Orang-orang terpenjara tidak selamanya terpasung seluruh
kebebasannya. Secara fisik, memang mereka terkurung bertahun-tahun mengikuti putusan hakim.
Tetapi bagi mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis, penjara bagi mereka
adalah tempat yang baik untuk membuat sebuah refleksi panjang
tentang kisah perjalanan hidup atau peristiwa lain untuk ditulis. “Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu,” sebuah judul buku yang menarik, lahir dari rahim pemikiran
sastrawan ternama Indonesia, Pramudya Ananta Toer. Buku ini ditulis ketika ia
dibuang dan dipenjara di pulau Buru pada zaman Orde Baru. Tetapi apakah
pengalaman ketika dipenjara membuat seluruh aktivitas menulis menjadi
terhambat? Ternyata tidak! Ide / gagasan tidak bisa dipenjara oleh siapapun dan
karenanya dengan ide / gagasan itu ia boleh menuangkan gagasan-gagasan. Ada juga
beberapa buku lain yang dihasilkan dari balik penjara.
Selain
itu, kita mengenal Arswendo, seorang sastrawan terkenal. Ia juga mengalami
pengalaman pahit di zaman Orde Baru. Arswendo dipenjara juga. Walau dipenjara
tetapi seluruh aktivitas menulisnya tidak terpenjara. Banyak karya-karya yang
berbobot lahir di balik jeruji besi. Bahkan dia sempat menulis untuk media
dengan menggunakan nama samaran. Memang, para narapidana itu banyak yang kreatif
di bidangnya. Ada yang fasih berbahasa asing, ada yang pandai menulis dan ada
pula bisa membuat karya-karya seni lain.
Hendrik
yang dulunya dikenal sebagai “geng” untuk hal-hal yang berbau kekerasan, tetapi
sekarang sudah berbalik arah. Setiap hari dia menggeluti Kitab Suci (Injil) dan
melalui sabda itu ia coba untuk mengolah batin dan melihat seluruh perilaku
yang dahulu dibuatnya. Terkadang saya bercanda padanya, bahwa ketika masih
berada di luar, tidak pernah mengenal kitas suci, apalagi membacanya. Dia
menyadari betapa dahsyatnya kekuatan sabda yang bisa membalikan seluruh
pengalaman hidupnya. Dalam buku sederhana ini, barangkali dilihat sebagai
“konkordansi mini” yang dijadikan penuntun baginya dan juga bagi sahabat-sahabatnya
di dalam LP Pemuda itu untuk belajar Kitab Suci (Injil).
Selain
itu, Hendrik juga memperkenalkan doa-doa Rosario kepada teman-temannya yang
lain. Dia bercerita bahwa ketika teman-temannya mau menghadapi sidang untuk
mendengar putusan hakim, ia mengajak mereka untuk berdoa Rosario. Doa Rosario
merupakan doa sederhana yang gampang dilakukan oleh siapa saja. Orang-orang
yang diajak untuk berdoa pada saat-saat menjelang putusan hakim, bukanlah
mereka yang beragama Katolik saja tetapi juga orang-orang dari agama lain.
Ketika putusan hakim lebih ringan, tidak sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya,
pada saat itu, mereka teringat akan peran Bunda Maria dalam seluruh proses
hidupnya termasuk dalam menentukan putusan hakim. Membaca dan merenungkan kitab
suci menjadikan pribadi kita memulai sebuah “daya hening” dan pada akhirnya
kita memberikan diri untuk melihat peran Allah di dalam hidup. Hidup, entah di
luar penjara atau di dalam penjara bisa memberi makna baru ketika yang
bersangkutan bisa memulai babak hidup baru, hidup dalam Roh dan kebenaran.
Seperti Hendrik yang memulai membuka diri terhadap Sabda yang membawanya pada
titik permenungan diri, ini merupakan ajakan terbuka bagi kita untuk mengakrabi
sabda dan Sumber Sabda itu sendiri.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment