Tangan Dingin
Romo Binzler
“Tanpa Romo
Binzler, Gregorius tak mungkin seperti
ini.” Inilah kata-kata yang diungkapkan secara spontan oleh salah seorang umat yang cukup tahu
sejarah perjalanan umat Gregorius. Romo
Binzler, yang dikenal sebagai romo pembangun, memberikan perhatian yang seimbang kepada umat yang digembalakannya. Konsentrasi
perhatiannya tidak hanya berpusat di Santa Maria sebagai pusat paroki tetapi
juga perlu adanya pengembangan stasi-stasi
di bawah naungan Santa Maria.
Stasi
St. Gregorius mendapat perhatian yang serius dari Romo Bin sebagai Pastor
Kepala Paroki Santa Maria. Beliau tidak hanya memberikan pelayanan dalam bidang rohani saja tetapi juga
membangun gedung serba guna yang
digunakan untuk perayaan ekaristi dan kegiatan religius lainnya. Gedung Serba
Guna (GSG) yang dibangun oleh Romo dilihat sebagai ruang terbuka, yang di satu
sisi digunakan untuk kegiatan religius tetapi di sisi lain, GSG masih membuka
peluang bagi masyarakat sekitar untuk melakukan olah raga terutama bulu tangkis.
Keberadaan
GSG ini memang tidak menimbulkan reaksi
berlebihan dari warga tetapi diakui bahwa ada gejolak dari
kelompok-kelompok tertentu. Melihat hal itu maka langkah-langkah pendekatan ke
masyarakat gencar dilakukan untuk memberikan pemahaman yang positif tentang
pendirian SGS tersebut. Selain itu pula, Romo Bin meminta beberapa pemuda asal
Ende-Flores untuk menjaga keamanan lingkungan. Beberapa tahun lamanya, sejak
zaman Romo Bin sampai dengan masa kepemimpinan Bapak Lastiyo sebagai ketua
dewan stasi, beberapa pemuda ini masih menetap di lingkungan GSG. Namun ketika terjadi renovasi gedung gereja
Santo Gregorius, beberapa pemuda ini diminta untuk keluar dari lingkungan
Gereja.
Maria Mencari
Penginapan
Ketika
menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria-Tangerang, Romo Brata, SJ
melanjutkan karya yang telah dirintis oleh Romo Binzler. Tahun 1995 gedung
serba guna sudah dibangun di hamparan tanah dekat Kampung Jambu. Menurut Romo
Brata, tanah itu dibeli oleh Romo Bin.
Hampir semua umat tidak tahu sepak terjang perjuangan Romo Bin terutama ketika
beliau membeli tanah.
Di
hamparan tanah dekat kampung Jambu inilah, Romo Bin mulai mendirikan gedung
serba guna. Gedung ini tidak langsung digunakan untuk pendirian gedung gereja
tetapi dia perlahan-lahan membuka gedung serba guna yang juga dipergunakan
untuk ruang olah raga. Barangkali Romo Bin mempunyai trik tersendiri yakni
bahwa dengan membuka gedung serba guna, secara tidak langsung ia memperkenalkan
kepada masyarakat sekitar, soal keberadaan orang-orang Katolik yang juga
memiliki kesempatan untuk beribadah di tempat
yang sama yakni gedung serba guna. Di gedung itu orang boleh mempergunakan secara maksimal untuk mengolah fisik dengan
berolah raga dan mengolah batin saat hari minggu ketika dimulainya perayaan ekaristi.
Ekaristi
menjadi sumber pemersatu dan dengannya umat menyadari betapa mahalnya
pengorbanan diri Yesus kepada umat manusia. Ekaristi terus menyadarkan umat
agar umat mengolah diri dan membiarkan untuk dituntun agar berhadapan dengan
dunia luar. Menyadari Ekaristi sebagai jantung hidup seorang Katolik maka sejak
didirikan gedung serba guna, dimulailah perayaan Ekaristi setiap minggu. Para
imam yang bertugas di Paroki Santa Maria diberi tugas untuk melayani Stasi
Santo Gregorius. Romo Brata
mengembangkan pola pastoral yang lebih menyentuh keluarga. Pada masa adven,
Romo Brata mengembangkan pola “Maria mencari penginapan,” sebuah cara sederhana
di mana ada perarakan patung Maria dari satu rumah ke rumah lain. Cara ini
dilakukan untuk mengenang kembali peristiwa di mana Maria mencari penginapan
pada saat diadakan cacah jiwa.
Mengenai
nama Gregorius, dimunculkan pertama kali oleh Bapak Iwan, salah seorang umat
yang menetap di perumahan Villa Tomang Baru. Penamaan ini juga merujuk pada GSG
(Gedung Serba Guna) dan untuk mengenang nama GSG ini maka dibentuklah nama baru
yakni “Gereja Santo Gregorius.” Tahun
1997 gedung ini diresmikan dengan nama Gregorius oleh Romo Bin.
Romo Pembaharu
Sabtu,
12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan
Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan
Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai
pastor kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini
berakhir sudah. Memang mutasi di
kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang
terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran
rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai
suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh
umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata
cita-cita itu, sepertinya pupus sudah.
Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya
untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu
ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan
kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus
lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari
beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan
terutama menyangkut sifat Romo Sri yang
dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu
dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat
“galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria
Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya,
“figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak”
tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama. Dan sifat galak dan marah itu dapat
menumbuhkan semangat baru.
Bapak
Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga terhadap
Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan melayani stasi
Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya memimpin misa selalu
menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa terbantu,” demikian Dolfi.
Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto, yang mewakili ketua-ketua wilayah.
Menurutnya, “kehadiran Romo Sri sangat membantu umat terutama dalam membaca dan
mendalami Kitab Suci. Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan
membaca Kitab Suci pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja
tetapi lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda
Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir fokus
dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan tempat
paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya.
Dengan
mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk mengenal, siapa itu Yesus, Sang Sabda yang
hidup. Hal senada juga diperkuat oleh Pak Totok yang diminta untuk mewakili
ketua-ketua seksi dalam memberikan kesan kepada Romo Sri. “Allah terkadang dialami oleh umat sangat jauh,
tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping itu, menurut Bapak Dalio, yang
dipercayakan untuk memberikan kesan mewakili anggota dewan stasi, mengatakan
bahwa dengan kegalakan Romo Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru.
Kegigihan Romo Sri untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya
menjadi sebuah tempat ibadah yang layak.
Pada
kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir, sekaligus
memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan Romo Sri, “pada
awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi Gregorius) tidak layak
untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu itu, di bawah kepemimpinan
Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk didirikan rumah ibadah. “Tempat
ini tidak boleh pindah karena kalau pindah maka pasti akan ada kesulitan yang
dijumpai,” demikian Romo. Saya selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi
tempat ini menjadi tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa
secepatnya terjadi peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri.
Fokus utama ke depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses
pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang
tidak gampang.
Lebih
lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari paroki
induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke keuskupan harus
melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir sambutannya, ia mengatakan
bahwa tidak seluruh umat yang didampingi secara dekat. Tetapi tulisan di warta
stasi setiap minggu menjadi sebuah proses pendampingan secara sederhana.
Di
akhir pertemuan itu, Bapak Lastyo juga menyatakan kepengurusan mereka akan
berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang belum
terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar kepengurusan dewan
yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan terutama menghantar stasi ini
menuju paroki mandiri.
Tata
Kelola Pastoral
Setelah
Romo Sriyanto pindah dari Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak
Bernoda-Tangerang, beliau digantikan oleh Romo Ignatius Swasono, SJ yang
sebelumnya sebagai pastor rekan. Banyak hal dilakukan dalam proses pembenahan
stasi ini, mulai dari liturgi dan yang lebih penting lagi yakni membenah
administrasi serta laporan keuangan. Pembenahan administrasi ini lebih
difokuskan karena menjadi target pengajuan stasi menjadi paroki mandiri.
Untuk
Stasi Gregorius, dalam masa kepemimpinan Romo Swa, tidak ada pembenahan secara
fisik. Ia lebih memfokuskan diri pada pengembangan iman umat. Satu hal yang
menonjol adalah pola pendekatan pastoral berbasis lingkungan. Untuk memperkuat
pendampingan umat berbasis lingkungan maka ditugaskan setiap pastor untuk
mendampingi wilayah-wilayah yang ada di stasi ini. Seorang pastor menangani
beberapa wilayah dan menjadi tanggung jawabnya. Setiap ada kebutuhan rohani
yang diminta oleh wilayah ataupun lingkungan maka pastor pendampingnya bisa
bergerak untuk memenuhi kebutuhan umat. Romo Bin yang menanam, Romo Brata
menyiram , Romo Sri menumbuhkan dan yang memetik hasil adalah Romo Swasono.
Stasi ini secara resmi beralih status menjadi paroki berdasarkan SK Mgr.
Ignatius Suharyo per 3 September 2012. Pada saat yang sama, diangkat Romo Andi,
Pr sebagai Pastor Kepala Paroki Santo Gregorius dan Romo Natalis sebagai Pastor
rekan.*** (Valery Kopong) Bagian ketiga
Nama-nama
anggota tim perijinan:
Ketua : Johanes Nur Wahyudi
Wakil
: Kristoforus Gunawan
Sekretaris
: Agustinus Widianto
Venansius Lamarian
Bendahara
: Ignatius Hadi Atmono
Agustinus Winardi
Anggota:
Paulus Budi Soleman, Ignatius Harun Setiadi, Florensius Budi Astana, Yuvensius
Janggat, Antonius Parmana, FX. Sugiman, Yusak Budi Sugiharso, Bonifasius Dalio,
Maju Simamora, Innocentius Tharob, Stefanus Ziraluo, Misten Sihaloho, Yohanes
Edi Sugiono
0 komentar:
Post a Comment