Monday, September 29, 2014

MENULIS DARI BALIK JERUJI BESI


 
Orang-orang  terpenjara tidak selamanya terpasung seluruh kebebasannya. Secara fisik, memang mereka terkurung  bertahun-tahun mengikuti putusan hakim. Tetapi bagi mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis, penjara bagi mereka adalah tempat  yang  baik untuk membuat sebuah refleksi panjang tentang kisah perjalanan hidup atau peristiwa lain untuk ditulis. “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu,” sebuah judul buku yang menarik, lahir dari rahim pemikiran sastrawan ternama Indonesia, Pramudya Ananta Toer. Buku ini ditulis ketika ia dibuang dan dipenjara di pulau Buru pada zaman Orde Baru. Tetapi apakah pengalaman ketika dipenjara membuat seluruh aktivitas menulis menjadi terhambat? Ternyata tidak! Ide / gagasan tidak bisa dipenjara oleh siapapun dan karenanya dengan ide / gagasan itu ia boleh menuangkan gagasan-gagasan. Ada juga beberapa buku lain yang dihasilkan dari balik penjara.
Selain itu, kita mengenal Arswendo, seorang sastrawan terkenal. Ia juga mengalami pengalaman pahit di zaman Orde Baru. Arswendo dipenjara juga. Walau dipenjara tetapi seluruh aktivitas menulisnya tidak terpenjara. Banyak karya-karya yang berbobot lahir di balik jeruji besi. Bahkan dia sempat menulis untuk media dengan menggunakan nama samaran. Memang, para narapidana itu banyak yang kreatif di bidangnya. Ada yang fasih berbahasa asing, ada yang pandai menulis dan ada pula bisa membuat karya-karya seni lain.

Friday, September 26, 2014

SISTEM NOKEN DAN PEMILUKADA MELALUI DPRD


Oleh: Valery Kopong*
KETIKA desakan masyarakat dan asosiasi kepala daerah untuk  mengembalikan mandat rakyat  dengan mendukung pemilukada secara langsung, ternyata tidak menuai hasil. Melalui  rapat sidang paripurna DPR yang berlangsung alot, pada akhirnya memutuskan melalui voting  dan memenangkan pemilukada melalui DPRD. Seperti dugaan-dugaan yang muncul dalam kaitan dengan wacana pemilukada melalui DPRD, bahwa gagasan ini merupakan ekses dari kekecewaan partai koalisi merah-putih yang kalah dalam pertarungan pilpres. Partai koalisi merah-putih berdalih bahwa pemilukada secara langsung menyisahkan begitu banyak problem, seperti masalah konflik sosial,beban biaya yang dikeluarkan oleh para petarung dalam pemilukada dan pada akhirnya berdampak pada korupsi yang melibatkan begitu banyak kepala daerah.
Rapat Paripurna Setujui RUU Pilkada Melalui DPRD            Apakah dalih seperti ini menjadi sebuah rujukan ampuh untuk meminimalisir segala problem yang sedang terjadi? Alasan-alasan yang dikemukakan oleh koalisi merah-putih bisa diterima tetapi bukan berarti secara serta merta mengembalikan pola pemilihan ke ruang DPRD. Karena mestinya yang dikeluhkan adalah persoalan klasik maka anggota DPR yang cerdas mesti membuat sistem teknis yang memberi kemungkinan dalam meminimalisir segala ekses yang terjadi pada pemilukada secara langsung.
            Pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bakti dalam dialog di Metro TV pada kamis sore, 25/9/2014 ketika menanggapi pendapat Martin Hutabarat mengatakan bahwa kalau persoalan korupsi yang dijadikan alasan maka anggota DPR/DPRD juga perlu dibenah. Karena masalah korupsi tidak hanya melibatkan kepala daerah yang merupakan produk dari pemilukada langsung  tetapi juga anggota DPR/DPRD juga banyak tersandung dengan masalah korupsi. Apakah nantinya DPR/DPRD dipilih langsung oleh Presiden untuk menekan angka korupsi? Tanggapan dari peneliti senior LIPI ini sangat menggelitik publik untuk melihat persoalan RUU pilkada melalui DPRD secara jernih karena kurang mengedepankan kepentingan masyarakat.
           

Thursday, September 25, 2014

MEMIMPIN DENGAN HATI



Tangan  Dingin  Romo  Binzler
            Tanpa Romo Binzler, Gregorius tak  mungkin seperti ini.” Inilah kata-kata yang diungkapkan secara spontan  oleh salah seorang umat yang cukup tahu sejarah  perjalanan umat Gregorius. Romo Binzler, yang dikenal sebagai romo pembangun, memberikan  perhatian yang seimbang kepada  umat yang digembalakannya. Konsentrasi perhatiannya tidak hanya berpusat di Santa Maria sebagai pusat paroki tetapi juga perlu adanya pengembangan stasi-stasi  di bawah naungan Santa Maria.
            Stasi St. Gregorius mendapat perhatian yang serius dari Romo Bin sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria. Beliau tidak hanya memberikan pelayanan  dalam bidang rohani saja tetapi juga membangun  gedung serba guna yang digunakan untuk perayaan ekaristi dan kegiatan religius lainnya. Gedung Serba Guna (GSG) yang dibangun oleh Romo dilihat sebagai ruang terbuka, yang di satu sisi digunakan untuk kegiatan religius tetapi di sisi lain, GSG masih membuka peluang bagi masyarakat sekitar untuk melakukan olah raga terutama bulu tangkis.
            Keberadaan GSG ini memang tidak menimbulkan reaksi  berlebihan dari warga tetapi diakui bahwa ada gejolak dari kelompok-kelompok tertentu. Melihat hal itu maka langkah-langkah pendekatan ke masyarakat gencar dilakukan untuk memberikan pemahaman yang positif tentang pendirian SGS tersebut. Selain itu pula, Romo Bin meminta beberapa pemuda asal Ende-Flores untuk menjaga keamanan lingkungan. Beberapa tahun lamanya, sejak zaman Romo Bin sampai dengan masa kepemimpinan Bapak Lastiyo sebagai ketua dewan stasi, beberapa pemuda ini masih menetap di lingkungan GSG.  Namun ketika terjadi renovasi gedung gereja Santo Gregorius, beberapa pemuda ini diminta untuk keluar dari lingkungan Gereja.
           

DALAM GENGGAMAN SANG BUNDA



Iman  Tumbuh di Bawah  Naungan  Sang Bunda
            Di tangan seorang perempuan, iman itu tumbuh dan berkembang. Seperti dikisahkan pada awal titik sejarah perjumpaan orang-orang Katolik yang tidak lain  adalah masyarakat perantau, orang pertama yang menggerakkan  kehidupan guyup dan doa adalah Ibu Doemeri. Ia adalah seorang ibu yang jeli melihat masyarakat perantau yang masih seiman. Di tangan dialah, orang-orang mulai disadarkan untuk hidup berkelompok, bukan untuk mengalienasi diri  dari “panggung” masyarakat tetapi semakin mempererat hubungan sebagai pengikut Kristus sekaligus memberi kesaksian tentang-Nya.
            Komunitas iman  ini semakin hari mengalami pertumbuhan yang pesat, mirip kehidupan umat perdana. “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu dari kepunyaannya  adalah kepunyaan  mereka bersama.” (Kis 4 :32). Dalam kehidupan beriman tentunya mereka tidak mempersoalkan  suku dan  asal, seolah-olah melepaskan identitas primordial untuk merasa memiliki Kristus. Dengan menghampakan diri dihadapan-Nya maka gema kekeluargaan dan roh kebersamaan  menjadi perekat yang menyatukan.