Thursday, September 25, 2014

MEMIMPIN DENGAN HATI



Tangan  Dingin  Romo  Binzler
            Tanpa Romo Binzler, Gregorius tak  mungkin seperti ini.” Inilah kata-kata yang diungkapkan secara spontan  oleh salah seorang umat yang cukup tahu sejarah  perjalanan umat Gregorius. Romo Binzler, yang dikenal sebagai romo pembangun, memberikan  perhatian yang seimbang kepada  umat yang digembalakannya. Konsentrasi perhatiannya tidak hanya berpusat di Santa Maria sebagai pusat paroki tetapi juga perlu adanya pengembangan stasi-stasi  di bawah naungan Santa Maria.
            Stasi St. Gregorius mendapat perhatian yang serius dari Romo Bin sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria. Beliau tidak hanya memberikan pelayanan  dalam bidang rohani saja tetapi juga membangun  gedung serba guna yang digunakan untuk perayaan ekaristi dan kegiatan religius lainnya. Gedung Serba Guna (GSG) yang dibangun oleh Romo dilihat sebagai ruang terbuka, yang di satu sisi digunakan untuk kegiatan religius tetapi di sisi lain, GSG masih membuka peluang bagi masyarakat sekitar untuk melakukan olah raga terutama bulu tangkis.
            Keberadaan GSG ini memang tidak menimbulkan reaksi  berlebihan dari warga tetapi diakui bahwa ada gejolak dari kelompok-kelompok tertentu. Melihat hal itu maka langkah-langkah pendekatan ke masyarakat gencar dilakukan untuk memberikan pemahaman yang positif tentang pendirian SGS tersebut. Selain itu pula, Romo Bin meminta beberapa pemuda asal Ende-Flores untuk menjaga keamanan lingkungan. Beberapa tahun lamanya, sejak zaman Romo Bin sampai dengan masa kepemimpinan Bapak Lastiyo sebagai ketua dewan stasi, beberapa pemuda ini masih menetap di lingkungan GSG.  Namun ketika terjadi renovasi gedung gereja Santo Gregorius, beberapa pemuda ini diminta untuk keluar dari lingkungan Gereja.
           
Menurut penuturan beberapa orang yang mengenal baik Romo Bin bahwa tidak hanya mendirikan gedung serba guna tetapi juga melakukan pendekatan ke warga Kampung Jambu. Orang-orang sederhana di Kampung Jambu yang secara langsung pernah bertemu dengan Romo Bin turut merasakan perhatian dari beliau. Jasa Romo Bin  terhadap umat Gregorius  sungguh besar dan luar biasa karya pastoral yang sangat kreatif. Kini, ia telah dipanggil Tuhan dan tidak menikmati kegembiraan bersama umat tetapi yakinlah bahwa dalam doa, kita masih bertemu dengan beliau. Terima kasih.     
           
Maria Mencari Penginapan 
            Ketika menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria-Tangerang, Romo Brata, SJ melanjutkan karya yang telah dirintis oleh Romo Binzler. Tahun 1995 gedung serba guna sudah dibangun di hamparan tanah dekat Kampung Jambu. Menurut Romo Brata, tanah  itu dibeli oleh Romo Bin. Hampir semua umat tidak tahu sepak terjang perjuangan Romo Bin terutama ketika beliau membeli tanah.
            Di hamparan tanah dekat kampung Jambu inilah, Romo Bin mulai mendirikan gedung serba guna. Gedung ini tidak langsung digunakan untuk pendirian gedung gereja tetapi dia perlahan-lahan membuka gedung serba guna yang juga dipergunakan untuk ruang olah raga. Barangkali Romo Bin mempunyai trik tersendiri yakni bahwa dengan membuka gedung serba guna, secara tidak langsung ia memperkenalkan kepada masyarakat sekitar, soal keberadaan orang-orang Katolik yang juga memiliki kesempatan  untuk beribadah di tempat yang sama yakni gedung serba guna. Di gedung itu orang boleh mempergunakan  secara maksimal untuk mengolah fisik dengan berolah raga dan mengolah batin saat hari minggu ketika dimulainya perayaan ekaristi.
            Ekaristi menjadi sumber pemersatu dan dengannya umat menyadari betapa mahalnya pengorbanan diri Yesus kepada umat manusia. Ekaristi terus menyadarkan umat agar umat mengolah diri dan membiarkan untuk dituntun agar berhadapan dengan dunia luar. Menyadari Ekaristi sebagai jantung hidup seorang Katolik maka sejak didirikan gedung serba guna, dimulailah perayaan Ekaristi setiap minggu. Para imam yang bertugas di Paroki Santa Maria diberi tugas untuk melayani Stasi Santo Gregorius.  Romo Brata mengembangkan pola pastoral yang lebih menyentuh keluarga. Pada masa adven, Romo Brata mengembangkan pola “Maria mencari penginapan,” sebuah cara sederhana di mana ada perarakan patung Maria dari satu rumah ke rumah lain. Cara ini dilakukan untuk mengenang kembali peristiwa di mana Maria mencari penginapan pada saat diadakan cacah jiwa.
            Mengenai nama Gregorius, dimunculkan pertama kali oleh Bapak Iwan, salah seorang umat yang menetap di perumahan Villa Tomang Baru. Penamaan ini juga merujuk pada GSG (Gedung Serba Guna) dan untuk mengenang nama GSG ini maka dibentuklah nama baru yakni “Gereja Santo Gregorius.”  Tahun 1997 gedung ini diresmikan dengan nama Gregorius oleh Romo Bin.


Romo  Pembaharu  
            Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang  mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah.  Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
             Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan terutama menyangkut sifat  Romo Sri yang dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat  “galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya, “figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak” tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama.   Dan sifat galak dan marah itu dapat menumbuhkan semangat baru.
            Bapak Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga terhadap Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan melayani stasi Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya memimpin misa selalu menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa terbantu,” demikian Dolfi. Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto, yang mewakili ketua-ketua wilayah. Menurutnya, “kehadiran Romo Sri sangat membantu umat terutama dalam membaca dan mendalami Kitab Suci. Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan membaca Kitab Suci pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja tetapi lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir fokus dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan tempat paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya. 
            Dengan mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk  mengenal, siapa itu Yesus, Sang Sabda yang hidup. Hal senada juga diperkuat oleh Pak Totok yang diminta untuk mewakili ketua-ketua seksi dalam memberikan kesan kepada Romo Sri. “Allah  terkadang dialami oleh umat sangat jauh, tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping itu, menurut Bapak Dalio, yang dipercayakan untuk memberikan kesan mewakili anggota dewan stasi, mengatakan bahwa dengan kegalakan Romo Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru. Kegigihan Romo Sri untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya menjadi sebuah tempat ibadah yang layak.
            Pada kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir, sekaligus memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan Romo Sri, “pada awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi Gregorius) tidak layak untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu itu, di bawah kepemimpinan Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk didirikan rumah ibadah. “Tempat ini tidak boleh pindah karena kalau pindah maka pasti akan ada kesulitan yang dijumpai,” demikian Romo. Saya selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi tempat ini menjadi tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa secepatnya terjadi peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri. Fokus utama ke depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang tidak gampang.
            Lebih lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari paroki induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke keuskupan harus melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir sambutannya, ia mengatakan bahwa tidak seluruh umat yang didampingi secara dekat. Tetapi tulisan di warta stasi setiap minggu menjadi sebuah proses pendampingan secara sederhana.
            Di akhir pertemuan itu, Bapak Lastyo juga menyatakan kepengurusan mereka akan berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang belum terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar kepengurusan dewan yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan terutama menghantar stasi ini menuju paroki mandiri.     
Tata Kelola Pastoral
            Setelah Romo Sriyanto pindah dari Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, beliau digantikan oleh Romo Ignatius Swasono, SJ yang sebelumnya sebagai pastor rekan. Banyak hal dilakukan dalam proses pembenahan stasi ini, mulai dari liturgi dan yang lebih penting lagi yakni membenah administrasi serta laporan keuangan. Pembenahan administrasi ini lebih difokuskan karena menjadi target pengajuan stasi menjadi paroki mandiri.
            Untuk Stasi Gregorius, dalam masa kepemimpinan Romo Swa, tidak ada pembenahan secara fisik. Ia lebih memfokuskan diri pada pengembangan iman umat. Satu hal yang menonjol adalah pola pendekatan pastoral berbasis lingkungan. Untuk memperkuat pendampingan umat berbasis lingkungan maka ditugaskan setiap pastor untuk mendampingi wilayah-wilayah yang ada di stasi ini. Seorang pastor menangani beberapa wilayah dan menjadi tanggung jawabnya. Setiap ada kebutuhan rohani yang diminta oleh wilayah ataupun lingkungan maka pastor pendampingnya bisa bergerak untuk memenuhi kebutuhan umat. Romo Bin yang menanam, Romo Brata menyiram , Romo Sri menumbuhkan dan yang memetik hasil adalah Romo Swasono. Stasi ini secara resmi beralih status menjadi paroki berdasarkan SK Mgr. Ignatius Suharyo per 3 September 2012. Pada saat yang sama, diangkat Romo Andi, Pr sebagai Pastor Kepala Paroki Santo Gregorius dan Romo Natalis sebagai Pastor rekan.*** (Valery Kopong) Bagian ketiga  
             





Nama-nama anggota tim perijinan:
Ketua      : Johanes Nur Wahyudi
Wakil      : Kristoforus Gunawan
Sekretaris : Agustinus Widianto
                  Venansius Lamarian
Bendahara : Ignatius Hadi Atmono
                     Agustinus Winardi
Anggota: Paulus Budi Soleman, Ignatius Harun Setiadi, Florensius Budi Astana, Yuvensius Janggat, Antonius Parmana, FX. Sugiman, Yusak Budi Sugiharso, Bonifasius Dalio, Maju Simamora, Innocentius Tharob, Stefanus Ziraluo, Misten Sihaloho, Yohanes Edi Sugiono
               






0 komentar: