh.

"Waduh, waktu itu nyari Bang Obbie susahnya setengah mati. Dia kan lagi jaya-jayanya," kata Ratih Purwasih di Zona 80, Metro TV. "Saya malah tidak pernah bertemu langsung sama Bang Obbie. Padahal, saya terangkat karena lagu-lagunya," tambah Angel Pfaff. Pada akhir Agustus 2008 ini tubuh Angel Pfaff terlihat gemuk berisi, tak lincah, jangkauan suaranya pun tidak prima lagi.

Angel, pelantun 'Pernahkah Dulu', bersama Ratih Purwasih--adik kandung penyanyi Endang S. Taurina yang juga kondang pada 1980-an--mendampingi Obbie Messakh di Zona 80-an. Pemandu acaranya Ida Arimurti dan Sys NS, dua penyiar radio yang kondang di Jakarta pada 1980-an. Di saat begitu banyak selebitis lama mengidap obesitas dan stroke, fisik Obbie Messakh tetap langsing macam 20-an tahun silam. Suaranya lebih tebal, tapi tetap nyaman. Ini karena Obbie memang sejak dulu aktif berolahraga.

Bagi Obbie Messakh, menulis lagu-lagu sweet pop ala JK Records merupakan berkah luar biasa pada 1980-an. Hampir semua artis yang diorbitkan dengan lagu karyanya melejit. Kaset--dulu belum ada CD--laku keras. "Paling sedikit terjual 400.000. Industri musik benar-benar booming," kenang Obbie yang lahir dan besar di Jakarta itu.

Sebagai perbandingan, saat ini bisnis kaset/CD memasuki masa yang sangat sulit. Studio banyak, siapa saja bisa bikin lagu, merekam lagu, membuat aransemen dengan berbagai corak, tapi... sulit dijual. Laku 20.000 saja sudah bagus. Bahkan, ada penyanyi terkenal sudah senang bukan main ketika albumnya terjual 2.000. Masa keemasan seperti yang dirasakan Obbie dan JK pada era 1980-an tampaknya hanya tinggal sejarah.

Di program musik nostalgia Metro TV yang mulai dilirik banyak orang itu, Obbie juga menjelaskan kasus pelarangan lagunya oleh pemerintah Orde Baru. Tepatnya, pada 1988 Menteri Penerangan Harmoko--sebagai penanggung jawab utama TVRI--murka gara-gara lagu Hati Yang Luka [karya Obbie Messakh, dibawakan Betharia Sonata] sangat sering keluar di TVRI. Di mana-mana orang menyanyikannya. Lantas, Pak Harmoko meminta agar TVRI tidak lagi menyiarkan lagu-lagu cengeng.

"Saya sendiri tidak paham apa yang dimaksud dengan 'cengeng'. Di kamus bahasa Indonesia tidak ada istilah itu," kata Obbie Messakh. Namun, Obbie mengakui pelarangan lagu-lagu manis ciptaannya juga membawa hikmah. Sebab, sejak itu dia sering diundang pejabat dan menteri-menteri.

Menurut Obbie, lagu 'Hati Yang Luka' itu justru membela kaum perempuan yang sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suami seenaknya main tangan. "Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu...," begitu antara lain lirik 'Hati Yang Luka'. Hanya saja, ungkapan advokasi versi Obbie Messakh dipahami secara berbeda oleh pemerintah, khususnya Pak Harmoko.

Setelah pelarangan pada 1988, Obbie Messakh tetap berkarya. Dia menulis lagu-lagu riang, bahkan pop dangdut. Masyarakat sempat suka, tapi tak sedahsyat lagu-lagu manis yang sudah menjadi trade mark Obbie Messakh. Dan, pelan tapi pasti, berakhirlah era keemasan Obbie Messakh, Pance Pondaag, Judhi Kristianto, Tommy J. Pisa, dan penyanyi-penyanyi sejenis. JK Records pun surut.

"Tapi saya senang karena sejak di JK Records sistem royalti sudah dipakai," ujar Obbie Messakh yang murah tawa itu. Gamblangnya, Obbie bisa membeli rumah, mobil, mencukupi nafkah keluarganya berkat royalti lagu-lagunya.

Sambil tidur-tidur ayam, saya menikmati Obbie Messakh menyanyikan dua lagu karyanya: Aduh Rindu dan Kau dan Aku Satu. Lagu-lagu ini pernah sangat terkenal di Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur. Saya masih ingat hampi semua bemo alias angkutan umum seakan berlomba menghibur para penumpang dengan lagu-lagu Obbie Messakh.

"Melodi, melodi memori
yang pernah kucipta
jadi teman setia....

Melodi, melodi memori
pengganti dirimu
penghibur sepi malamku...."

Pelajaran dari Pasal 76


Kamis, 4 September 2008

Makmur Keliat

Empat tahun UU TNI telah dikeluarkan. Yang amat kontroversial adalah Pasal 76. Pasal 76 mewajibkan pemerintah mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung atau tak langsung.

Kontroversi atas pasal ini melahirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan ”sudah jelas”. Kedua, meski UU TNI sudah berlaku selama empat tahun, pemerintah hingga kini belum bertindak nyata untuk mengambil alih.

Sejauh yang dapat dicermati, tanggapan pemerintah atas pasal ini adalah melalui pembentukan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI (TSTB) dan pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. TSTB dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan tahun 2005 dan telah menyelesaikan tugas identifikasinya. Timnas dibentuk melalui Keppres tahun 2008. Namun, kedua tim ini belum diberi wewenang untuk mengeksekusi Pasal 76.

Bagaimana menjelaskan kontroversi ini? Mengapa pasal itu hingga kini belum dieksekusi? Tidak ada penjelasan tunggal untuk menjawab berbagai pertanyaan ini. Maka, yang muncul adalah penjelasan- penjelasan yang bersifat spekulatif.

Empat spekulasi

Spekulasi pertama lahir dari kualitas pembuatan legislasi itu sendiri. Tidak adanya penjelasan tentang pasal ini disebutkan sebagai simbol dari kualitas yang memprihatinkan dari para legislator kita dalam membuat undang-undang. Undang-undang menjadi tidak operasional dan menjadi ”bom waktu” yang menyulitkan pemerintah. Ketidakjelasan bunyi Pasal 76 menjadi sebab mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) tidak dapat segera mengoperasionalkannya.

Pemerintah harus lebih dulu merumuskan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI, makna kepemilikan, pengelolaan secara langsung atau tidak langsung. Setelah pemaknaan ini jelas, baru dilakukan pengidentifikasian, jumlah unit bisnis yang memiliki keterkaitan dengan TNI. Pembentukan TSTB dan Timnas dimaksudkan untuk mengurai benang kusut yang ditinggalkan pasal itu. Kesimpulannya: lembaga legislatif harus ikut menanggung beban mengapa eksekusi pengambilalihan belum dilakukan hingga kini.

Spekulasi kedua berusaha menjelaskan dari motif ekonomi. Eksekusi belum dilakukan karena memberi waktu bagi semua kegiatan bisnis melakukan metamorfosis. Pasal 76 memberi rentang waktu amat panjang untuk eksekusi, yaitu hingga 16 Oktober 2009. Karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi presiden untuk segera mengeksekusi. Rentang waktu panjang ini dapat digunakan untuk mengubah status dokumen hukum dari ”bisnis” yang terkait TNI.

Pilihan metamorfosis juga dianggap sebagai jalan tengah untuk meminimalkan beban keuangan negara. Jika eksekusi segera dilakukan empat tahun lalu, ada kecemasan bahwa seluruh unit yang diambil alih itu ternyata rugi, memiliki utang besar, dan mengakibatkan tekanan beban anggaran yang kian besar. Tindakan seperti itu akan mengulangi pengalaman masa krisis finansial saat pemerintah melakukan pengambilalihan terhadap bisnis perbankan. Konklusi akhir dari penjelasan seperti ini adalah bahwa jika nantinya eksekusi pengambilalihan dilakukan, jumlah unit dan kekayaan yang diambil alih tidak terlalu besar dan dilakukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum.

Spekulasi ketiga terkait kepentingan stabilitas institusional TNI sendiri. Penjelasan berawal dari banyaknya jumlah personel TNI, diperkirakan mencapai 30.000 orang. Tidaklah mudah mengalihkan jumlah besar personel untuk masuk ke institusi TNI. Pengalihan harus dilakukan dengan menyiapkan kerangka kelembagaan serta phasing out-nya. Jika ini tidak dapat dilakukan, akan mengakibatkan dinamika dan instabilitas institusional di TNI. Kesimpulan dari penjelasan ini adalah pengambilalihan harus dilakukan secara hati-hati, membutuhkan waktu, dan menghindarkan seminimum mungkin terjadinya instabilitas institusional di lingkungan TNI.

Spekulasi keempat terkait karakter kepemimpinan nasional sebagai safety player dalam kompetisi politik nasional. Berbeda penjelasan lain, tanggung jawab dari pelambatan pengambilalihan sepenuhnya ada di tangan presiden. Karakternya yang amat hati-hati dan cenderung untuk menyenangkan semua pihak telah mengakibatkan formulasi eksekusi pengambilalihan harus dibuat seideal mungkin. Keharusan seperti ini membutuhkan waktu untuk perumusan. Dari sisi ini, pembentukan TSTB dan Timnas yang tidak diberi wewenang untuk melakukan eksekusi adalah simbol dari karakter psikologis itu.

Penjelasan itu juga menyebutkan sebenarnya amat sederhana untuk mengeksekusi pengambilalihan jika presiden menjadi seorang yang mengambil risiko, yaitu dengan menggunakan otoritasnya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Konklusi akhir dari penjelasan ini adalah ”bola” pengambilalihan bisnis TNI kini sepenuhnya di tangan presiden.

Tebang semuanya?

Kompetisi dari empat wacana inilah yang kini mewarnai diskusi tentang pengambilalihan bisnis TNI. Terlepas dari spekulasi mana yang paling reliable, pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah negeri ini masih jauh dari negara hukum. Saat suatu hukum hendak diimplementasikan, kita cenderung ”berwacana”, bukan segera melaksanakan ketentuan itu. Sebagai suatu makna, hukum pada dasarnya adalah melegalkan proses politik. Namun, ketika proses politik sudah selesai bekerja, yaitu saat sudah menjadi UU, hukumlah yang harus bekerja.

Kontroversi Pasal 76 juga merupakan simbol ketidakmampuan kita untuk menarik garis demarkasi semacam itu. Ketidakmampuan itu tampaknya tidak hanya tipikal pada pengaturan atas aktor keamanan, tetapi juga hampir mencakup pengaturan seluruh aktor dalam bidang kehidupan lain. Itu sebabnya, mungkin kalimat ”tebang semuanya” tidak pernah dilakukan karena dianggap menjadi yang melukai diri sendiri (self-defeating).

MAKMUR KELIAT Pengajar di FISIP Universitas Indonesia

Keluar dari Perangkap Pangan?


Kamis, 4 September 2008

Gatot Irianto

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.

Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah karena ledakan permintaannya.

Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.

Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.

Terigu dan ayam

Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini mendominasi pangan nonberas.

Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.

Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu, Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari perangkap pangan dan kemiskinan.

Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Produk lokal

Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii) bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.

India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga, waktu, dana, dan pengawalan kontinu.

Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.

Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5 tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.

Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

Pahitnya Rasa Gula


Kamis, 4 September 2008

Toto Subandriyo

Ironis. Itulah gambaran kondisi ketahanan pangan negeri ini.

Ketika dunia internasional dilanda krisis pangan dan harga komoditas pangan di pasar dunia meroket, petani di Indonesia justru terpuruk. Harga komoditas pangan yang tinggi di pasar dunia hanya menjadi gula-gula yang tak dapat dinikmati petani.

Setelah harga jual gabah/beras saat panen raya rendengan terpuruk, kini giliran petani tebu meradang. Gula, hasil budidaya tebu musim giling, tak semanis yang diharapkan. Bahkan, gula yang mereka hasilkan terasa amat pahit karena jeblok harganya. Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, membakar tanaman tebu mereka (Kompas, 29/8).

Meski harga berbagai kebutuhan lain meningkat tajam akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gula petani awal Agustus lalu justru anjlok pada angka Rp 4.980/kg. Padahal, harga break even point gula petani kita kini rata-rata Rp 4.900/kg. Margin keuntungan yang mereka peroleh turun dibandingkan dengan tahun 2007, saat harga BBM belum naik. Ketika itu harga gula petani sebesar Rp 5.300/kg.

Praktik tidak terpuji

Terpuruknya harga gula petani tak lepas dari buruknya sistem tata niaga gula di republik ini. Saat ini, data kebutuhan dan pengadaan gula amat njomplang. Menurut data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), total kebutuhan gula dalam negeri untuk rumah tangga dan industri mencapai 3,91 juta ton, sedangkan total volume gula yang beredar di dalam negeri tahun ini diperkirakan 6,46 juta ton. Jadi, tahun 2008 ini ada surplus gula sebanyak 2,55 juta ton.

Keterpurukan harga gula petani juga dipicu adanya praktik-praktik tidak terpuji. Jika dihitung komponen harga mulai dari harga pokok pembelian, bea masuk, pajak, biaya inklaring kapal, bea sewa gudang pelabuhan, bea bongkar muat, dan bea transpor truk, maka gula impor tidak akan dapat menyaingi gula lokal.

Anehnya, gula impor dijual dengan harga lebih murah dari gula petani lokal. Mengapa?

Pertama, terjadi praktik dumping oleh negara eksportir gula. Kedua, terjadi pencatatan bea masuk yang tidak sesuai ketentuan (underinvoicing) di pelabuhan. Ketiga, terjadi penyelundupan gula cukup besar dan terbebas dari aneka ketentuan impor.

Merosotnya harga gula lokal, antara lain dipicu membanjirnya gula rafinasi impor. Padahal, gula jenis ini untuk kebutuhan industri makanan-minuman dan tidak layak dikonsumsi langsung.

Ada tiga macam produk gula kristal, raw sugar (hasil dari tebu yang diproses langsung secara defikasi). Gula rafinasi merupakan raw sugar yang diproses melalui kilang gula (refinery) untuk dilakukan pemurnian. Gula putih diperoleh dari tebu yang diproses melalui sistem karbonatasi/sulfitasi. Gula putih merupakan jenis gula yang lazim dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sedangkan gula rafinasi, apalagi raw sugar, tidak boleh dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Analisis laboratorium terhadap raw sugar mendapati kadar sukrosa sebesar 97,2-99,54 persen, kadar air 0,1-0,95 persen, kadar abu 0,1-0,35 persen, gula reduksi 0,06-0,086 persen, mikroba mesofilik 770-2.300 per 10 gram, dan yeast (ragi) mencapai 30-45/gram (P3GI, 1999). Ini menunjukkan, komponen bukan gula raw sugar (impurities) amat tinggi. Di AS, gula semacam ini masuk dalam kategori generally recognized as safe (GRAS) dan dilarang dikonsumsi langsung.

Data dan regulasi

Ada berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menolong petani gula. Pertama, pembenahan sistem tata niaga secara menyeluruh. Upaya ini harus diawali dari pembenahan data dan regulasi. Keberadaan data yang valid menyangkut kebutuhan per tahun serta data produksi gula nasional merupakan conditio sine qua non. Melalui data yang akurat ini dapat direncanakan kapan serta dalam volume berapa kita melakukan kegiatan importasi.

Regulasi pergulaan sudah saatnya disesuaikan. Regulasi dibuat dengan seminimal mungkin celah praktik ilegal importasi. Meski menurut WTO bea masuk maksimum 110 persen masih ditolerir hingga tahun 2010, guna melindungi konsumen dan produsen angka perlu ditetapkan secara moderat.

Kedua, upaya peningkatan produktivitas dan produksi gula dalam negeri. Sejarah mencatat, hingga tahun 1960-an, Indonesia adalah eksportir gula terbesar kedua dunia. Namun, kini kondisinya terbalik. Untuk mengembalikan kejayaan itu, agroindustri gula perlu direvitalisasi lebih revolusioner.

Perlu dilakukan pembaruan paradigma dalam kebijakan swasembada gula yang ditargetkan pemerintah tahun 2009. Ada hal yang amat mengganjal dalam kebijakan swasembada gula, di mana kebijakan ini masih mendasarkan kebutuhan gula rafinasi impor. Ini merupakan pembodohan, seolah target swasembada gula tercapai, padahal 30 persen pemenuhan gula rafinasi untuk industri makanan/minuman berasal dari impor.

Ketiga, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Masyarakat umum mengetahui, tata niaga pangan negeri ini lekat dengan aktivitas perburuan rente dan praktik kotor, seperti underinvoicing dan penyelundupan. Penegakan hukum dan pengawasan harus dilakukan.

Kemauan politik yang kuat dari semua pemangku kepentingan dapat menolong petani dari keterpurukan. Tanpa itu, kekecewaan petani tebu akan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jawa Tengah


Wednesday, September 3, 2008

Flores Pos daily newspaper


By Frans Anggal chief editor of the Flores Pos in Ende

A paper presented at the Conference of the Representatives of Catholic newspapers in Asia Seoul, 22-23 March 2007. This paper was translated from Malay to English by Andreas Harsono of Pantau media group in Jakarta.


Indonesia is a country that hosts the largest Muslim population in the world. But it has a strong Christian presence on its eastern area, living in sparsely populated islands like Flores, Rote, Timor, Papua, the Malukus, central and north Sulawesi as well as smaller islands like Tanimbar, Kei, Dobo etc. Indonesia’s most important island is Java where around 65 percent of Indonesia’s total population of 220 million live. Java’s landmass, however, accounts for about six percent of the total land areas, putting the issues of population the most crucial agenda in Indonesia.

Flores is a predominantly Catholic area. Around 95 percent of its 2.5 million population are Catholics. The most influential Catholic organization in Flores is the Societas Verbi Divini (SVD). In 1912, SVD established office in Ende, a small town in central Flores, to start doing evangelical works initiated earlier by Jesuit and Dominican priests since the 17th century in eastern Flores and Timor Island.

SVD runs not only churches but also schools, farms and publications. It currently has a book publishing company, PT Arnoldus Nusa Indah, as well as the Flores Pos daily, Dian weekly tabloid and Kunang-kunang children magazine. PT Arnoldus' office is located on El Tari Street in Ende, sharing a single compound with the Flores Pos daily, the Dian weekly and the Kunang-kunang children magazine. It also has some meeting rooms and a hall for a bigger event.

Historial Backgrounds

In 1925, four years after securing its office in Ende, SVD published the Bintang Timur monthly magazine. Unpaid subscription, however, prompted the SVD to close this magazine in 1937. It is very likely that Indonesia nationalist leader Soekarno, who was exiled in Ende in the early 1930s by the Netherlands Indies administration, also subscribed to Bintang Timur. Soekarno befriended some SVD priests in Ende.

In 1948, SVD published Bentara bi-weekly and its insert Anak Bentara children magazine. Bentara became quite popular, supporting SVD’s education programs and schools, making the circulation to peak at around 35,000 copies. Financial difficulties again prompted SVD to close the bi-weekly in 1958.

In 1973, SVD created new magazines: Dian bi-weekly and Kunang-kunang children monthly magazine. Kunang-kunang was pretty famous not only in Flores but also in many parts of Indonesia, including Java. In 1987, Dian became a weekly tabloid.

In the 1980s, Indonesia started to see the emergence of Java-based media conglomerates such as the Kompas Gramedia Group, the Tempo Jawa Pos group and the television industries. An unexpected result of the SVD’s media works is that Flores has produced many journalists, prompting the Flores-educated journalists and editors to work in the emerging media networks. Today the number of Flores journalists working in Java is bigger than those working in their homeland.

In 1998, General Suharto, Indonesia’s strongman who ruled the country since 1965, was forced to step down from power. It prompted a huge political upheaval in the archipelago. Indonesia’s secessionist provinces such as Aceh, Papua and East Timor immediately pressured for their independence. Other provinces in the Maluku islands, partly in Borneo as well as in Sulawesi were involved in violent communal violence. Muslim and Christian fighters engaged in deadly wars in the Malukus and Poso in central Sulawesi. Anti-Chinese riots also rocked Jakarta and Solo in Java as well as Medan in northern Sumatra. Political assassinations were the news of those days.

In August 1999, East Timor voted for independence in a UN-administered referendum. Indonesian military and their militias burned and looted East Timor. Around 10,000 East Timorese died in the massive burning and killing, raising the anger of the international community against the Indonesian military. President Bill Clinton decided to impose a military embargo against Indonesia. His move was copied by other western countries.

Retreating Indonesian generals subsequently faced a new problem. Where should they place thousands of displaced soldiers and militias as well as their families? International peacekeeping forces obviously prevented these frustated soldiers to return to East Timor. An idea circulated among the generals. They wanted to move their retreating soldiers and militias to neighboring Flores. They wanted to move the Dili-based Wirasakti military command to Ende.

It alarmed Flores leaders as well as the Flores diasporas in Java. Hosting thousands of frustated soldiers, who were regularly involved in burning and killing, is a serious threat in a relatively peaceful area like Flores. As a major institution in Flores, SVD was also involved in the debate. Dian weekly was considered to slow to report on the rapid daily development of the pressing issue. SVD decided to publish a daily newspaper in a bid to accommodate various opinions over the plan and to inform the public about such a plan. On Sept. 9, 1999 SVD published the Flores Pos daily in Ende, mobilizing the public opposition against the plan. Founding members included publisher Henri Daros SVD, chief editor John Dami Mukese SVD, Frans Ndoi SVD and Valens G. Doy (Kompas daily journalist). Flores figures in Jakarta intensively lobbied the military. President Abdurrahman Wahid finally shelved the military plan in 2000.

SWOT Analysis

The military issue was the starting point in publishing the Flores Pos. It then began to regularly bring news reports and editorial pieces from Monday to Saturday every week. Its mission is to voice the oppressed and to monitor those in power.
It is owned by a Catholic order but the Flores Pos is more like a regular newspaper. In a bid to promote religious dialogues, it provides religious columns for every religion in Flores. Its workers are religiously diverse. They are mostly Catholic but it has Muslim and Protestant employees indeed. The Friday Forum column is dedicated for Muslims while the Sunday Forum are for Catholics and Protestants.

Currently it also conducts monthly discussions on various issues in a bid to broaden the intellectual discourses among its audience. It sometimes open public donation for the poor and natural disasters victims. When Manggarai had a major landslide in March, killing more than 60 people, the Flores Pos opened a public donation. It collected more than 20 million rupiah ($2,000). It also conduct annual seminars on economic, political and cultural outlooks.

Fact Sheet
Format: tabloid Monday-Saturday
Pages: 1999 (8) 2001 (12) 2003 (16)
Legal status:
1999-2002 under Flores Media Foundation
2002-now under PT Arnoldus Nusa Indah
Vision: establishment of truth, justice, peace and integration of creation
Mission: to conduct prophetic dialogues with the oppressed people, other religious communities, other cultures and other ideologies


The Flores Pos has some strength factors. According to the 2006 audience survey by Pantau, it has a strong brand name. Eighty four (84) percent of the surveyed respondents in Flores know the Flores Pos. It is just less two percents from its main competitor, Pos Kupang daily, at 86 percent. Pos Kupang is a subsidiary of the Kompas Gramedia Group. It is based in Kupang in western Timor.

Flores Pos locally produces 90 percent its contents. They are supplied mainly by its seven bureaus in Flores and one in Kupang. The bureaus are stationed in towns like Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Sikka, Larantuka and Lewoleba on Adonara Island. More than 60 people work for the Flores Pos. They include 23 editorial staff. The others are working on its marketing, finance, distribution etc.

In September 2006, the newspaper began to make unprecedented changes. Georgia Scott of The New York Times helped redesign the Flores Pos. She introduced cleaner, more spacious and easy-to-navigate news design. The newspaper also introduced bylined news reports. It is a rare even among Jakarta newspapers. The newspaper also put the mobile number of its reporters near their names, providing a chance to involved readers to call the reporters if the stories lacking something. It also publishes a feature story everyday on the front page. Reporters should also verify their stories. They can’t publish single-sourced stories. The SVD is committed to have these chances.

Obviously the newspaper also has its weakness. Its human resources lack training. Many journalists are not well trained to report and to write analitically. The non-editorial staff are mostly high school graduates. None of them specializes on business development and marketing.

Financially its income is not enough to cover expenses. Everyday it prints 3,500 copies of which 70 percent go to subscribers. It is priced at 2,000 rupiah per copy ($20 cents). Financially it should only break even if printed 7,000 copies.

Its equipments, from computers to cameras, from printing press to transportation means, are pretty old. Most correspondents send their stories by fax. The reports, when reaching the newsroom in the evening, must be retyped. Most bureaus have no internet connection. Its printing press is not for newspaper printing. It has no newspaper folding facility. Workers have to manually fold 3,500 copies of printed papers, every night, into folded newspapers.

The Flores Pos has some opportunities. It could increase its circulation based on the fact that the reading habit in Flores is higher than Indonesia's national average. It is now working with Swisscontact and Pantau to increase the newspaper’s capacity building.

In March, the Flores Pos is also published jointly with Hidup magazine in Jakarta. It makes a possible passage to raise advertisement incomes from ad agencies in Jakarta. Last but not the least, small and medium enterprises are growing in Flores. Flroes has no big industries. But these small companies are stronger and more durable than the big ones. It was proven during the Asian economic crisis. They want to advertise in the Flores Pos.

The possibility to set up a Catholic newspaper network in Asia is also a chance to increase its capabilities.

The treatment factors are quite numerous. Land transportation in mountainous Flores is very tough. It takes one week just to travel from Labuan Bajo in the west to Larantuka in the east. Newspaper distribution is very expensive. Using public transport is costly. Having our own distribution is also costly.

Today the Flores Pos is “surrounded” by Pos Kupang’s long distance printing presses in Ruteng (west Flores) and Maumere (east). It is quite a challenge. In Flores, people don’t buy two newspapers in a single day. If they already buy Pos Kupang, obviously they won’t buy the Flores Pos.

Newsprint must also be imported from Java and the shipment cost is quite dear. Another treatment is the oil prices that always increase in Indonesia over the last ten years. It prompts higher inflation every year. Flores is also one of Indonesia’s lowest income areas. The public buying power is limited. They prefer to secure their meals rather than buying a newspaper.

A network of Catholic newspapers in Asia might create a cooperation in the region, benefiting newspapers like the Flores Pos, Dian and Kunang-kunang children magazine in Ende. The Flores Pos also needs a capital injection to buy a new printing press to print long distance both in Maumere and Ruteng. Similar assistances like what Georgia Scott’s are highly needed in Ende
Rabu, 3 September 2008 | 03:00 WIB

Kartini Sjahrir

Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Mencintai dunia akademis

Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.

Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.

Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.

Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.

Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.

Perbedaan itu indah

Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.

Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Keluarga

Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).

Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”

Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.

Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”

Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….

Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir; Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB

Konsep Dulu, Baru Uang


Daoed JOESOEF

Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.

Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.

Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.

Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.

Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.

Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.

Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.

Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.

Tiga keharusan

Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).

Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.

Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.

Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.

Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.

Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).

Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.

Integritas departemen

Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.

Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.

Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-सोर्बोंने


Anggaran Peningkatan Mutu Pendidikan



Baskoro Poedjinoegroho

Dalam pidato di depan anggota DPR, Presiden menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20 persen dari total APBN 2009.

Bila dirupiahkan, total anggaran untuk pendidikan pada APBN 2009 sebesar Rp 244,44 triliun, kenaikan yang amat mencolok dibanding anggaran 2008 sebesar Rp 154, 2 triliun. Insan pendidikan agaknya puas, karena putusan itu sejalan dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Perbaikan mutu pendidikan menjadi prioritas. Masalahnya, mungkinkah dengan dana sebesar itu kemajuan pendidikan bisa terwujud?

Memperbaiki mutu

Kebijakan penaikan anggaran pendidikan, tentu bukan tanpa alasan. Banyak alasan dapat dikemukakan, antara lain keinginan dan tuntutan dalam berbagai bentuk dari insan pendidikan entah penyelenggara, pelaku, ataupun pemerhati. Pantas disyukuri bahwa pemerintah menyambut keinginan insan pendidikan. Rasa syukur layak dikemukakan jika terjadi perjumpaan antara keinginan yang baik untuk memajukan pendidikan dan kemauan baik untuk mendukungnya. Maksudnya, keinginan dan kemauan baik yang tidak melulu demi besarnya jumlah dana atau uang, atau muatan politis lainnya. Bukankah uang senantiasa menggiurkan, apa.lagi sebesar anggaran pendidikan nasional 2009?

Memang, orang boleh berpendapat, anggaran itu masih lebih kecil dibanding anggaran negara tetangga, misalnya dengan basis produk domestik bruto (PDB) angka Indonesia adalah 1,9 persen, sementara Thailand 5,0 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Vietnam 2,8 persen.

Bagaimanapun Rp 244,44 triliun adalah jumlah amat besar. Jumlah itu akan kian bermakna karena merupakan kebijakan politik atau jawaban tepat dan kini dibutuhkan. Apalagi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran di segala bidang, terutama karena kemerosotan moral, yang harus diyakini akan dapat diimbangi dengan pendidikan bermutu.

Dalam pidato Presiden (15/8/2008) itu, anggaran 20 persen ditujukan untuk perbaikan sarana-prasarana (gedung sekolah) dan SDM (guru, dosen, beasiswa). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi kemajuan mutu pendidikan. Dari sisi lain, ada yang menantang pelaku atau pengguna anggaran, yakni pembuktian sekaligus perwujudan pengembangan diri bahwa mereka adalah insan-insan yang melakukan kemajuan pendidikan melalui pemanfaatan dana sesuai maksud/tujuan pengadaan (intentio dantis). Meski juga harus disadari, tidak selalu mudah menanggapi atau melaksanakan apa yang sudah diketahui; acap kali apa yang diketahui tidak selalu dilaksanakan terlebih bila menyangkut soal dana atau uang.

Keadaan ini mengingatkan akan apa yang baru saja digumuli para pendidik, yaitu sertifikasi pendidik. Entah sudah mengerti ihwal makna sertifikasi atau belum, yang pasti, mereka yang lolos sertifikasi akan mendapat tambahan pendapatan. Inilah yang hidup di benak pengajar sertifikasi. Sertifikasi diperjuangkan mati-matian jika perlu dengan bertindak curang, tidak peduli bertentangan dengan prinsip pendidikan. Misalnya, memalsukan dokumen/portofolio demi lengkapnya persyaratan.

Di antara pengejar sertifikasi belum pernah terdengar, sertifikasi diburu sebagai bukti bahwa seorang pendidik telah dan selalu mengejar kompetensi atau profesionalitas dalam mendidik. Yang lazim adalah sertifikasi diperjuangkan demi bertambahnya pendapatan atau uang. Bila demikian, mutu pendidikan akan biasa-biasa saja meski pendapatannya bertambah.

Bukan milik pribadi

Banyak orang amat rentan dengan uang, tak bijaksana dalam mengelola uang. Apa saja yang terkait uang senantiasa membuat mabuk, kehilangan kesadaran diri, kehilangan akal sehat, kehilangan ketajaman nurani. Banyak bukti mudah ditemukan saat ini. Setiap hari media tak pernah absen memberitakan kejahatan yang terkait uang.

Karena itu, penetapan anggaran pendidikan 20 persen harus dijadikan momentum bagi para insan pendidikan untuk membuktikan diri, mereka adalah pribadi-pribadi yang berharkat luhur yang amat bernilai lebih daripada nilai nominal uang. Caranya, dengan memperlakukan anggaran atau dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun sebelum melibatkan diri dalam penggunaan anggaran atas nama perbaikan mutu. Bila tidak, perbaikan mutu pendidikan tak akan terjadi, bahkan akan semakin merosot.

Baskoro Poedjinoegroho Direktur SMA Kanisius जकार्ता


A A A

Tuhan Peluklah aku


Saat aku lelah dan tak kuasa untuk berjalan
Aku yakin TUHAN menopangku
Saat aku sakit hati dan tak kuasa menahan tangis
Aku yakin TUHAN memebelaiku
Saat aku kuatir dan tak kuasa menahan gemetar
Aku yakin TUHAN memelukku
Saat aku terluka dan tak kuasa menahan sakit
Aku yakin TUHAN membebatku
Saat aku kehilangan dan tak kuasa menahan sedih
Aku yakin TUHAN menghiburku
Saat aku merasa tak berarti dan tak kuasa untuk melanjutkan hidup
Aku yakin TUHAN katakan :"Kau berarti bagiku"
Saat aku merasa tak dicintai dan tak kuasa menahan pilu
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku mencintaimu"
Saat aku dibuang dan aku tak kuasa menahan galau
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku tak akan pernah membuangmu"

Di dunia ini begitu banyak kesusahan yang tak bisa ditolak. siapapun, semua orang dan tak terkecuali aku.
Aku dibuang, aku dianggap tak berarti, aku dianggap sampah, aku ditinggalkan oleh orang yang sangat kucintai,
Tapi....
Aku yakin TUHAN selalu ada dan kasih-Nya tak pernah berubah untukku.
Untukmu pun, DIA tak pernah berubah.
**** prie****

Patung Katak Disalib Dianggap Menghina Tuhan

Jumat, 29 Agustus 2008 | 03:58 WIB

—ROMA, KAMIS — Sebuah museum di Italia menentang Paus Benediktus dan menolak melepaskan sebuah karya seni berupa patung katak berwarna hijau yang disalib dengan tangan memegang mug bir dan sebuah telur yang dianggap Vatikan sebagai penghujatan.

Dewan Museum Museion di utara kota Bolzano memutuskan berdasarkan suara terbanyak mereka tetap memasang kodok itu di tempatnya selama pameran berlangsung. Patung katak kayu yang dibuat seniman Jerman, Martin Kippenberger, ini sepanjang 1,30 meter dengan salib berwarna coklat. Katak ini dalam posisi disalib dengan tangan kanan memegang mug bir dan tangan kiri memegang sebuah telur.

Disebut Zuerst die Fuesse atau yang pertama kali adalah kaki, patung ini juga menjulurkan lidah. Hasil karya ini dipamerkan di Galeri Tate Modern dan Saatchi di London, juga di Bennale, Venisia. Rencananya, patung katak ini juga akan dipamerkan di Los Angeles dan New York.

Paus Benediktus yang orang Jerman dan sedang berlibur berada tidak jauh dari Bolzano jelas-jelas tidak setuju dengan pameran ini. Vatikan, atas nama Paus, telah menulis surat mendukung Franz Pahl, gubernur setempat yang menentang dipamerkannya patung ini. Dalam suratnya, Pahl mengatakan, "Patung ini telah menimbulkan sentimen agama dan melukai banyak orang yang melihat salib sebagai simbol cinta Tuhan."

Pahl, yang wilayahnya banyak didiami warga Katolik, begitu marah dengan hal ini. "Jelas-jelas ini bukan seni, melainkan penghujatan dan pelecehan yang mengecewakan banyak orang," ujarnya.

Tentu saja, kata Pahl, keputusan untuk tetap mempertahankan salib ini jelas tidak bisa diterima. Namun, para artis berkata lain. "Seni harus selalu bebas dan seniman seharusnya bebas berekspresi dan tidak semestinya dibatasi," ujar Claudio Strinati, pengawas Museum Negara Roma kepada koran Italia, Kamis.