Thursday, April 2, 2009

MENCARI ORANG JUJUR

Oleh: Valery Kopong*

Komisi pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang dagangan dan uang yang merupakan hasil pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur tanpa perlu dikontrol?
Mencari orang jujur pada saat ini untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang pemilu 2009, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan jujur. Ada yang mau mencalonkan diri sebagai calon legislatif, dan ada pula yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ada kelompok kaum muda yang ingin tampil di atas pentas politik dan menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri maupun partai. “Pilih aku sebagai caleg yang bersih dan peduli. Atau pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh caleg maupun partai, hanyalah merupakan jargon politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Realitas telah membuktikan bahwa ketika orang terjun ke dalam dunia perpolitikan, secara perlahan menisbikan kejujuran yang seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun kesadaran dan moralitas politik. Kejujuran menjadi “batu sendi” dalam menegakan sebuah nurani yang bersih. Berpolitik dengan mengabaikan kejujuran, sama halnya berpolitik tanpa nurani maka akibat yang muncul adalah pengabaian beberapa aspek penting bahkan tujuan yang mau dicapai tidak mengena pada sasaran.
Berpolitik perlu diimbangi dengan tatanan hati nurani yang bersih sebagai bagian integral dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera. Berpolitik dengan hati tidak lain adalah berpolitik dengan bersikap santun dan humanis. Politik hati nurani, seperti yang digagaskan oleh almahrum Romo Mangunwijaya, lebih menitikberatkan pada hati sebagai pusat dari aktivitas berpolitik. Wacana politik hati nurani seakan membongkar episteme masyarakat bahkan merombak mindset seorang politikus. Apakah pemilu yang berlangsung ini, baik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif benar-benar berjalan sesuai tuntutan moralitas politik yang bersih?
Moralitas politik yang bersih seperti dicanangkan oleh beberapa partai maupun caleg menjadi sesuatu yang sia-sia. Dikatakan demikian karena ketika seseorang (caleg) atau partai mengatakan diri sebagai partai yang bersih, pada saat yang sama mereka sedang memproklamirkan diri sebagai orang yang tidak bersih, jauh dari sentuhan moral politik. Dengan kata lain, para politikus sedang menegakkan sebuah nilai, tetapi pada saat yang sama mereka sedang menodai nilai itu sendiri. Nilai utama yang sering dikesampingkan adalah nilai kejujuran.
Bangsa Indonesia yang hidupnya sekian parah oleh pelbagai krisis, diakibatkan oleh ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh elite politik bangsa ini. Menyadari betapa pentingnya nilai kejujuran sebagai upaya dalam mendongkrak kepercayaan masyarakat, maka tidak mengherankan bahwa para calon politisi yang memanfaatkan momentum pemilu sebagai “peluang reklame” diri dengan mengedepankan nilai-nilai utama kejujuran sebagai koridor politik dalam merebut suara masyarakat.
Seruan politis dari para politisi memberikan warning pada masyarakat tentang sebuah kehilangan akan jati diri bangsa. Di sini, seorang politikus, terlepas dari bombastisnya, tampil sebagai perintis jalan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh jadi, seorang politik, yang karena keberaniannya dapat disejajarkan dengan seorang seniman. Chairil Anwar pernah menulis tentang seniman. Menurutnya, seorang seniman menjadi seorang perintis jalan, penuh keberanian dan tenaga hidup. Ia tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi. Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa para politikus menjadi seorang perintis sekaligus reformis yang memiliki “daya pangkas” dalam upaya membenah bangsa ini. Mereka (para caleg) akan tampil memangkas segala kepincangan yang terjadi selama ini dan memberikan arah baru dalam menuntun masyarakat luas menuju “rimba negeri” yang makmur. Tetapi dalam proses menuntun masyarakat ini perlu adanya komitmen dan garansi politik sebagai ikatan normatif bagi para politisi agar dalam melaksanakan aktivitasnya, mereka selalu bercermin pada “janji dan komitmen.” Berapa jumlah politisi yang berpegang teguh pada komitmen dan setia pada rakyat yang telah memberikan hak pilih dalam memuluskan jalan politik? Ada waktu lampau yang mendorong kita untuk berseru: “Kami ingin menuntut agar para politisi berlaku jujur dan adil.” Tetapi ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan.
Dalam sejarah perjalanan “mesin politik” bangsa ini, selalu diwarnai dengan kecurangan. Ada janji yang baik di luar gedung dewan terutama saat kampanye tetapi seketika itu mereka lupa janji seusai pulas duduk di kursi empuk. Maka konklusi politik yang muncul di permukaan yakni bahwa politik Indonesia adalah politik yang absurd yang kini mencapai titik kulminasinya. Istilah politik yang absurd mengungkapkan sebuah kegagalan bahasa seorang politikus yang tidak sanggup menerjemahkan janjinya ke dalam politik praktis. Absurditas politik mengungkapkan secara vulgar tentang kesia-siaan rakyat dalam memberikan suara dan politikus yang gagal dalam menata kehidupan bersama. Yang ada adalah pemutlakan diri untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok partai. Lalu siapakah pemimpin yang jujur untuk bakal tampil di istana untuk menjawabi kerinduan masyarakat luas? Penulis khawatir, kerinduan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan tulus, hanyalah sebuah kerinduan hampa, tidak jauh berbeda dengan “Waiting for Godot,” menunggu lakon yang tak pernah muncul di permukaan pentas.**

CALEG, “FACEBOOK DAN FACE TO FACE”

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sudah diambang pintu. Dengan keterdekatan waktu, sedikitnya memaksa para caleg (calon legislatif) untuk mencari alternatif dalam merebut suara masyarakat terutama daerah pemilih (Dapil). Pemilu dilihat sebagai “pasar politik” yang berani menawarkan pelbagai kemungkinan pada masyarakat pemilih. Tetapi dalam proses tawar-menawar, setiap caleg tentunya mencari terobosan yang berarti. Cara-cara mana saja yang sedikit lebih efektif dalam mempengaruhi massa? Media apa saja yang lebih mempan dalam memasarkan konsep, memasarkan wajah dan program-program yang bakal dilakukan oleh caleg?
Ketika melakukan perjalanan panjang, dari rumah menuju tempat kerja, ada satu pemandangan umum yang terlihat adalah wajah-wajah para caleg bergantungan pada tiang-tiang listrik dan pohon-pohon di tepi jalan. Gambar wajah para caleg sepertinya bergentayangan dan seakan menyapa para pejalan kaki dan orang-orang yang melintasi jalur ramai dengan mengendarai kendaraan. Para caleg berani masuk ke wilayah ramai, tempat kerumunan orang-orang yang barangkali memberikan suara untuk memuluskan perjalanan politik mereka.
Tidak hanya wajah yang terpampang tetapi lebih dari itu ada tulisan-tulisan singkat yang merupakan moto perjuangan mereka dan sekaligus sebagai kalimat sakti yang memiliki daya hipnotis-politis yang tinggi. Ada yang menuliskan kalimat di spanduk: “saatnya hati nurani yang berbicara.” Membaca tulisan sederhana ini memiliki pesan yang syarat makna. Pertama, bertitik tolak dari pengalaman masa lalu, para pejabat yang terlibat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara ini seolah-olah mengabaikan bisikan nurani sehingga sebagian kebijakan yang diambil agak jauh dari sentuhan kemanusiaan dan mengorbankan masyarakat kecil. Kedua, politik hati nurani seperti yang dikedepankan oleh almahrum Romo Mangunwijaya belum menjadi bagian integral dalam kehidupan politik praktis. Yang lebih ditekankan adalah rasionalitas diri yang berujung pada pembelokan nilai-nilai politik.
Para caleg dan capres maupun cawapres tidak mau ketinggalan dalam penggunaan media sebagai sarana dalam menjalin komunikasi aktif dengan masyarakat luas. Model baru perluasan wilayah politik melalui dunia maya merupakan pengaruh yang dimunculkan oleh Obama dalam berkampanye terselubung melalui facebook. Obama, yang kehadirannya dalam pentas politik seakan menjadi magnet kehidupan bagi para politisi. Tetapi apakah mungkin, target gemilang yang dicapai Obama juga menjadi “mimpi emas” para elite politik kita?
Ketika membuka facebook, aku melihat wajah-wajah para elite politik yang juga nongol di dunia internet dan dijadikan sebagai lahan subur dalam berkampanye. Mereka coba menggugah kesadaran masyarakat terutama pengguna facebook untuk melihat diri mereka, gagasan dan opini yang dibangun bersamaan dengan niat untuk merebut kursi kekuasaan. Para elite politik terutama yang berdomisili di kota-kota, memanfaatkan internet sebagai jaring sosial-politik untuk menggenggam massa dalam menentukan sikap di saat-saat menjelang pemilu. Para elite politik kota lebih cepat dalam bermobilitas. Barangkali mereka tersihir dengan kata-kata Plato, “Mereka yang lambat, tak ikut bermain.” Mereka (para elite) secara sepintas dilihat sebagai orang-orang lihai dalam berkompetisi. Hidup mereka selalu dibayangi dengan kursi kekuasaan yang menjadi sasaran terakhir dari perjuangannya. Karena kursi kekuasaan maka mereka selalu membangun strategi dalam permainan politik. Charles Baudelaire mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan maka pertanyaan filosofisnya adalah: “Maukah Anda menang atau kalah?”
Pertanyaan filosofis ini menjadi landasan dasar untuk bertarung dan menguji kedewasaan dalam berpolitik. Para politisi kita kebanyakan menyiapkan diri untuk bertarung di pentas politik tetapi belum sepenuhnya menyiapkan diri untuk menerima kemenangan atau kekalahan. Dua konsekuensi dari pertarungan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ketika kemenangan yang diraih, apakah elite politik yang bersangkutan sanggup menerjemahkan seluruh gagasan ke dalam rencana strategis yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat? Tetapi apabila kekalahanlah yang dialami dari proses pertarungan itu, sanggupkah ia (elite politik) menerima dengan lapang dada? Kekalahan menjadi pengalaman yang pahit dan memalukan dan justeru orang-orang Indonesia belum menunjukkan sikap legowo dalam berpolitik untuk menerima kekalahan sebagai proses dalam pendewasaan diri. Para pengamat sosial-politik menilai bahwa tingkat stres masyarakat semakin meningkat setelah pemilihan umum pada bulan April. Analisis yang terkesan dadakan ini dapat diterima dengan melihat fenomena caleg yang semakin menjamur yang kebanyakan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Di sini, mereka membaca peluang untuk memanfaatkan momentum pemilu sebagai bagian dari proses mencari kerja dengan resiko yang begitu berat. Apabila mengalami kegagalan maka hal ini dapat menambah matriks kekecewaan dan stres.
Seminggu yang lalu, aku mendapat SMS dari sahabatku yang menginformasikan bahwa Yos (bukan nama sebenarnya) yang menjadi caleg di kabupaten Tangerang-Banten, meninggal dunia. Diperkirakan ia meninggal karena kecapaian dalam melakukan pendekatan ke masyarakat sebagai calon pemilih. Ia hidup di kota kecil tetapi ia tidak memanfaatkan dunia internet sebagai sarana dalam berkampanye. Baginya, pendekatan pribadi (face to face) jauh lebih berharga dan jarak sosialnya tidak terlalu lebar. Kebetulan dia adalah caleg katolik maka strategi awal yang disusun adalah menemui para ketua lingkungan dan anggota-anggotanya. Ia menunjukkan wajah secara terbuka dan meyakinkan umat dalam menentukan pilihan terhadap dirinya. Sayangnya, Tuhan lebih dahulu memilih dia sebelum ia dipilih oleh masyarakat.
Para politisi meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata membawa konsekuensi yang berat. Di dalam perpolitik, ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka berpolitik menjadi perhelatan yang paling banyak digemari.***

Friday, December 19, 2008

Kesetiakawanan di Tengah Krisis Global
Jumat, 19 Desember 2008 00:25 WIB

Bambang W Soeharto
Setelah mengampanyekan jargon ”There is No Day Without Solidarity” (2007), tahun ini peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional bertema ”Bersama dan Peduli”.
Tema itu dimaksudkan untuk membangkitkan nilai-nilai solidaritas dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Sebab, kebersamaan sebagai jati diri bangsa amat diperlukan guna menghadapi tiap tantangan kebangsaan.
Perwujudan kesejahteraan rakyat di tengah krisis global saat ini, merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menggerakkan program-program pembangunan yang dijiwai semangat kesetiakawanan sosial nasional.
Terkikis zaman
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat.
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan.
Menemukan kembali
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu satu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan. Seperti apa yang selalu dikatakan Bung Karno samen bundeling van alle krachten van de natie.
Bambang W Soeharto Ketua Panitia HKSN 2008; Pimpinan Harian Dewan Koperasi Indonesia

Wednesday, October 8, 2008

MUDIK
(catatan di akhir mudik)
Oleh: Valery Kopong*

Sabtu, 27 September 2008 kami mengadakan perjalanan (mudik) ke kota Gudeg, Yogyakarta. Kami menempuh perjalanan selama 19 jam dari Purwakarta menuju Yogya. Jarak tempuh yang secara normal hanya 9 jam, tetapi karena kemacetan maka perjalanan semakin tersita. Lama kami berada dalam suasana kemacetan. Tetapi orang pada bertahan dalam antrean panjang untuk kemudian beralih dari ruang kemacetan.
Para pemudik, mengadakan perjalanan tahunan secara unik. Ada yang menggunakan mobil pribadi, mulai yang termewah sampai dengan yang sederhana. Ada juga yang menggunakan truk ataupun mobil box. Yang lebih ramai adalah para pemudik yang menggunakan sepeda motor. Memang, dalam perjalanan itu terlihat bahwa resiko sangat tinggi untuk terjadinya kecelakaan. Seperti yang aku saksikan sendiri pada dini hari, seorang pengendara motor terjatuh dalam suasana yang gelap. Ia mungkin ngantuk dan kecapaian sehingga pada akhirnya terjatuh bersama motor kesayangannya.
Dalam suasana hiruk pikuk seperti itu, terlintas sebuah pertanyaan sederhana. Untuk apa orang melakukan mudik? Apakah peristiwa ini menjadi show religius karena perjalanan ini dilakukan untuk menyambut kedatangan lebaran, hari nan fitri? Kalau ini merupakan sebuah show religius maka yang melakukan mudik hanya orang-orang muslim. Tetapi justeru saat ini merupakan moment yang baik, tidak hanya untuk orang-orang muslim tetapi juga untuk orang-orang non muslim. Lebaran dalam konteks Jawa merupakan saat teduh untuk bersilahturami dengan keluarga, tanpa membeda-bedakan agama.
Keluarga-keluarga non muslim terutama orang-orang tua menyiapkan uang recehan untuk dibagikan kepada anak-anak yang datang menyalami mereka. Pada kesempatan itu mereka bersungkeman dengan orang tua sembari memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Aku yang bukan orang Jawa juga turut bersungkeman untuk memohon maaf dan meminta berkat dari mereka.
Lebaran, dalam konteks sosio-kultural merupakan peristiwa yang menyatukan semua pihak bahkan menyatukan orang yang sebelumnya tinggal dalam jarak yang jauh. Rumah induk mereka adalah keluarga batih, di mana mereka menggapainya dengan susah payah. Mereka tidak memikirkan resiko-resiko yang muncul di perjalanan. Yang ada pada benak para pemudik adalah berkumpul bersama keluarga. Bagi mereka, tempat kerja yang jauh adalah kesempatan sementara untuk mengalienasi diri dan pada akhirnya berkumpul dengan keluarga pada hari yang dinantikan itu. Rumah mereka di kampung merekam sejarah, imajinasi, hasrat dan biografi hidup mereka. Di rumah Joglo nan sederhana itu sudah tertanam kuat nilai nostalgia dan utopia di masa lalu.
Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota, “sebuah kemesraan yang menindas.”***

JURNALIS
Oleh: Valery Kopong*

KETIKA terpilihnya Yosef Lagadoni Herin sebagai wakil bupati Flores Timur, ada sebagian masyarakat yang mengumbar sikap pesimis terhadap pola kepemimpinan yang akan dibangun untuk Flores Timur. Alasan munculnya sikap pemismistik ini adalah bahwa seorang pemimpin yang terpilih (Bupati / wakil bupati) biasanya berlatar belakang birokrat atau pengusaha dan diharapkan nantinya bekerja secara maksimal. Tetapi latar belakang pemimpin, baik dari birokrat maupun pengusaha yang selama ini terlaksana belum menjawabi kebutuhan masyarakat. Yang birokrat, dalam bekerja terlihat kaku dan lebih banyak bekerja menghasilkan arsip. Ia lebih suka hal-hal praktis yang bisa mendatangkan uang.
Sebuah gebrakan bernuansa bisnis ini pada bulan-bulan pertama masa kepemimpinan Fernandez mendapat tanggap baik dari sebagian besar masyarakat. Tetapi peluang bisnis ini rupanya disalahkangunakan dan karena kalkulasi yang salah maka ia kemudian tidak berdaya di hadapan uang. Ia dicurigai (kalau tidak mau dituduh) korupsi uang rakyat berkenaan dengan pembelian kapal fery cepat yang telah karam. Pemimpin yang berwawasan bisnis lebih banyak memanipulasi rakyat untuk meraup keuntungan demi kepentingan pribadi dan rakyat menjadi korbannya.
Apa yang diharapkan dibalik kepemimpinan Lagadoni Herin yang seorang jurnalis? Dunia jurnalistik, oleh kebanyakan orang adalah dunia yang serba tak pasti. Sebagai jurnalis, hidupnya serba pas-pasan dan selalu berkutat dengan pena dan berita. Tentang seorang jurnalis, Goenawan Mohammad dalam “Catatan Pinggir”-nya pernah menulis tentang Gus Dur saat menjabat sebagai presiden. Menurutnya bahwa Gus Dur dengan latar belakang sebagai seorang penulis, telah membentuk dia sebagai seorang yang otoriter. Gus Dur dan apa yang dikatakannya mesti dituruti oleh masyarakat. Ia hanya tunduk pada ide yang dilahirkan sendiri dari rahim pemikirannya.
Mungkin ada benarnya, yaitu bahwa pada masa pemerintahannya ia terkesan cuek dengan omongan orang lain. Tentang keotoriteran Gus Dur, saya teringat peristiwa pada waktu dia mengunjungi Jepang. Di negeri Sakura itu ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan orang-orang Indonesia yang ada di sana. Dalam pertemuan itu seorang peserta bertanya padanya, bagaimana kalau Bapak diminta mundur dari jabatan oleh rakyat Indonesia? Apakah Bapak bersedia mundur? Dengan santainya, ia menjawab, “mau maju saja dituntun, apalagi mundur.” Suatu jawaban dalam nada humoralia tetapi memendam keotoriterannya yang jelas terlihat saat ia dipaksa mundur tetapi masih berusaha untuk bertahan di istana.
Lain Gus Dur, lain Lagadoni. Walaupun latar belakang sebagai seorang jurnalis tetapi ia pasti menunjukkan sikap terbuka terhadap masyarakat yang dengan susah payah memilihnya. Ia memanfaatkan moment ini dan memadukan sikap sebagai seorang jurnalis yang peka terhadap seluruh persoalan yang dihadapi masyarakat. Dengan telinga sebagai seorang wartawan, ia berani mendengar keluhan masyarakat Solor yang sering menderita kelaparan. Dengan pena seorang jurnalis ia mencatat, berapa bangunan sekolah dan jalan raya yang rusak sebagai akibat kurang diperhatikan pemerintah sebelumnya.
Lagadoni telah terpilih sebagai wakil bupati namun kepekaannya sebagai seorang jurnalis tak akan “terkubur” oleh jabatan duniawi itu. Memangku suatu jabatan tidak berarti memaksanya untuk memenjarakan kebebasan dia untuk menulis tentang pelbagai peristiwa. Kegelisahannya tetap terbangun saat berhadapan dengan realitas. Di sini, seorang jurnalis diasah kesadarannya untuk menginternalisasikan seluruh problem masyarakat dan pada akhirnya mencarikan jalan terbaik untuk memecahkan persoalan itu.
Seorang jurnalis mirip seorang seniman. Sebagai seorang pelukis atau penyair, ada saat-saat tertentu yang memungkinkan mereka untuk membangun rasa puas dalam dirinya. Tetapi itu cuma sekejap. Apakah seseorang yang menamakan diri sebagai penyair yang hidup sekian tahun hanya menghasilkan satu puisi? Ataukah seorang pelukis yang hanya menghasilkan satu lukisan di atas kanvas hanya karena dibatasi oleh rasa puas?
Tingkat kepuasan seorang pemimpin yang juga jurnalis tidak hanya berhenti ketika ia sudah meraih jabatan dan mendulang jutaan rupiah. Jabatan yang diemban menjadi lebih bermakna apabila ia padukan dengan dunia jurnalistik. Karenanya dalam pola kepemimpinan seperti ini, yang dihasilkan tidak hanya arsip mati yang terdokumentasi secara rapih, melainkan bagaimana ia mengolah pelbagai problema itu menjadi sebuah “buku yang hidup,” yang sanggup memberi daya juang dan inspirasi secara kolektif bagi masyarakat. Lagadoni Herin, Lewo tana (kampung halaman) Flores Timur sangat membutuhkan ketajaman penamu untuk menggoreskan kehidupan masyarakat yang serba terpuruk dan janganlah tunduk pada idemu sendiri seperti Gus Dur tetapi tunduklah pada idemu dan aspirasi masyarakat, sumber suara yang telah mengantarmu untuk menggenggam jabatan terhormat itu.***

Thursday, September 25, 2008

AMIR HAMZAH DAN KESADARAN HISTORIS

(Telaah Atas Puisi “Hanya Satu”)

Oleh: Valery Kopong*

PUISI sebagai bagian dari karya sastra yang dihasilkan oleh para penyair, mengedepankan pelbagai aspek yang membentuk bangunan puisi dan seluruh aspek yang membentuknya menarik untuk dikaji. Dikatakan menarik karena di dalam puisi itu termuat pelbagai dimensi kehidupan yang terangkum dalam penggalan kata. Pemilihan kata (diksi) oleh penyair merupakan suatu seni untuk memperhadapkan dua realitas berlawanan, yakni realitas batin dan realitas sosial. Walaupun berlawanan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Realitas sosial membentangkan kenyataan dan sekaligus memberikan inspirasi pada penyair untuk mengakumulasikan realitas itu ke dalam olahan jiwa.

Untuk memahami lebih jauh tentang puisi dengan penggalan kalimat yang pendek sekaligus mewakili realitas sosial, membutuhkan sebuah penafsiran yang mendalam. Dalam interpretasi subjektif, seorang penafsir dapat menemukan unsur batin dan unsur sosial yang masih tersembunyi bagi pembaca. Penafsiran yang dilakukan terhadap puisi harus dilihat secara komprehensif tentang latar belakang kehidupan seorang penyair dan alasan penulisan puisi tersebut. Hal ini berarti bahwa seorang penafsir mestinya masuk ke kedalaman wilayah pribadi seorang penyair.

Amir Hamzah dan puisi-puisinya sulit dipahami oleh para pembaca. Kesulitan pembaca dalam menafsir puisinya dikarenakan oleh penggunaan kata-kata lama dan kata-kata dalam bahasa daerah mengkonstruksi puisinya. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi diri pada puisi berjudul “Hanya Satu” untuk ditelaah dari aspek teologis, sosiologis dan filosofis.

Kekuatan Makna Puisi

Seorang penyair memiliki kesanggupan untuk membahasakan alam semesta hanya dengan beberapa penggalan kalimat. Setiap kalimat yang dipakai memiliki makna dan mewakili sisi tertentu dari objek yang diimajinasikan. Pada momen ini seorang penyair berkutat dengan daya ratio yang dibangkitkan untuk berimajinasi dan mempertemukan pelbagai unsur dalam suatu kerangka kalimat.

Penyair tidak hanya membangun relasi dengan sesama lewat puisi yang dihasilkannya tetapi juga ia menjalin hubungan vertikal-transendental dengan Yang Maha Ada.

Dalam puisi “Hanya Satu”, karya Amir Hamzah terdiri dari dua bagian, bagian pertama melukiskan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Pada bait pertama ini Amir Hamzah menggambarkan kehendak Tuhan yang bebas. Kebebasan ini nampak ketika Tuhan sendiri menurunkan hujan dan mendatangkan sebuah bencana. Walaupun Tuhan tahu bahwa bencana itu menyiksa manusia tetapi toh Ia anugerahkan juga sebagai pemusnahan tingkah laku dan pribadi manusia sendiri yang telah membangun sebuah hidup di luar kontrol peringatan Tuhan.

Membiarkan manusia untuk berada dalam kebinasaan adalah suatu keharusan bagi Tuhan dan sebagai tindakan purifikatif. Dunia telah dinodai manusia yang ditempatkan oleh Tuhan dan atas kehendak Tuhan yang sama diadakan sebuah pemulihan. Pemulihan tidak berarti dilakukan dengan jalan damai, melainkan dengan sebuah konfrontasi. Bencana lalu menjadi sarana penyapaan Tuhan terhadap manusia yang selama itu telah menutup pintu batinnya terhadap intervensi Tuhan. Bencana yang diturunkan Tuhan mendatangkan ketakutan mendalam dari manusia seperti dilukiskan penyair pada bait yang kedua.

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkar pokok purba

….

Sebagai manusia biasa, tentunya mereka lari dari bencana untuk dapat meluputkan diri. Manusia boleh berusaha tetapi kehendak Tuhan lebih mendominasi untuk berusaha melenyapkan nyawa manusia. Manusia boleh lari namun pelariannya menemukan titik kulminasi keberakhiran. Pada momen yang mendebarkan itu, Tuhan, dengan bantuan air bah melenyapkan nyawa manusia. Peristiwa pemusnahan manusia ini memunculkan suatu ketakutan yang mendalam sebagai gambaran manusiawi manusia.

Teriak riuh redam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilau kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

….

Harapan akan keselamatan nyawa manusia yang meninggal akibat bencana menjadi serba suram. Kematian yang tragis tidak menjadikan mereka untuk meraih sebuah keselamatan sebagai upah terhadap hidup yang pahit tetapi malah Tuhan sendiri, di dalam kegelapan peristiwa tragis itu memberikan tanda bahwa mereka akan ditempatkan di neraka, yang di dalam puisi dilambangkan dengan api yang membara. Di sini, penulis melihat kemarahan Tuhan yang mendendam terutama kepada manusia yang sudah ditegur oleh Tuhan namun tidak mau bertobat. Tuhan hanya mementingkan pribadi seorang Nuh dan keluarganya yang bersikap tanggap terhadap bisikanNya ketimbang nyawa orang banyak. Pada peristiwa ini Tuhan mengedepankan kualitas iman dan bukannya kuantitas manusia yang mengingkarinya.

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh Nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

….

Kisah Nuh pada bait di atas ini mengingatkan kita akan keberpihakan Tuhan pada orang yang dikasihinya. Mengasihi manusia, bagi Tuhan memiliki hubungan relasional. Itu berarti bahwa ketika manusia dikasihi Tuhan, pada saat yang sama ia menunjukkan partisipasi aktif, ada tanggap balik di dalam hubungan relasional itu. Tuhan menegur dengan suatu harapan untuk menata kehidupan manusia dan di sini dituntut kepekaan hati untuk mendengar dan menanggapi bisikan Tuhan.

Nabi Nuh dalam relasinya dengan Tuhan diibaratkan oleh Amir Hamzah sebagai kekasih. Sebagai kekasih berarti sama-sama menunjukkan suatu keterlibatan secara penuh dan aktif. Nuh dalam kerangka perlindungan pada akhirnya menuai keselamatan. Keselamatan Nuh dimengerti sebagai upah yang ditanam olehnya pada tahun-tahun selama keberadaannya dengan Tuhan.

Dalam bait yang terakhir, Amir Hamzah menyatakan rahmat Tuhan kepada nabi Ibrahim serta kedua puteranya, Ishak dan Ismail.

Bersemayam sempana di jemala gembala

Duriat jelita bapaku Ibrahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

….

Amir Hamzah dalam puisi ini menampilkan tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang mempunyai kharisma dan kesalehan untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan publik. Ibrahim (Abraham) dipilih oleh Allah menjadi Bapa Bangsa. Penunjukkan dirinya menjadi Bapa Bangsa berarti bersedia menanggung apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan (Yahwe) memberikan cobaan yang menunjukkan bukti kesetiaannya pada Tuhan. Pengorbanan anaknya Ismail (menurut teologi Islam) memperlihatkan keterbukaannya pada Tuhan. Baginya, memberikan sesuatu kepada Tuhan merupakan suatu keharusan dan wujud ketaatan, walau pemberian itu berupa nyawa sekalipun. Ibrahim yang dicobai dengan mempersembahkan puteranya tidak menampilkan prinsip “do ut des” (saya memberi untuk kemudian saya menerima). Tetapi di sini berlaku hukum loyalitas-spiritual, di mana seluruh ketaatan selalu terpancar dari spiritualitas hidup.

Amir Hamzah dan Kesadaran Historis

Penyair Amir Hamzah selalu berada dalam waktu dan daya imajinasinya cukup fleksibel untuk masuk ke dalam ruang-ruang waktu. Dalam puisinya “Hanya Satu”, Amir Hamzah menampilkan keterlibatannya secara imajinatif bersama tokoh-tokoh dan peristiwa masa lampau yang tidak dialaminya secara langsung. Melalui kisah biblis, ia mengembangkan sebuah “teologi puisi” yang memiliki nilai teologis dan sosiologis. Untuk memahami masa lampau peristiwa ini, seorang penyair, secara khusus Amir Hamzah mencoba mengasah kesadaran historis untuk melihat masa lampau dan turut terlibat di dalamnya.

Kehebatan Amir Hamzah dalam puisi ini adalah mengedepankan masa lampau dan memperhadapkan dengan masa kini serta memberikan suatu proyeksi untuk masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini dikaitkan secara berantai untuk ditemukan multi makna. Baginya, saat sekarang (masa kini) menyatukan masa silam dan masa depan. Pada masa kini, masa lampau dilihat sebagai kenangan dan berdasarkan kenangan itu orang bisa membuat ‘retrospeksi’ dan ‘retrodiksi’ (mengatakan sesuatu tentang masa lampau)

Melalui cerita biblis, Amir Hamzah menghidupkan kembali peristiwa yang menyejarah itu lewat penggalan puisi. Puisi menampilkan ‘bahasa kesadaran’ masa lampau dan dengannya para pembaca menerima peristiwa dan nilai masa lampau itu sebagai yang terberi. Di sini, seorang penyair sekaligus dilihat sebagai sejarahwan yang membangkitkan ingatan masa lampau penuh kenangan. Terhadap peristiwa ini, aliran idealisma dalam filsafat menegaskan bahwa masa silam harus diterima sebagai sesuatu yang hidup dan diperbaharui lagi untuk memenuhi tuntutan masa kini.

Dalam kaitan dengan pandangan yang diberikan oleh aliran idealisme, memunculkan suatu perbedaan yang tajam antara ‘historie’ dan ‘geschichte’. Historie menunjuk pada himpunan fakta-fakta historis yang menjadi bahan mentah untuk diteliti dan diberi arti agar manusia dapat memahaminya. Sedangkan ‘geschichte’ menunjuk pada usaha menafsirkan dan memahami perjalanan manusia dalam waktu, sejauh itu terungkap dalam kejadian-kejadian. Geschicte merupakan cara khusus untuk menjawabi tuntutan-tuntutan untuk memahami pertanyaan menyangkut arti eksistensi yang berakar pada masa lampau, dihayati pada masa kini dan terarah ke masa depan.

Puisi “Hanya Satu” milik Amir Hamzah dilihat sebagai puisi bernilai sejarah. Originalitas puisi menggagas manusia dalam tindakannya, yang satu menunjukkan keberpihakan dengan Tuhan dan yang lainnya membelok dari hadapanNya. Seluruh perilaku manusia dilukiskan lewat kata yang membentuk kalimat dan menunjukkan kebermaknaan. Martin Heidegger, filsuf eksistensialis menegaskan kekuatan kata-kata yang sanggup memberikan arti tertentu berdasarkan zamannya. Komunikasi verbal dalam puisi sengaja dibangun untuk mengantar orang sebagai mitra bicara agar terlibat dengan kehidupan imajinasi seorang penyair. Penyair adalah sosok yang menghidupkan kembali masa lampau, mengungkapkan pesan-pesan tertentu dari zaman yang jauh dan menghadirkannya pada masa kini dengan nilai sejarah berharga lewat untaian kata.***

Wednesday, September 24, 2008

Lonceng Kematian Sekolah Swasta
Rabu, 24 September 2008 00:20 WIB
S BELEN
Tahun 2009, anggaran pendidikan mendapat tambahan Rp 46,15 triliun hingga menjadi Rp 224 triliun (20 persen APBN). Penghasilan guru dan dosen PNS terendah minimal Rp 2 juta, belum termasuk kenaikan kesejahteraan sekitar 14-15 persen gaji pokok.
Kabar menggembirakan bagi guru dan dosen PNS itu ternyata tak dinikmati guru sekolah swasta. Bagi mereka, ketentuan itu hanya menjadi pelipur lara. Guru nonsarjana hanya mendapat subsidi tunjangan Rp 50.000 dan guru S-1 Rp 100.000 per bulan (Kompas, 10-12/9/2008).
Tambahan ini akan digunakan untuk menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), menambah guru madrasah, rehabilitasi sekolah, peningkatan sarana sekolah, peningkatan kualitas pendidikan nonformal, dan penelitian pendidikan.
Lonceng kematian
Pada era reformasi, gaji PNS—termasuk guru PNS—berkali-kali dinaikkan pemerintah. Hal ini memaksa yayasan swasta menyetarakan gaji guru dengan guru PNS. Akibatnya, alokasi dana untuk gaji guru di sekolah swasta favorit di perkotaan yang dulu sekitar 60 persen dari total anggaran kini 70 persen hingga 85 persen. Jika ditambah insentif pemerintah daerah, terutama di Jakarta dan Kalimantan Timur, jurang penghasilan guru PNS dan swasta kian lebar.
Bantuan dana BOS bagi swasta tak memecahkan masalah karena terbanyak untuk gaji guru. Nasib guru sekolah swasta menyedihkan. Sebuah SMA swasta di Jakarta hanya mampu menggaji Rp 1 juta bagi guru yang sudah mengabdi 12 tahun. Di Yogyakarta ada guru yang masih digaji Rp 300.000. Banyak sekolah seperti ini. Kesejahteraan guru PNS akan kian cerah pada masa depan. Dapat diramalkan, sekolah swasta akan gulung tikar. Ini merupakan lonceng kematian sekolah swasta.
Dampak
Banyak sekolah swasta—Taman Siswa, Muhammadiyah, sekolah NU, sekolah swasta Islam lain, sekolah Katolik maupun sekolah Kristen—akan terkubur. Ada yang bertahan hidup, tetapi ibarat kerakap di atas batu. Mereka akan sulit mempertahankan mutu karena dana untuk proses belajar-mengajar (PBM) dan pelatihan guru drastis berkurang.
Padahal, sekolah-sekolah ini amat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pencerdasan bangsa. Di seluruh Indonesia sekolah swasta umumnya lebih bermutu daripada sekolah negeri. Data nilai evaluasi murni UN menunjukkan kenyataan ini. Jika sekolah swasta hilang dari peredaran, bangsa ini akan ”kehilangan” besar.
Yayasan sekolah swasta yang besar berkiprah tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan, bahkan di wilayah terpencil. Untuk bertahan hidup, digunakan subsidi silang. Kebijakan diskriminatif pemerintah akan berakibat tewasnya sekolah di kota. Selanjutnya sekolah di pedesaan akan ditutup. Mengapa pemerintah memilih menaikkan gaji guru PNS saja? Jika sekolah swasta di pedesaan ditutup, angka partisipasi anak usia wajib belajar pasti menurun. Karena itu, DPR hendaknya mempertimbangkan dampak ini dalam membahas alokasi dana tambahan ini.
Negara lain
Perkembangan di dunia menunjukkan gejala yang mirip. Pemerintah Inggris membangun sekolah negeri, tetapi juga tetap mempertahankan sekolah swasta yang berciri khas. Dana pendidikan termasuk gaji guru tidak dibedakan. Gejala ini juga terjadi di Malaysia dan Barat. Sekolah swasta umumnya tetap mempertahankan ciri khas meski hampir seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.
Di Malaysia hampir 50 tahun pemerintah berusaha menghapus sekolah swasta China, Tamil, dan Islam, tetapi sekolah-sekolah itu tetap bertahan hidup. PM Mahathir Mohamad bahkan secara khusus berusaha menghapus sekolah swasta Islam yang disebut sekolah agama rakyat (SAR), tetapi tak berhasil. Untuk sekolah swasta China, Tamil, dan Islam yang independen, pemerintah memberi subsidi sarana dan gaji guru.
Dulu Presiden Soeharto pernah berkata kepada Gubernur NTT Ben Mboy. ”Sekolah negeri dan swasta memang masih dibedakan. Namun, pada masa depan jika pemerintah sudah mampu, tidak akan dibedakan. Dana untuk pembangunan gedung, sarana, dan gaji guru sekolah swasta ditanggung pemerintah.”
Saat itu, perbedaan sekolah negeri dan swasta hanya pada papan nama sekolah. Kini tiba saatnya pemerintah mengakhiri tindak diskriminatif terhadap sekolah swasta saat 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan.
Argumen
Argumen yang mendasari usul ini adalah, pertama, uang negara, yakni uang rakyat yang juga berasal dari pajak rakyat. Karena itu, perlakuan pemerintah harus sama. Sekolah swasta juga mendidik anak bangsa.
Kedua, sekolah negeri menunjukkan ciri pengelolaan seperti lembaga pemerintah. Kurang efisien, tak bersemangat wirausaha, dan kurang motivasi meningkatkan mutu. Adapun sekolah swasta memiliki elan vital mewujudkan visi dan misi khas serta bergantung kepercayaan masyarakat. Lebih inovatif karena didorong nilai tambah yang ditawarkan untuk meningkatkan nilai jual. Penerapan asas subsidi silang menjamin kelangsungan hidup sekolah di pedesaan. Sekolah dikelola seperti bisnis. Prinsip efisiensi konsisten dilaksanakan.
Ketiga, di suatu negara selalu ada kelompok masyarakat yang berjuang mewariskan nilai-nilai khas budaya, etnis, agama, dan ideologi. Upaya pemerintah menghapus sekolah swasta cenderung tak berhasil. Hal ini juga terlihat di AS. Sekolah swasta Kristen tetap hidup sejak akhir abad ke-19 hingga kini meski pemerintah selalu berusaha menghapus. Mutunya lebih baik dan penggunaan dana tetap efisien. Gejala ini juga terlihat di Indonesia. Di berbagai daerah, mutu sekolah swasta cenderung lebih unggul. Sekolah negeri yang bermutu umumnya hanya satu-dua di kota besar. Tibalah saatnya pemerintah menggunakan bisikan nurani dalam mengambil kebijakan pendidikan.
S BELEN Pemerhati Pendidikan

Monday, September 22, 2008

Latar belakang

Karol Wojtyła pada usia 12 tahun.
Karol Wojtyła pada usia 12 tahun.

Karol Józef Wojtyła (dilafazkan sebagai: voi-TI-wa; IPA: /ˈkarɔl ˈjuzef vɔjˈtɨwa/) lahir pada 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan, sebagai seorang anak opsir pada Tentara Kekaisaran Habsburg Austria, yang juga bernama Karol Wojtyła. Pada 1941, Karol sudah kehilangan ibunya, ayahnya dan kakak lelakinya. Masa kecilnya terpengaruh kontak intensif dengan komunitas Yahudi di Kraków, yang kala itu berkembang dan pengalaman buruk pendudukan Nazi. Semasa itu Karol bekerja di tambang batu dan pabrik kimia. Pada masa mudanya, Karol adalah seorang olahragawan, pemain sepak bola, pemain sandiwara, penulis sandiwara, dan menguasai bermacam-macam bahasa. Ketika menjabat di kemudian hari, bahasa yang dikuasainya secara fasih adalah: Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi.

Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor pada 1 November 1946. Karol kala itu mengajar ilmu etika di Universitas Jagiellonian, Kraków dan kemudian di Universitas Katolik Lublin. Pada 1958 Karol diangkat menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop (?)), Uskup Kraków dan empat tahun kemudian meneruskannya menjadi Uskup dengan gelar Vicar Capitular. Pada 30 Desember 1963, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Uskup Agung Kraków. Sebagai uskup dan uskup agung, Wojtyła ikut serta menghadiri Konsili Vatikan II, dan memberikan kontribusi pada dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Pernyataan tentang Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes), dua hasil utama Konsili, ditilik dari sudut pandang historis dan pengaruhnya.

Pada 1967 Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Kardinal. Pada Agustus 1978, pada wafatnya Paus Paulus VI, Karol menghadiri konklaf Paus yang memilih Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Pada usia 65, Luciani bisa dikatakan masih muda sebagai Paus. Wojtyła pada usia 58 masih bisa mengharapkan untuk menghadiri sebuah konklaf Paus lainnya sebelum mencapai usia 80 tahun (usia maksimal dalam mengikuti konklaf). Namun tidak dikira bahwa ternyata konklaf selanjutnya datang begitu cepat pada 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Pada Oktober 1978 Wojtyła kembali ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua dalam waktu kurang dari dua bulan.

Paus Yohanes Paulus II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Yohanes Paulus II
Nama lahir Karol Wojtyla
Mulai menjabat 16 Oktober 1978
Sampai 2 April 2005
Pendahulu Yohanes Paulus I
Pengganti Benediktus XVI
Lahir 18 Mei 1920
Wadowice, Polandia
Wafat 2 April 2005
Istana Apostolik, Vatikan
Paus bernama Yohanes Paulus lainnya
Catatan kaki
{{{footnotes}}}

Paus Yohanes Paulus II (nama asli: Karol Józef Wojtyła, lahir di Wadowice, Polandia pada tanggal 18 Mei 1920 dan wafat pada 2 April 2005), adalah Paus, Uskup Roma, dan kepala Gereja Katolik Roma sejak 16 Oktober 1978 hingga kematiannya. Dia juga pemimpin dari Negara Kota Vatikan, negara berdaulat dengan luas terkecil di dunia.

Paus Yohanes Paulus II diangkat pada usia 58 tahun pada tahun 1978. Dia adalah Paus non-Italia pertama sejak Paus Adrianus VI, yang menjabat untuk sesaat antara tahun 1522-1523. Dia memerangi komunisme, kapitalisme yang tak terkendali dan penindasan politik. Dia dengan tegas melawan aborsi dan membela pendekatan Gereja Katolik Roma yang lebih tradisional terhadap seksualitas manusia.

Dia telah melakukan lawatan ke luar negeri lebih dari 100 kali dan menarik perhatian masyarakat yang besar. Selain itu, masa tugasnya sebagai Paus adalah yang ketiga terlama dalam sejarah, setelah Paus Pius IX dan Santo Petrus. Pada tahun 1989, beliau mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan DIY) dan Dili (Timor Timur). Setelah berkunjung ke Indonesia, komentarnya ialah: "Tidak ada negara yang begitu toleran seperti Indonesia di muka bumi." [sic]

Sang Paus telah didiagnosa dengan penyakit Parkinson sejak tahun 2001 sehingga pendengaran dan pergerakannya terbatas. Pada 31 Maret 2005, Paus terkena "demam tinggi yang disebabkan infeksi pada saluran uriner" namun tidak dibawa ke rumah sakit di Roma, karena keinginannya untuk meninggal di Vatikan. Pada hari yang sama, dia diberikan Sakramen Perminyakan oleh Gereja Katholik Roma, pertama kalinya sejak percobaan pembunuhan terhadapnya pada tahun 1981 oleh Mehmet Ali AÄŸca, seorang ekstremis sayap kanan berwarganegara Turki dan berfaham fasisme.

Keadaannya semakin memburuk hingga akhirnya dia meninggal pada 2 April pukul 19:37 UTC (02:37 WIB), pada usia 84 tahun. Sri Paus dimakamkan enam hari kemudian pada 8 April di Basilika St. Petrus. Pada awalnya, Mehmet Ali Agca, penembak Paus ingin datang ke pemakaman Paus di Vatikan dengan menggunakan haknya untuk keluar penjara selama 72 jam. Sayangnya, permohonan tersebut ditolak pemerintah Turki namun keluarganya, Adnan Agca, dapat menghadiri pemakaman tersebut.

Friday, September 19, 2008

Lukisan Yesus versi Jawa

29 November 2007



Alkitab mengatakan, Yesus Kristus atawa Isa Almasih lahir di Betlehem, Palestina, negerinya mendiang Yasser Arafat. Namun, lukisan-lukisan Yesus yang beredar selama ini menampilkan sosok pria berwajah Eropa, berkumis, rambut gondrong. Sebagai pelukis asli Jawa, berproses cukup lama di Jogjakarta, Stevanus Djoko Lelono mengaku sangat tidak sreg.

"Yesus kok potonganne kayak Londo. Kok nggak kayak wong Palestina utowo Arab?" ujar Djoko Lelono kepada saya di rumahnya, Sidoarjo. [Yesus kok potongannya seperti bule Eropa? Kok tidak seperti orang Palestina atau Arab.]

Dia lalu menceritakan keresahan batinnya pada 1970-an di Jogja dulu. Setiap menjelang Natal, Djoko berusaha mendalami kisah kelahiran Yesus Kristus di Injil Lukas. Ada gembala sederhana. Kandang hewan. Orang-orang kecil yang sangat menderita. "Saya akhirnya bisa membayangkan kok mirip banget dengan keadaan di desa-desa Jawa saja. Kayak wong cilik di sawah, kampung-kampung."

Dari sinilah, Djoko mulai berani memainkan kreativitasnya untuk menggambarkan beberapa peristiwa Kristiani. Mau tahu bagaimana Yesus lahir dulu? Djoko melukis seorang ibu berkebaya biru dengan bayi dan gentong. Mirip dengan peristiwa kelahiran biasa di kampung-kampung.

Tidak ada gembala, kandang hewan, malaikat, tiga majus, dan seterusnya. "Soalnya, saya bayangkan Yesus itu lahir di Tanah Jawa," ujar Djoko Lelono, serius.

Djoko juga menggambar 'Perjamuan Terakhir' antara Yesus dengan 12 muridnya. Lagi-lagi gayanya khas wong tani di Jawa. Yesus duduk di tengah-tengah, badannya kurus, pakai topi khas petani Jawa. Tiga belas orang itu mengelilingi makanan rakyat yang siap disantap.

"Perjamuan itu kayak petani yang syukuran atau pesta panen. Saya menganggap Yesus dan murid-muridnya, ya, seperti itu," ujar pria kelahiran Sidoarjo, 21 Agustus 1959, itu.

Tak lupa Djoko Lelono menampilkan Yudas Iskariot, rasul yang mengkhianati Yesus. Si Yudas ini berada di bagian belakang dan tampak menyembul senjata tajam (arit) di balik bajunya.

Lukisan-lukisan semacam ini, kata dia, cukup banyak penggemarnya namun sulit berkembang di Jawa Timur, khususnya Sidoarjo. Selain apresiasi masyarakat masih jauh dibandingkan Jogja, "Di Sidoarjo dan Surabaya belum ada tempat untuk memamerkan karya-karya yang dulu sangat sering saya buat di Jogjakarta," ujar seniman yang
pernah membuat rekor lukisan terpanjang versi Museum Rekor Indonesia (MURI).

Mengapa Djoko begitu getol 'men-Jawa-kan' cerita-cerita Alkitabiah? Ia mengaku tak punya pretensi apa-apa, tak punya motivasi teologis, selain keresahannya sebagai orang Jawa belaka. Bertahun-tahun ia melihat gambaran Yesus yang sangat khas Eropa, jauh dari potret manusia Jawa, dan itu membuatnya merasa asing.

"Gereja dan Yesus menjadi barang asing di masyarakat karena gambaran yang sangat Eropa tadi," tukasnya.

Ulah Djoko Lelono ini sebetulnya sudah banyak dilakukan seniman-seniman di Jepang, Korea, atau Afrika.Mereka sejak lama membuat lukisan Yesus sesuai dengan budaya dan adat-istiadat setempat. Jangan heran ada 'The Black Jesus', gambaran Yesus
ala kaum negro, dan seterusnya.

Ternyata, proses 'Jawanisasi' ala Djoko Lelono ini mendapat apresiasi positif dari pimpinan Gereja Katolik. Pada 1993 lalu Djoko mendapat medali 'Redemptor Hominis' dari Paus Yohanes Paulus II lewat Duta Besar Vatikan untuk Republik Indonesia. "Mungkin di seluruh Indonesia baru saya sendiri yang mendapat medali itu," ujar Djoko lalu memperlihatkan medali kecil tersebut.