Thursday, April 2, 2009

MENCARI ORANG JUJUR

Oleh: Valery Kopong*

Komisi pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang dagangan dan uang yang merupakan hasil pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur tanpa perlu dikontrol?
Mencari orang jujur pada saat ini untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang pemilu 2009, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan jujur. Ada yang mau mencalonkan diri sebagai calon legislatif, dan ada pula yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ada kelompok kaum muda yang ingin tampil di atas pentas politik dan menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri maupun partai. “Pilih aku sebagai caleg yang bersih dan peduli. Atau pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh caleg maupun partai, hanyalah merupakan jargon politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Realitas telah membuktikan bahwa ketika orang terjun ke dalam dunia perpolitikan, secara perlahan menisbikan kejujuran yang seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun kesadaran dan moralitas politik. Kejujuran menjadi “batu sendi” dalam menegakan sebuah nurani yang bersih. Berpolitik dengan mengabaikan kejujuran, sama halnya berpolitik tanpa nurani maka akibat yang muncul adalah pengabaian beberapa aspek penting bahkan tujuan yang mau dicapai tidak mengena pada sasaran.
Berpolitik perlu diimbangi dengan tatanan hati nurani yang bersih sebagai bagian integral dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera. Berpolitik dengan hati tidak lain adalah berpolitik dengan bersikap santun dan humanis. Politik hati nurani, seperti yang digagaskan oleh almahrum Romo Mangunwijaya, lebih menitikberatkan pada hati sebagai pusat dari aktivitas berpolitik. Wacana politik hati nurani seakan membongkar episteme masyarakat bahkan merombak mindset seorang politikus. Apakah pemilu yang berlangsung ini, baik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif benar-benar berjalan sesuai tuntutan moralitas politik yang bersih?
Moralitas politik yang bersih seperti dicanangkan oleh beberapa partai maupun caleg menjadi sesuatu yang sia-sia. Dikatakan demikian karena ketika seseorang (caleg) atau partai mengatakan diri sebagai partai yang bersih, pada saat yang sama mereka sedang memproklamirkan diri sebagai orang yang tidak bersih, jauh dari sentuhan moral politik. Dengan kata lain, para politikus sedang menegakkan sebuah nilai, tetapi pada saat yang sama mereka sedang menodai nilai itu sendiri. Nilai utama yang sering dikesampingkan adalah nilai kejujuran.
Bangsa Indonesia yang hidupnya sekian parah oleh pelbagai krisis, diakibatkan oleh ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh elite politik bangsa ini. Menyadari betapa pentingnya nilai kejujuran sebagai upaya dalam mendongkrak kepercayaan masyarakat, maka tidak mengherankan bahwa para calon politisi yang memanfaatkan momentum pemilu sebagai “peluang reklame” diri dengan mengedepankan nilai-nilai utama kejujuran sebagai koridor politik dalam merebut suara masyarakat.
Seruan politis dari para politisi memberikan warning pada masyarakat tentang sebuah kehilangan akan jati diri bangsa. Di sini, seorang politikus, terlepas dari bombastisnya, tampil sebagai perintis jalan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh jadi, seorang politik, yang karena keberaniannya dapat disejajarkan dengan seorang seniman. Chairil Anwar pernah menulis tentang seniman. Menurutnya, seorang seniman menjadi seorang perintis jalan, penuh keberanian dan tenaga hidup. Ia tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi. Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa para politikus menjadi seorang perintis sekaligus reformis yang memiliki “daya pangkas” dalam upaya membenah bangsa ini. Mereka (para caleg) akan tampil memangkas segala kepincangan yang terjadi selama ini dan memberikan arah baru dalam menuntun masyarakat luas menuju “rimba negeri” yang makmur. Tetapi dalam proses menuntun masyarakat ini perlu adanya komitmen dan garansi politik sebagai ikatan normatif bagi para politisi agar dalam melaksanakan aktivitasnya, mereka selalu bercermin pada “janji dan komitmen.” Berapa jumlah politisi yang berpegang teguh pada komitmen dan setia pada rakyat yang telah memberikan hak pilih dalam memuluskan jalan politik? Ada waktu lampau yang mendorong kita untuk berseru: “Kami ingin menuntut agar para politisi berlaku jujur dan adil.” Tetapi ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan.
Dalam sejarah perjalanan “mesin politik” bangsa ini, selalu diwarnai dengan kecurangan. Ada janji yang baik di luar gedung dewan terutama saat kampanye tetapi seketika itu mereka lupa janji seusai pulas duduk di kursi empuk. Maka konklusi politik yang muncul di permukaan yakni bahwa politik Indonesia adalah politik yang absurd yang kini mencapai titik kulminasinya. Istilah politik yang absurd mengungkapkan sebuah kegagalan bahasa seorang politikus yang tidak sanggup menerjemahkan janjinya ke dalam politik praktis. Absurditas politik mengungkapkan secara vulgar tentang kesia-siaan rakyat dalam memberikan suara dan politikus yang gagal dalam menata kehidupan bersama. Yang ada adalah pemutlakan diri untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok partai. Lalu siapakah pemimpin yang jujur untuk bakal tampil di istana untuk menjawabi kerinduan masyarakat luas? Penulis khawatir, kerinduan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan tulus, hanyalah sebuah kerinduan hampa, tidak jauh berbeda dengan “Waiting for Godot,” menunggu lakon yang tak pernah muncul di permukaan pentas.**

2 comments:

aktor favorite said...

kejujuran adalah suatu yang amat penting agar dapat mendapat suatu kepercayaan dari orang lain. terlebih jika ia adalah seorang pemimpin, diharuskan di dalam dirinya memiliki sikap jujur.. agar ia dapat menyelasaikan segala sesuatu dengan jujur dan baik..

Anonymous said...

vina xb
jujur ialah apa yang dikatakan sama dengan apa yang diperbuat. zaman sekarang ini sangatlah sulit untuk bertemu dengan orang yang jujur. bahkan orang yang berpendidikan seperti para calon anggota legislatif pun tidak bisa dipercaya begitu saja. janji janji diucapkan dengan gampangnya.tapi,, mana buktinya?? orang orang yang mengucapkan janji janji palsu tersebut dilimpahi dengan harta dan kekuasaan. tapi nasib sang pemilih tetaplah sama, menderita ditengah krisis global. padahal kalau tidak ada pemilih (rakyat) mereka semua bukan siapa siapa.
jadi,, berhati hatilah memilih para pemimpin negara