Tuesday, January 8, 2013

GURU KEMANUSIAAN



Judul            : Keharuman Cinta Mother Teresa
Penulis        : Anna Farida
Penerbit     : New Agogos Publising, Jakarta 2012
                “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang  kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang miskin di sudut-sudut kota. Kecurigaan akan kristenisasi semakin kuat ketika orang melihatnya sebagai biarawati Katolik berkerudung yang sedang memperkenalkan cinta kasih itu di tengah hiruk pikuknya kehidupan di Calcuta. 
                “Ia mencari popularitas dengan berpura-pura berpihak pada orang-orang miskin,” demikian keluhan sinis seorang India ketika melihat gerak perjuangannya yang berpihak pada mereka yang tak berdaya.  Keluhan yang muncul ini adalah sebuah keluhan tanpa alasan yang pasti dan nyatanya apa yang dilakukan Teresa adalah murni gerakan kemanusiaan atas nama cinta kasih. Cinta menjadi dasar utama dalam membangun relasi dengan Tuhan dan menghayatinya dalam kehidupan sosial. Mother Teresa selalu gelisah saat berhadapan dengan realitas kehidupan yang miskin dan telantar. Orang-orang miskin dibuang di sudut-sudut kota adalah cermin nurani yang rapuh dan kemanusiaan yang hilang di tengah arogansi zaman. Untuk apa Muder Teresa berani meninggalkan biara dan melepaskan kemapanan hidup untuk bergulat dengan deru nafas kemiskinan?
                Buku novel ini memiliki sebuah kekuatan penceritaan lebih dalam, apalagi Anna Farida, si penulis novel keharuman cinta Mother Teresa adalah  seorang muslimah. Dalam kedalaman refleksinya ia menegaskan bahwa “Bunda Teresa adalah guru kemanusiaan, bukan guru ngajinya.” Tindakan humanis yang telah dicontohkan Mother Teresa tidak pernah lenyap bersamaan dengan kematiannya pada beberapa tahun yang lalu. Tetapi justeru aksi-aksi sosial dan kesalehan hidupnya menjadi contoh semua orang, lintas agama, suku, budaya bahkan lintas generasi. Anna Farida berusaha untuk menuturkan apa yang dilakukan oleh Mother Teresa kepada anak-anaknya di rumah. Bahwa kebaikan yang diperlihatkan oleh Teresa terus diwariskan kepada generasi sesudahnya dan dengan demikian cinta Tuhan semakin mekar di dunia. “Cinta itu terus berbuah di setiap musim, siapapun berhak untuk memetiknya.” Dapatkah kita memetik buah cinta dari Teresa dan membagikannya kepada orang lain?***(Valery Kopong)
                  

MASYARAKAT KATOLIK MARIANIS


(catatan misa inkulturasi)
                Paroki Santa Helena-Karawaci-Tangerang begitu terbuka dan mengapresiasi nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki oleh umatnya. Umatnya yang beragam diberi peluang untuk mengungkapkan iman dalam  konteks budaya yang dimilikinya.  Budaya yang dimiliki dan membentuk kepribadian sejak kecil dimanfaatkan sebagai sarana yang mengantar untuk memahami, siapa itu Allah yang sebenarnya. Di Gereja Santa Helena inilah umat merayakan Ekaristi dan memadukannya dengan budaya lokal. Misa inkulturasi menjadi bagian penting untuk memahami kehadiran Allah lewat beragam budaya.
                Di pagi yang cerah minggu itu, tepat 28 Oktober 2012 umat Katolik NTT yang berada di wilayah Paroki Santa Helena dan sekitarnya merayakan misa yang dihantar dengan keberagaman budaya yang dimiliki oleh setiap wilayah yang ada di NTT. Saat menampilkan lagu dan tarian mengiringi prosesi misa, seolah-olah kesadaran setiap insan yang hadir saat itu, digiring untuk mengenang kembali kisah masa lalu di kampung yang jauh di  ujung timur. “Per Mariam ad Iesum.” Inilah tema sentral yang diusung dalam perayaan bernuansa etnis NTT itu sekaligus mengingatkan kita akan peran Maria di dalam kehidupan manusia.
                Misa inkulturasi ini begitu meriah bukan hanya karena tarian dan lagu-lagu bernuansa  etnis NTT tetapi lebih dari itu karena kehadiran seorang gembala, Mgr. Vincent Sensi Potokota, Pr hadir dan bertindak sebagai selebran utama. Kedatangannya dari Flores menunjukkan betapa perhatiannya yang begitu besar terhadap umatnya sendiri yang sedang dan terus  merantau jauh di tanah Jawa. Kehadirannya menggelorakan kembali semangat hidup dan menuntun umat agar hidup di jalan yang benar. Misa inkulturasi ini dihadiri oleh 12 imam yang umumnya berasal dari Flores. Hadir pula Pastor Profesor Alex Lanur, OFM. Ribuan umat hadir dan tenggelam dalam perayaan misa inkulturasi. 
                Dalam kata pembukaannya, Mgr. Sensi mengatakan bahwa misa inkulturasi tidak sekedar seremoni belaka melainkan sebuah ungkapan iman pada Allah. “Kita masih beruntung punya seorang Bunda Maria yang kemudian menjadi ibu kita.” kehadiran Maria sangat dibutuhkan agar melaluinya kita bisa selamat dalam ziarah hidup iman kita. Kemudian di dalam khotbahnya, Uskup Agung Keuskupan Agung Ende-Flores ini memperlihatkan bahwa masyarakat Katolik NTT dikenal sebagai masyarakat Katolik Marianis, yang terungkap melalui cara-cara dalam berdevosi kepada Bunda Maria.   
                Dalam perjalanan hidupnya, Maria memperlihatkan diri sebagai ibu yang peduli dan memperhatikan orang lain. Perhatian terhadap Yesus dan orang-orang lain di sekitarnya  menjadi prioritas utama. Maria menunjukkan diri sebagai ibu yang berbela rasa dan membangun inisiatif untuk menyelamatkan orang-orang dari situasi genting. Di saat orang merasa kehilangan harapan dan bahkan kehilangan segala-galanya, Maria tampil sebagai ibu yang tidak hanya menghibur tetapi membantu dan memberikan solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
                Figur Maria perlu dicontoh karena selalu menanggalkan egoisme dan menempatkan kepentingan publik dari kepentingan pribadinya. Ia pun menyadari bahwa Yesus adalah anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus dengan meminjamkan rahimnya. Tetapi rahim Maria adalah “rahim semesta” yang menghadirkan Yesus untuk dicintai dan menjadi penebus untuk seluruh umat manusia. Yesus tidak menjadi milik diri seorang Maria tetapi ia menyadari bahwa Yesus milik umat manusia. Karenanya seluruh tindakan Yesus dan pengorbanan diri yang bermuara pada kematian di kayu salib menjadi kegelisahan dan kekuatan iman umat. Maria sungguh gelisah ketika berhadapan dengan realitas dan berperan penting dalam berkoordinasi dengan Yesus dalam upaya penyelamatan situasi.
                Mukjizat pertama pada pesta pernikahan di Kana, menunjukkan peran produktif  itu. Ia menyerahkan seluruh urusan pada Yesus, ketika tuan pesta kehabisan anggur. Melalui permintaan Maria, mukjizat pertama yang menjadi bukti keilahian Yesus terjadi. Dan paling akhir, ia bertahan di jalan salib Tuhan. “Ini menunjukkan bahwa derita Putera sungguh menjadi bagian hidupnya. Hidupnya memang selalu menunjuk kepada Yesus, bukan menyatakan kehebatan keibuannya.”
                “Tidak salah kita menuju Yesus melalui Maria, “ tegas Mgr. Sensi  di selah-selah khotbahnya.  Ziarah iman kita menuju Yesus  melalui Maria adalah sah. Mengapa melalui Maria? Ketika Ia disalibkan, ia menyerahkan Maria untuk menjadi ibu para murid dan kita semua.  Kata-kata Yesus di saat yang sangat genting menunjukkan seorang pribadi yang istimewa bagi siapa saja yang menjadi murid Yesus. Maria adalah jalan pintas untuk mencapai ziarah iman kita. Melalui Maria, kita memperoleh kepenuhan Allah yang kita cari. Maria bisa membantu kita untuk mengenal siapa itu Allah. Seperti dalam pengalaman umat Israel,  Allah tidak membiarkan sisa umat Israel hilang lenyap. Allah menjanjikan untuk mengutus seorang Mesias yang bisa menyelamatkan umat-Nya. Tuhan / Yahwe orang Israel adalah Allah yang setia. 
                Kita boleh meyakini kesetiaan Allah di tengah domba-domba-Nya. Dalam diri Yesus kita melihat ketaatannya pada Allah  yang luar biasa. Yesus  adalah representasi kehadiran Allah sendiri. Yesus sendiri sebagai  Imam Agung hanya karena ingin menghadirkan kesetiaan kepada Allah. Melalui Bunda Maria, Allah yang diimani setiap saat merangkul kita agar tidak sesat. Dalam Injil Markus yang diperdengarkan hari itu, juga menampilkan kepenuhan rahasia hidup Allah yang peka terhadap kenyataan, tidak membiarkan Bartimeus melarat di pinggir jalan.
                Allah yang kita cari mewujud dalam diri Yesus sebagai pribadi yang solider, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kiranya berkesan dan belajar dari contoh kehidupan Maria? Beriman pada Yesus tidak cukup tetapi perlu diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Kita meningkatkan keyakinan kita tentang Yesus melalui Maria. Kehadiran Yesus merupakan kehadiran keteladanan, menciptakan kehidupan kita sehingga menjadi kesaksian nyata yang merangkul satu sama lain. Hidup kita menjadi sebuah kesaksian nyata.***(Valery Kopong)    

Wednesday, January 2, 2013

MARI, IKUTLAH AKU


Di pinggir danau yang sedang disusuri Yesus, sorot mata-Nya tertuju pada dua orang bersaudara, Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya. Tidak hanya dua orang ini tetapi Yesus masih lagi memanggil dua orang bersaudara, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya. Yesus, walaupun sesaat menelusuri danau dan melihat aktivitas mereka, segera Ia memanggil murid-murid pertama ini. Apa reaksi dari para murid yang dipanggil itu? Proses pemilihan murid-murid pertama tidak memberikan sebuah kriteria yang ketat. Tetapi yang pasti adalah Yesus mengetahui kesungguhan mereka untuk mau melepaskan segala-galanya, melepaskan ikatan yang membelenggu mereka dalam mengikuti Yesus.
Menarik bahwa pekerjaan dari murid-murid perdana yang dipanggil Yesus adalah penjala ikan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang bertarung dengan tantangan alam. Deburan ombak yang terus menghantam perahu, menjadikan mereka harus mencari keseimbangan agar perahu yang mereka tumpangi tidak terbalik dan tenggelam. Pekerjaan sebagai nelayan menjadi modal dasar mereka untuk mengikuti Yesus. Dengan “jala,” milik mereka yang paling berharga, memicu mereka untuk terus menjala manusia dengan modal keberanian.
“Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.” Kata-kata Yesus ini mengubah situasi karena menarik mereka dari tengah-tengah keakraban dengan ayah yang bersama dengan mereka. Mereka meninggalkan ayah mereka sendirian di tepi danau. Hati ayah mereka tidak mengalami sebuah pemberontakan karena dia tahu bahwa Yesus lebih membutuhkan mereka untuk kepentingan pewartaan karena itu ia (ayah) mereka berani melepaskan anak mereka demi suatu tujuan yang luhur.
Mereka terus mencari dan menggali jati diri serta semangat pelayanan yang dilakukan oleh murid-murid pertama. Kesederhanaan dan keterbukaan mereka untuk menerima tawaran menjadi kunci pembaharu hidup mereka. (Valery)


Tuesday, November 27, 2012

CURIGA

    
-->

Oleh: Valery Kopong*
               
Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan  menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini  berasal dari karyawan-karyawan  dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang.  Tanggal 1 September 2012 yang lalu,  mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara  yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).
                Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas  Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang  mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
                Komunitas ini memberikan ciri tersendiri karena di dalamnya mencakup  agama, etnis, budaya dan karakter yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi sepertinya mereka sanggup berdialog, menerima satu sama lain sebagai sesama peziarah yang sedang menata kehidupan iman.  Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk  agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
                Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”  baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika  masing-masing orang  sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar  apa yang dikatakan oleh  sosiolog Max Weber bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan. 
Beberapa hari terakhir ini rasanya bangsa ini dilanda oleh gemuruh peperangan antarkelompok, antaretnis bahkan antaragama yang pada akhirnya mengorbankan nyawa dan harta benda. Konflik yang terjadi seperti di Lampung Selatan dan beberapa daerah lain lebih menunjukkan kecemburuan sosial sebagai pemicu utama.   Memang diakui bahwa wilayah Lampung dikenal sebagai wilayah sasaran  transmigrasi yang sudah terjadi sejak lama. Pertemuan antara orang-orang luar (pendatang) dengan masyarakat lokal tidak terhindar lagi. Yang mesti terus dilakukan adalah bagaimana membangun komunikasi antar satu dengan yang lain agar pada akhirnya semua penduduk saling menerima sebagai anggota masyarakat yang plural. Masyarakat plural adalah masyarakat yang memiliki pelbagai keunikan dan sekaligus dilihat sebagai kekayaan yang bisa memberi warna dalam kebhinekaan bangsa ini.   Kini masalah agama, masalah penduduk asli dan masyarakat pendatang  tidak perlu dipersoalkan lagi  ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial  lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh “Komunitas Berhati” menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama dan etnis  bukan  sesuatu yang mewah dan istimewa di zaman ini.
Bangsa Indonesia terus memperjuangkan keselarasan hidup dan perjuangan ini tak pernah selesai. Dari hari ke hari upaya membongkar sebuah kemapaman secara primordial, barangkali bisa mengalami kesulitan ketika “benteng otonomi daerah” terus dibangun sebagai pilar untuk menekan kelompok masyarakat pendatang. Kita perlu memandang bangsa ini dalam kebhinekaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Memandang orang lain dalam kotak-kotak primordial maka cepat atau lambat, kita terperangkap masuk ke dalam “ruang kecurigaan” sepanjang hidup.***

Wednesday, November 7, 2012

GEREJA BERTUMBUH DAN BERAKAR DALAM MASYARAKAT



            Sore itu cukup mendung, seolah mengajak umat untuk bersahabat dalam meriahrayakan pesta peresmian Gereja Paroki Santo Gregorius. Kurang lebih tujuh ribu umat memadati gereja untuk menghadiri misa peresmian ini. Mereka datang dari lingkungan-lingkungan dengan mengenakan kaos berwarna hijau. Dengan mengenakan kaos berwarna hijau secara serentak, seakan menegaskan identitas sekaligus memperkokoh kesatuan umat yang berani memproklamirkan diri menjadi sebuah paroki mandiri.
            “Semoga kehidupan umat semakin tumbuh dan berakar dalam masyarakat, “demikian Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata pembukaan saat bertindak sebagai selebran utama misa peresmian gereja. Beliau mengajak umat membangun rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah. Lahirnya paroki merupakan bagian dari karya penyelamatan Allah. Karena selama perjalanan sejarah Gereja ini, umat tidak mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan mengandalkan Allah sebagai pembimbing yang setia menyangga iman umat.
            Paroki Santo Gregorius merupakan paroki ke 63 dalam Keuskupan Agung Jakarta dan paroki ke 12 di wilayah dekenat Tangerang. Dalam kesempatan itu Bapak Uskup menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang yang dengan setia dan susah payah membimbing  Stasi Gregorius untuk menjadi sebuah paroki mandiri.
            Lebih jauh, ditandaskan oleh Mgr. Ignatius bahwa dalam menghidupkan gereja, masing-masing umat memberikan peran tersendiri. “Imam, umat dan anak-anak serta remaja memberikan peran masing-masing terhadap perkembangan hidup menggereja. Tidak hanya hidup menggereja tetapi juga diharapkan untuk semakin berakar dalam masyarakat. Keberadaan Gereja tidak menutup diri melainkan membaur dengan masyarakat. Memang berat apabila Gereja  mengakar dalam masyarakat karena akan menemukan pelbagai masalah.” Masalah yang dihadapi merupakan tantangan dan juga dilihat sebagai peluang. Karenanya masing-masing umat berani untuk berbuat sesuatu supaya lingkungan, tempat kita hidup menjadi manusiawi dan kristiani. “Siapapun, hanya dapat melaksanakan cita-cita untuk menghidupkan Gereja kalau rajin mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita buat supaya lingkungan hidup semakin menjadi manusiawi dan kristiani. Berakar dalam masyarakat berarti memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah atau persoalan yang sedang terjadi. Seperti Yesus yang menyatakan kematian-Nya dan hal ini merupakan muara dari pengorbanannya terhadap manusia.
            Pada kesempatan itu semua umat diajak untuk mengenal dan menghayati semangat pelindung Gereja yaitu Santo Gregorius Agung. Ada dua hal yang perlu dicontohi. Pertama, Santo Gregorius adalah seorang pembaharu dalam Gereja. Ketika Gereja mulai lemah, ia hadir mewarkan lagu-lagu gregorian. Kedua, Gregorius Agung adalah seorang Paus. Dalam masa kepemimpinannya ia menyatakan diri sebagai hamba dari segala hamba yang sampai saat ini masih diabadikan oleh para paus sesudahnya. Umat diharapkan dapat meniru keteladanan hidup Santo Gregorius.
            Pada kesempatan ini juga, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan kesempatan kepada Romo Swasono sebagai Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang untuk mengisahkan perjuangan untuk mengajukan Stasi Gregorius untuk  menjadi sebuah paroki. Menurut Romo Swa, panggilan akrab Romo Swasono, bahwa ketika berbincang-bincang dengan para pendahulu yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mereka menganjurkan agar Stasi Gregorius segera menjadi sebuah paroki. Stasi Gregorius sendiri memiliki wilayah yang sangat luas dan umat semakin bertambah seiring dengan perkembangan perumahan. Dengan melihat luas wilayah dan umat yang begitu banyak maka ini menjadi alasan bagi pihak paroki HSPMTB mengajukan Stasi Gregorius ini menjadi sebuah paroki.
            Tentang kehidupan umat di Stasi Gregorius, Romo Swa menjelaskan bahwa lebih dari 50 % adalah kaum buruh dan selebihnya terdapat  profesi yang lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa kehadiran gereja ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat sekitar. “Orang-orang Kampung Jambu sungguh memberikan dukungan. Kami ingin balas budi,” demikian ungkapan tulus dari Romo Swasono. “Kalau sudah menjadi paroki, lalu apa yang kita lakukan?” Kalau sudah menjadi paroki maka dituntut tata kelola yang baik, baik dari segi administrasi maupun keuangan. Pada misa peresmian Paroki Santo Gregorius, juga diadakan pelantikan para dewan stasi untuk menjadi dewan paroki, dengan susunan:
Ketua dewan : Romo Adrianus Andy Gunardi, Pr
                         Romo Natalis Kurnianto, Pr
Wakil             : Paulus Budi Soleman
Sekretaris I    : Yulius Iriana
Sekretaris II  : Petrus Sugiantara
Bendahara    : Ibu Lena
Anggota   : Bernadus Apul Tumanggor, Innocentius Tharob, Misten Sihaloho, Yanuarius Suharjo   
            Para pengurus dewan stasi yang lama,  masa bakti 2011-2014, akhirnya diperpanjang lagi untuk masa bakti 2012-2015 dengan mengenakan status baru yakni menjadi dewan Paroki Santo Gregorius. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati seluruh karya kita.***(Valery Kopong)