Oleh: Valery Kopong*
PEMILU sudah diambang pintu. Dengan keterdekatan waktu, sedikitnya memaksa para caleg (calon legislatif) untuk mencari alternatif dalam merebut suara masyarakat terutama daerah pemilih (Dapil). Pemilu dilihat sebagai “pasar politik” yang berani menawarkan pelbagai kemungkinan pada masyarakat pemilih. Tetapi dalam proses tawar-menawar, setiap caleg tentunya mencari terobosan yang berarti. Cara-cara mana saja yang sedikit lebih efektif dalam mempengaruhi massa? Media apa saja yang lebih mempan dalam memasarkan konsep, memasarkan wajah dan program-program yang bakal dilakukan oleh caleg?
Ketika melakukan perjalanan panjang, dari rumah menuju tempat kerja, ada satu pemandangan umum yang terlihat adalah wajah-wajah para caleg bergantungan pada tiang-tiang listrik dan pohon-pohon di tepi jalan. Gambar wajah para caleg sepertinya bergentayangan dan seakan menyapa para pejalan kaki dan orang-orang yang melintasi jalur ramai dengan mengendarai kendaraan. Para caleg berani masuk ke wilayah ramai, tempat kerumunan orang-orang yang barangkali memberikan suara untuk memuluskan perjalanan politik mereka.
Tidak hanya wajah yang terpampang tetapi lebih dari itu ada tulisan-tulisan singkat yang merupakan moto perjuangan mereka dan sekaligus sebagai kalimat sakti yang memiliki daya hipnotis-politis yang tinggi. Ada yang menuliskan kalimat di spanduk: “saatnya hati nurani yang berbicara.” Membaca tulisan sederhana ini memiliki pesan yang syarat makna. Pertama, bertitik tolak dari pengalaman masa lalu, para pejabat yang terlibat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara ini seolah-olah mengabaikan bisikan nurani sehingga sebagian kebijakan yang diambil agak jauh dari sentuhan kemanusiaan dan mengorbankan masyarakat kecil. Kedua, politik hati nurani seperti yang dikedepankan oleh almahrum Romo Mangunwijaya belum menjadi bagian integral dalam kehidupan politik praktis. Yang lebih ditekankan adalah rasionalitas diri yang berujung pada pembelokan nilai-nilai politik.
Para caleg dan capres maupun cawapres tidak mau ketinggalan dalam penggunaan media sebagai sarana dalam menjalin komunikasi aktif dengan masyarakat luas. Model baru perluasan wilayah politik melalui dunia maya merupakan pengaruh yang dimunculkan oleh Obama dalam berkampanye terselubung melalui facebook. Obama, yang kehadirannya dalam pentas politik seakan menjadi magnet kehidupan bagi para politisi. Tetapi apakah mungkin, target gemilang yang dicapai Obama juga menjadi “mimpi emas” para elite politik kita?
Ketika membuka facebook, aku melihat wajah-wajah para elite politik yang juga nongol di dunia internet dan dijadikan sebagai lahan subur dalam berkampanye. Mereka coba menggugah kesadaran masyarakat terutama pengguna facebook untuk melihat diri mereka, gagasan dan opini yang dibangun bersamaan dengan niat untuk merebut kursi kekuasaan. Para elite politik terutama yang berdomisili di kota-kota, memanfaatkan internet sebagai jaring sosial-politik untuk menggenggam massa dalam menentukan sikap di saat-saat menjelang pemilu. Para elite politik kota lebih cepat dalam bermobilitas. Barangkali mereka tersihir dengan kata-kata Plato, “Mereka yang lambat, tak ikut bermain.” Mereka (para elite) secara sepintas dilihat sebagai orang-orang lihai dalam berkompetisi. Hidup mereka selalu dibayangi dengan kursi kekuasaan yang menjadi sasaran terakhir dari perjuangannya. Karena kursi kekuasaan maka mereka selalu membangun strategi dalam permainan politik. Charles Baudelaire mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan maka pertanyaan filosofisnya adalah: “Maukah Anda menang atau kalah?”
Pertanyaan filosofis ini menjadi landasan dasar untuk bertarung dan menguji kedewasaan dalam berpolitik. Para politisi kita kebanyakan menyiapkan diri untuk bertarung di pentas politik tetapi belum sepenuhnya menyiapkan diri untuk menerima kemenangan atau kekalahan. Dua konsekuensi dari pertarungan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ketika kemenangan yang diraih, apakah elite politik yang bersangkutan sanggup menerjemahkan seluruh gagasan ke dalam rencana strategis yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat? Tetapi apabila kekalahanlah yang dialami dari proses pertarungan itu, sanggupkah ia (elite politik) menerima dengan lapang dada? Kekalahan menjadi pengalaman yang pahit dan memalukan dan justeru orang-orang Indonesia belum menunjukkan sikap legowo dalam berpolitik untuk menerima kekalahan sebagai proses dalam pendewasaan diri. Para pengamat sosial-politik menilai bahwa tingkat stres masyarakat semakin meningkat setelah pemilihan umum pada bulan April. Analisis yang terkesan dadakan ini dapat diterima dengan melihat fenomena caleg yang semakin menjamur yang kebanyakan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Di sini, mereka membaca peluang untuk memanfaatkan momentum pemilu sebagai bagian dari proses mencari kerja dengan resiko yang begitu berat. Apabila mengalami kegagalan maka hal ini dapat menambah matriks kekecewaan dan stres.
Seminggu yang lalu, aku mendapat SMS dari sahabatku yang menginformasikan bahwa Yos (bukan nama sebenarnya) yang menjadi caleg di kabupaten Tangerang-Banten, meninggal dunia. Diperkirakan ia meninggal karena kecapaian dalam melakukan pendekatan ke masyarakat sebagai calon pemilih. Ia hidup di kota kecil tetapi ia tidak memanfaatkan dunia internet sebagai sarana dalam berkampanye. Baginya, pendekatan pribadi (face to face) jauh lebih berharga dan jarak sosialnya tidak terlalu lebar. Kebetulan dia adalah caleg katolik maka strategi awal yang disusun adalah menemui para ketua lingkungan dan anggota-anggotanya. Ia menunjukkan wajah secara terbuka dan meyakinkan umat dalam menentukan pilihan terhadap dirinya. Sayangnya, Tuhan lebih dahulu memilih dia sebelum ia dipilih oleh masyarakat.
Para politisi meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata membawa konsekuensi yang berat. Di dalam perpolitik, ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka berpolitik menjadi perhelatan yang paling banyak digemari.***
Popular Posts
-
Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki ya...
-
Suster Theresia dari calcuta pernah berkata dalam sebuah buku renungannya in the silent of the heart, "Bagaimana mungkin Anda menc...
-
Tersobek wajah-Nya dikecup pasukan Yudas Ludah-ludah khianat melekat di pipi-Nya Zaitun! Zaitun….! Zaitun Aromamu membaur dalam angkara seja...
-
Pada hari Minggu, ada 3 orang lelaki Katolik pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi. Sebelum masuk ke dalam gereja, mereka berti...
Recent Posts
Categories
Unordered List
Pages
Blog Archive
Powered by Blogger.
Comments
Popular Posts

Total Pageviews
655,219
Blog Archive
www.adonaranews.com
www.adonaranews.com
Find Us On Facebook
Ad Home
Featured Video
Featured Video
Random Posts
Recent Posts
Header Ads
Labels
About Me
Foto Keluarga

Keluargaku

Foto profilku

Pemilik website
Labels Cloud
Labels
Follow Us
Pages - Menu
Popular Posts
-
Courtesy Museion Museum / ...
-
TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA ( Sebuah Analisis Sosio-kultural) Oleh: Valery ...
-
Setelah memberikan materi tentang “siapakah saudaraku” pada anak-anak Persink Gregorius, pikiranku tertuju pada keluarga dan tetangga yang...
-
Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki ya...
-
MUDIK (catatan di akhir mudik) Oleh: Valery Kopong* Sabtu, 27 September 2008 kami mengadakan perjalanan (mudik) ke kota Gudeg, Yogyakarta. K...
-
Menjadi juri pada lomba debat di SMA Tarsisius Vireta merupakan sebuah kehormatan. Memposisikan diri sebagai seorang juri dalam lomba deba...
-
KISI-KISI SOAL ULANGAN TENGAH SEMESTER 1 SEKOLAH DASAR TAHUN 2018 /2019 KELAS / SEMESTER: III/I MATA PELAJARAN: AGAMA KATOLIK DAN B...
-
UJIAN SEMESTER – SD KHARISMA BANGSA – PONDOK CABE – TANGERANG SELATAN PELAJARAN AGAMA KATOLIK KELAS: V Pilihlah salah satu jawa...
-
SATU – Air Suci Bila Anda datang ke gedung gereja, hal pertama yang Anda lakukan adalah mencelupkan tangan Anda ke dalam air suci dan ...
-
PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG DINAS PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR SWASTA INSAN TERATAI Jl. Kalimati RT.012/RW.010, Gelam Jaya, Pasar Ke...
0 komentar:
Post a Comment