Tuesday, August 13, 2013

DOA ORANG YANG TERLUKA




Judul Buku    : Doa Yang Menyembuhkan
Penulis            : Jean Maalouf
Penerjemah    : Wilhelmus David
Penerbit          : Orbit Media, Tangerang, 2013
ISBN               : 978-602-17548-8-7

Doa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk menyembuhkan,  mengubah dan membuat mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa, “ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.
            Dalam doa-doa Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita gandrungi? Doa Benediktin, yang pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia.   Tipe doa ini menyentuh semua tipe kepribadian: lectio menyentuh pikiran kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.     
Selain doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih  menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah, terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan alam.
Masih banyak lagi cara-cara berdoa dan bermeditasi yang ditawarkan oleh para mistikus. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana setiap kita memilih cara-cara yang tepat dalam berdoa. Sebelum menerapkan cara-cara berdoa, mestinya si pendoa harus tahu dan mengenal karakter pribadi. Karena dengan mengenal karakter pribadi maka seseorang akan memilih metode atau cara yang tepat dalam berdoa. Semua cara yang ditawarkan hanyalah jalan untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam berdoa, ibarat kita “bermain kartu terbuka dengan lawan main.” Karena sebelum kita menyampaikan sesuatu, Allah lebih dulu tahu tentang maksud dan tujuan kita berdoa. Ketika orang berdoa dalam kondisi sakit, sebenarnya si pendoa  membawa luka dan beban hidup untuk ditunjukkan pada Allah. Dengan suatu harapan penuh bahwa Allah akan menyembuhkan luka-luka itu.***(Valery Kopong)   

Saturday, August 10, 2013

PEMBINAAN KAUM MUDA BANTEN



Kaum muda adalah tulang punggung Gereja dan negara. Di pundak merekalah, masa depan Gereja dan negara dipertaruhkan. Masa depan Gereja dan negara menjadi lebih baik bila generasi muda, calon-calon pemilik masa depan dipersiapkan secara baik. Menyadari pentingnya peranan kaum muda di masa yang akan datang maka  tanggal 7 dan 8 Juni 2013, Bimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten menyelenggarakan pembinaan terhadap mereka. Kegiatan yang berlangsung di “The Banten Hotel,” Anyer-Banten,  mengusung tema: “Melalui Pembinaan Pemuda Katolik, Kita Tingkatkan Peran dan Tanggung Jawab  Pemuda dalam Gereja Katolik.” Acara ini dibuka secara resmi oleh Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak Haji  Iding. Dalam acara pembukaan itu beliau berpesan agar kaum muda terus memperdalam keimanan dan sebagai  warga negara perlu menghidupkan empat pilar kebangsaan dan mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
            Hadir sebagai pembicara adalah Bapak Osner Purba, S.Fil.M.Si dan Bapak Yohanes Masgur, S.Fil. Di hadapan peserta yang lebih dari tiga puluhan orang, Osner Purba menekankan pentingnya mengakrabi Kitab Suci. Kitab Suci tidak hanya dibaca dan direnungkan saja tetapi juga sebagai media rohani untuk lebih jauh mengenal Tuhan. “Tidak membaca Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus,” tegas Osner yang mengutip kata-kata Santo Hieronimus.  Kitab Suci itu kaya makna dan memberikan pesan-pesan berharga sekaligus menjadi pedoman dalam hidup.
            Sementara itu, Bapak Yohanes Masgur mengajak kaum muda yang semuanya adalah mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di Serang dan Cilegon, untuk melihat cara-cara yang dilakukan Yesus sebagai pastoral yang baik dalam mengenal dan memahami kehidupan sekitarnya. “Duc in Altum, “ bertolaklah lebih ke dalam,  merupakan ajakan yang baik  untuk memahami lingkungan dan orang lain. Menurut Yohanes Masgur, ajakan untuk bertolak  lebih ke dalam dipahami sebagai sebuah perutusan untuk ada bersama dan memperkenalkan Kristus kepada orang lain dan menjala mereka yang ingin mengikuti Kristus.  Acara yang berlangsung selama dua hari itu ditutup oleh Pembimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak Stanislaus Lewotoby.***(Valery Kopong)
           


Saturday, July 27, 2013

TERORISME: DULU, KINI DAN HARI ESOK



“Dulu kita mendengar bom bunuh diri hanya terjadi di daerah Afganistan dan  Irak tetapi sekarang bom bunuh diri ada di dekat dengan kita, bahkan ada di tetangga kita,” demikian dikatakan oleh Dr.Rumadi Ahmad dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Lintas Agama Kota Tangerang Selatan. Diskusi publik yang berlangsung pada Kamis, 23 Mei 2013 di Restoran Telaga Seafood Bumi Serpong Damai,  dihadiri sekitar ratusan orang yang mewakili pelbagai unsur  / elemen masyarakat, terutama tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, dan Islam.  Diskusi publik  ini dibuka oleh kabag kesbangpolimas Kota Tangerang Selatan, H.Budi Dedi Hirawan yang mewakili Ibu Wali Kota Tangerang Selatan yang tidak berkesempatan hadir. Pada kesempatan itu, Dedi Hirawan menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar tetap menjaga lingkungannya agar bebas dari gangguan terorisme dan sekaligus menginginkan agar Tangerang Selatan tetap kondusif.  
                Secara organisatoris, terorisme sudah dilumpuhkan tetapi tidak berarti mati secara total. Ada gerakan terorisme yang muncul secara sporadis. Dengan berkaca pada kenyataan  ini maka mendorong Abdul Rojak, MA sebagai moderator, yang  menekankan bahwa terorisme menjadi musuh bersama. Dalam memberantas terorisme ini perlu meningkatkan partisipasi masyarakat yang melihat dan mengawasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Ketika masyarakat semakin cuek dengan situasi ini maka pada saat yang sama, teroris muncul lagi, sepertinya membangunkan masyarakat dari sikap apatisnya. 
                Diskusi publik ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Rumadi Ahmad dari Wahid Institut dan Zora A. Sukabdi, M.Psi, dosen psikologi Universitas Indonesia. Dalam pemaparan makalahnya, Rumadi Ahmad mengatakan bahwa “terorisme menjadi musuh bersama tetapi terkadang, kita tidak mengerti, siapa itu musuh kita.” Apa yang dikatakan ini berkaitan dengan gerakan pemberantasan terorisme yang  terkadang  menemui jalan buntu karena para teroris yang bergerak secara sempalan dan ini menjadi sulit terdeteksi.  Lebih jauh Rumadi mempertanyakan, “mengapa orang mati karena bom bunuh diri diperdebatkan secara berlebihan, sedangkan orang yang mati ditabrak ditanggapi secara dingin?” Padahal esensinya sama, yakni sama-sama mati, hanya cara atau proses kematiannya beda.
                Sedangkan Zora A. Sukabdi, selain sebagai dosen psikologi di Universitas Indonesia, ia juga dikenal sebagai pegiat yang terjun langsung mendampingi kelompok-kelompok teroris yang tertangkap dan masih dipenjarakan. Dalam proses pendampingan, ia mengatakan bahwa para teroris yang dipenjara ketika dimintai pendapat mengenai apa yang dilakukan, mereka menceritakan dengan penuh semangat dan seolah-olah apa yang dilakukannya sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka menceritakan tindakan sadis yang dilakukan tetapi mereka tidak melihatnya sebagai tindakan yang salah. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Zora A. Sukabdi menjadi bagian penting dalam proses penyadaran kembali tentang apa yang dilakukan dan meluruskan pemahaman yang salah yang terbangun dalam dirinya. Di akhir diskusi publik itu, Zora A. Sukabdi mengajak para peserta untuk melihat “musuh” bersama ada dalam diri kita masing-masing. Kita memusuhi egoisme kita, dan memusuhi paham-paham yang membenarkan sebuah tindakan sadis atas nama agama tertentu.***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)      

Tuesday, June 11, 2013

GEREJA-BURUH, SIAPA PEDULI SIAPA?


misa kaum buruh di aula Tarakanita-Citra Raya-Tangerang

“Gereja-Buruh, Siapa Peduli Siapa?” Inilah tema umum perayaan Ekaristi bagi kaum buruh se-dekenat Tangerang-Banten. Perayaan Ekaristi bagi kaum buruh bertepatan dengan   Pesta Kenaikan Yesus, Kamis 9/5/2013 berlangsung meriah di aula Sekolahan Tarakanita Citra Raya-Cikupa-Tangerang-Banten. Hadir dalam perayaan itu Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta dan sekaligus bertindak sebagai selebran utama. Di samping itu pula hadir romo deken untuk dekenat  Tangerang, Rm. Bernadus Yusa Bimo Hanto, OSC dan enam imam lain yang turut hadir sebagai konselebran dalam perayaan Ekaristi kudus. 
            Penyelenggaraan perayaan Ekaristi bersama para buruh ini digagas sebagai rangkaian acara dalam memperingati hari buruh sedunia yang jatuh pada 1 Mei yang lalu. Dalam kesempatan melaksanakan acara akbar ini menunjukkan bahwa kaum buruh tidak hanya berdemo menuntut hak-haknya di jalanan tetapi juga membangun solidaritas dalam semangat Ekaristi kudus. Dalam kata pembukaannya,  Mgr. Ignatius Suharyo mengatakan bahwa “kita adalah satu keluarga, sebagai murid Kristus. Kita berkumpul di sini untuk saling meneguhkan dalam iman, harapan dan kasih.” Pertemuan bersama para buruh merupakan kesempatan langka dan karenanya dimanfaatkan secara baik dalam upaya membangun solidaritas sesama kaum buruh.
            Di hadapan 650 kaum buruh yang hadir, lebih jauh di awal khotbahnya, Mgr. Suharyo mengajak kaum buruh untuk menjalankan tugas perutusan dengan baik di tempat kerja masing-masing  dan selalu mensyukuri anugerah kehidupan. Membangun rasa syukur  dan mensyukuri anugerah kehidupan merupakan suatu keharusan bagi setiap kita orang beriman. “Ketika Yesus hidup pada waktu itu, keadaannya mirip dengan kehidupan kita sekarang,” tegas Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Keadaan  apa yang mirip dengan keadaan yang kita alami sekarang? Kalau zamannya Yesus, kehidupan waktu itu penuh dengan penjajah asing. Ada penindasan dan  perampasan  terhadap hak-hak asasi manusia. Banyak orang miskin, sakit dan tertekan terdepak dari masyarakat.
Yesus tidak menutup mata terhadap seluruh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada waktu itu. Ia justeru membuka mata  dan berani berpihak pada mereka yang disisihkan. Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus adalah kerajaan kasih yang bisa menyapa semua orang. Yesus berpihak pada orang-orang kecil, dan hal ini menunjukkan bahwa Allah sedang berpihak dan mencintai semua orang. Allah dengan caranya sendiri untuk mau membebaskan orang-orang dari penjajah. Kita juga sedang dijajah oleh kekuatan lain, yakni kekuasaan dan para pemodal,  yang terkadang bersikap kurang manusiawi terhadap kaum buruh.
Perayaan Ekaristi akbar kaum buruh ini dimeriahkan oleh paduan suara  dari ibu-ibu WKRI Santa Odilia-Citra Raya-Tangerang. Setelah perayaan Ekaristi masih dilanjutkan dengan acara sarasehan. Dalam acara sarasehan, diminta kesediaan beberapa buruh untuk membagi pengalaman terutama tentang perjuangan menempuh jalan jauh menuju tempat kerja. Sedangkan Handono, salah seorang buruh mensyeringkan pengalaman kerja dalam tekanan waktu tetapi masih menyempatkan diri untuk mengurus Gereja dan lingkungannya.
Dalam sarasehan itu juga dibuka kesempatan untuk tanya jawab bersama Mgr. Suharyo.  Kiranya dalam momentum ini, Gereja juga semakin peduli terhadap kaum buruh dan kaum buruh juga bisa menyisihkan waktu untuk semakin terlibat dalam kehidupan menggereja. “Kita berkumpul di sini untuk menumbuhkan spiritualitas gembala baik dan mudah-mudahan kita mendapat sentuhan yang baik dari teman-teman yang hadir,” demikian harapan Bapak Frederikus Hary Mulyono, ketua panitia penyelenggara misa kaum buruh dekenat Tangerang.***(Valery Kopong)    

Monday, June 3, 2013

MENGAMBIL BAGIAN DALAM KEMURIDAN YESUS


                                                     Sumber Inpirasi :Markus 9:2-10

 Injil Markus pada hari ini mengantar kita untuk memahami betapa Yesus  dimuliakan di atas gunung. Petrus, Yakobus dan Yohanes menjadi saksi atas peristiwa itu di mana mereka mengalami kebahagiaan di atas gunung. Pengalaman ini seakan melupakan  kehidupan yang lain yang lebih berat sebagai konsekuensi mengikuti Yesus. Menjadi murid Yesus, tidak berarti mengalami pengalaman Tabor sepanjang sejarah hidup, melainkan menjadi Murid Yesus berarti siap untuk menderita, mengalami juga pengalaman golgota.
                Teks Kitab suci sebelum kisah Yesus dimuliakan di atas gunung, mengisahkann secara dramatis tentang syarat-syarat untuk mengikuti Dia. Apabila mau mengikuti Dia dan menjadi bagian dari Murid-Nya berarti bersedia menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri tidak lain adalah berani untuk melepaskan diri dari kelekatan duniawi, berani untuk memisahkan diri dari orang-orang yang kita cintai untuk mengikuti-Nya. Memang berat mengikuti jalan Yesus, tidak hanya dialami oleh murid-muridnya yang berada bersama dengan Dia, melainkan sampai dengan saat ini tuntutan yang sama terus dihidupkan sebagai tantangan sekaligus menguji iman kita pada-Nya. Salib menjadi pilihan utama dalam mengambil keputusan untuk mengikutinya.    Salib menjadi tanda nyata yang membahasakan pengalaman pergulatan hidup Yesus. Melalui salib, kita akan merunut banyak kisah tentang penolakan dirinya, disiksa dan kematiannya di kayu salib. Melalui salib yang sama,   Yesus mengajarkan suatu hal sederhana di dalam menjalani hidup, yaitu pengalaman suka dan duka senantiasa mewarnai seluruh hidup manusia. Namun yang lebih ditekankan adalah kisah penderitaan sebagai murid yang dipanggilnya. Mengapa Yesus lebih banyak menekankan kriteria-kriteria bahkan menetapkan syarat-syarat yang begitu berat dalam mengikuti jejak-Nya? Bukankah ini menjadi langkah surut bahkan menjauhkan orang-orang untuk tidak lagi mengikuti-Nya?
                Saudara/i yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam teks ini terutama Yesus dimuliakan di atas gunung, masing-masing penginjil melihatnya secara berbeda. Penginjil Matius lebih melihat peristiwa ini sebagai cara sederhana untuk memperlihatkan Yesus sebagai Musa baru. Sedangkan penginjil Lukas melihat peristiwa pemuliaan Yesus ini sebagai bentuk persiapan untuk penderitaan Yesus. Lalu bagaimana cara pandang penginjil Markus? Markus mengartikan peristiwa ini sebagai penyataan Mesias yang mulia walaupun kemesiasan Yesus masih tersembunyi. Lebih jauh Markus, dalam peristiwa ini mau menyatakan siapa sesungguhnya Yesus yang untuk sementara waktu perlu mengalami perendahan sebagai hamba Tuhan yang menderita.  
                Terlepas dari penafsiran teks ini, saya hanya mau mengatakan bahwa Yesus sudah memulai suatu karya besar yakni menunjukkan kepada dunia tentang karya keselamatan yang diraih dengan pengorbanan diri tanpa batas. Anak manusia harus menderita agar mengangkat kembali martabat manusia yang menderita oleh tekanan dunia. Anak manusia harus menghambakan diri agar mengangkat kembali martabat manusia yang kini menjadi hamba di antara sesamanya. Pengorbanan diri Yesus di salib  sebagai bentuk protes terhadap sikap-sikap manusiawi yang selalu merendahkan martabat sesamanya sendiri. Jeritanya di kayu salib adalah jeritan kritis yang mewakili mereka yang tersisihkan, terhempas dari panggung dunia.
                 Yesus mengajak kita untuk naik gunung, untuk mau menyatakan bahwa kemanusiaan kita turut diangkat olehnya. Namun pada saat yang sama kita dibiarkan untuk turun ke lembah melewati jalan-jalan terjal. Pada saat mendaki menuju puncak gunung, kita dibiarkan untuk menemukan tumpuan yang tepat untuk berpijak. Namun jauh lebih menyedihkan adalah kita dibiarkan untuk menurun sendiri mencari lembah-lembah kehidupan untuk bertarung, berhadapan dengan pelbagai tantangan. Terkadang, kita tidak menemukan tumpuan hidup saat menuruni gunung, kita merasa jauh dari sentuhan dan pendampingan-Nya. Untuk memaknai hidup dan kehidupan ini, Kristus menjadi titik pijak kita dan salibNya  menjadi tempat teduh bagi kita untuk bersimpuh, merenung dan di bawah salib yang sama kita menemukan jalan keluar mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.  Kita perlu jujur di mata Bapa, agar kita dengan mudah berjumpa dengan Yesus anakNya. Dalam Dia dan PuteraNya, seluruh   kehidupan, kita labuhkan ke hadapannya.   

JUJUR Di mata Bapa
Jangan mengatakan Bapa,
kalau sehari-hari tidak berlaku sebagai anak.
Jangan mengatakan Kami, kalau engkau hidup tersendiri dalam keegoisanmu.
Jangan mengatakan Yang Ada Di Surga, kalau hanya memikirkan hal-hal duniawi.
Jangan mengatakan Dimuliakanlah NamaMu, kalau tidak menghormatinya.
Jangan mengatakan terjadilah kehendakmu, kalau tidak mau menerimanya bila ternyata berat dan pahit.
Jangan mengatakan Berilah Kami Rejeki pada hari ini, kalau tidak prihatin akan mereka yang lapar dan orang-orang tanpa harapan untuk hari esok.
Janganlah mengatakan Ampunilah kesalahan kami, kalau masih simpan kebencian terhadap saudaramu.  
Janganlah mengatakan, janganlah biarkan kami jatuh dalam percobaan, kalau masih bermaksud berbuat dosa. Janganlah mengatakan bebaskanlah kami dari yang jahat, kalau tidak berani mengambil posisi melawan kejahatan.
Janganlah mengatakan Amin, kalau tidak menganggap serius setiap kata doamu.(Valery Kopong)