Sumber Inpirasi :Markus 9:2-10
Injil Markus pada hari ini mengantar kita
untuk memahami betapa Yesus dimuliakan
di atas gunung. Petrus, Yakobus dan Yohanes menjadi saksi atas peristiwa itu di
mana mereka mengalami kebahagiaan di atas gunung. Pengalaman ini seakan
melupakan kehidupan yang lain yang lebih
berat sebagai konsekuensi mengikuti Yesus. Menjadi murid Yesus, tidak berarti
mengalami pengalaman Tabor sepanjang sejarah hidup, melainkan menjadi Murid
Yesus berarti siap untuk menderita, mengalami juga pengalaman golgota.
Teks
Kitab suci sebelum kisah Yesus dimuliakan di atas gunung, mengisahkann secara
dramatis tentang syarat-syarat untuk mengikuti Dia. Apabila mau mengikuti Dia
dan menjadi bagian dari Murid-Nya berarti bersedia menyangkal diri dan memikul
salib. Menyangkal diri tidak lain adalah berani untuk melepaskan diri dari
kelekatan duniawi, berani untuk memisahkan diri dari orang-orang yang kita
cintai untuk mengikuti-Nya. Memang berat mengikuti jalan Yesus, tidak hanya
dialami oleh murid-muridnya yang berada bersama dengan Dia, melainkan sampai
dengan saat ini tuntutan yang sama terus dihidupkan sebagai tantangan sekaligus
menguji iman kita pada-Nya. Salib menjadi pilihan utama dalam mengambil
keputusan untuk mengikutinya. Salib menjadi tanda nyata yang membahasakan
pengalaman pergulatan hidup Yesus. Melalui salib, kita akan merunut banyak
kisah tentang penolakan dirinya, disiksa dan kematiannya di kayu salib. Melalui
salib yang sama, Yesus mengajarkan
suatu hal sederhana di dalam menjalani hidup, yaitu pengalaman suka dan duka
senantiasa mewarnai seluruh hidup manusia. Namun yang lebih ditekankan adalah
kisah penderitaan sebagai murid yang dipanggilnya. Mengapa Yesus lebih banyak
menekankan kriteria-kriteria bahkan menetapkan syarat-syarat yang begitu berat dalam
mengikuti jejak-Nya? Bukankah ini menjadi langkah surut bahkan menjauhkan
orang-orang untuk tidak lagi mengikuti-Nya?
Saudara/i
yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam teks ini terutama Yesus dimuliakan
di atas gunung, masing-masing penginjil melihatnya secara berbeda. Penginjil
Matius lebih melihat peristiwa ini sebagai cara sederhana untuk memperlihatkan
Yesus sebagai Musa baru. Sedangkan penginjil Lukas melihat peristiwa pemuliaan Yesus ini sebagai
bentuk persiapan untuk penderitaan Yesus. Lalu bagaimana cara pandang penginjil
Markus? Markus mengartikan peristiwa ini sebagai penyataan Mesias yang mulia
walaupun kemesiasan Yesus masih tersembunyi. Lebih jauh Markus, dalam peristiwa
ini mau menyatakan siapa sesungguhnya Yesus yang untuk sementara waktu perlu
mengalami perendahan sebagai hamba Tuhan yang menderita.
Terlepas
dari penafsiran teks ini, saya hanya mau mengatakan bahwa Yesus sudah memulai
suatu karya besar yakni menunjukkan kepada dunia tentang karya keselamatan yang
diraih dengan pengorbanan diri tanpa batas. Anak manusia harus menderita agar
mengangkat kembali martabat manusia yang menderita oleh tekanan dunia. Anak
manusia harus menghambakan diri agar mengangkat kembali martabat manusia yang
kini menjadi hamba di antara sesamanya. Pengorbanan diri Yesus di salib sebagai bentuk protes terhadap sikap-sikap
manusiawi yang selalu merendahkan martabat sesamanya sendiri. Jeritanya di kayu
salib adalah jeritan kritis yang mewakili mereka yang tersisihkan, terhempas
dari panggung dunia.
Yesus mengajak kita untuk naik gunung, untuk
mau menyatakan bahwa kemanusiaan kita turut diangkat olehnya. Namun pada saat
yang sama kita dibiarkan untuk turun ke lembah melewati jalan-jalan terjal.
Pada saat mendaki menuju puncak gunung, kita dibiarkan untuk menemukan tumpuan
yang tepat untuk berpijak. Namun jauh lebih menyedihkan adalah kita dibiarkan
untuk menurun sendiri mencari lembah-lembah kehidupan untuk bertarung, berhadapan
dengan pelbagai tantangan. Terkadang, kita tidak menemukan tumpuan hidup saat
menuruni gunung, kita merasa jauh dari sentuhan dan pendampingan-Nya. Untuk
memaknai hidup dan kehidupan ini, Kristus menjadi titik pijak kita dan
salibNya menjadi tempat teduh bagi kita
untuk bersimpuh, merenung dan di bawah salib yang sama kita menemukan jalan
keluar mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.
Kita perlu jujur di mata Bapa, agar kita dengan mudah berjumpa dengan
Yesus anakNya. Dalam Dia dan PuteraNya, seluruh
kehidupan, kita labuhkan ke
hadapannya.
JUJUR Di mata Bapa
Jangan mengatakan
Bapa,
kalau sehari-hari
tidak berlaku sebagai anak.
Jangan mengatakan
Kami, kalau engkau hidup tersendiri dalam keegoisanmu.
Jangan mengatakan
Yang Ada Di Surga, kalau hanya memikirkan hal-hal duniawi.
Jangan mengatakan
Dimuliakanlah NamaMu, kalau tidak menghormatinya.
Jangan mengatakan
terjadilah kehendakmu, kalau tidak mau menerimanya bila ternyata berat dan
pahit.
Jangan mengatakan
Berilah Kami Rejeki pada hari ini, kalau tidak prihatin akan mereka yang lapar
dan orang-orang tanpa harapan untuk hari esok.
Janganlah mengatakan
Ampunilah kesalahan kami, kalau masih simpan kebencian terhadap saudaramu.
Janganlah mengatakan,
janganlah biarkan kami jatuh dalam percobaan, kalau masih bermaksud berbuat
dosa. Janganlah mengatakan bebaskanlah kami dari yang jahat, kalau tidak berani
mengambil posisi melawan kejahatan.
Janganlah mengatakan
Amin, kalau tidak menganggap serius setiap kata doamu.(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment