Iman Tumbuh di Bawah Naungan Sang Bunda
Di
tangan seorang perempuan, iman itu tumbuh dan berkembang. Seperti dikisahkan
pada awal titik sejarah perjumpaan orang-orang Katolik yang tidak lain adalah masyarakat perantau, orang pertama
yang menggerakkan kehidupan guyup dan
doa adalah Ibu Doemeri. Ia adalah seorang ibu yang jeli melihat masyarakat
perantau yang masih seiman. Di tangan dialah, orang-orang mulai disadarkan
untuk hidup berkelompok, bukan untuk mengalienasi diri dari “panggung” masyarakat tetapi semakin
mempererat hubungan sebagai pengikut Kristus sekaligus memberi kesaksian
tentang-Nya.
Komunitas
iman ini semakin hari mengalami
pertumbuhan yang pesat, mirip kehidupan umat perdana. “Adapun kumpulan orang
yang telah percaya itu, mereka sehati sejiwa, dan tidak seorang pun yang
berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala
sesuatu dari kepunyaannya adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4 :32). Dalam kehidupan
beriman tentunya mereka tidak mempersoalkan
suku dan asal, seolah-olah
melepaskan identitas primordial untuk merasa memiliki Kristus. Dengan
menghampakan diri dihadapan-Nya maka gema kekeluargaan dan roh kebersamaan menjadi perekat yang menyatukan.
Di
tempat inilah umat perantau berhenti sejenak untuk berkumpul sambil membangun
simpul-simpul kehidupan iman. Komunitas beriman yang singgah sebentar di Maria Mediatrix bukanlah suatu kebetulan.
Bagi manusia, awal munculnya Gereja ini
adalah suatu kebetulan tetapi bagi Allah tidak ada yang kebetulan. Seperti
Bunda Maria yang selalu membuka diri dan
menerima tawaran Allah, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah pada-Ku menurut perkataan-Mu.” Maria dalam
sepanjang sejarah hidupnya selalu membuka diri pada keselamatan manusia.
Tanggapan terhadap tawaran Allah ini
jauh di luar dugaan dan apa yang akan terjadi nanti terhadap dirinya, tidak
diketahui secara pasti.
Kurang
lebih 4 tahun lamanya umat yang sebelumnya terpencar di Kota Bumi melaksanakan
seluruh aktivitas religius di tempat yang dipinjamkan oleh developer. Tempat
yang dipinjamkan ini memiliki nilai sejarah yang unik. Seperti Yesus yang
meninggal dan dikuburkan pada kubur batu pinjaman, demikian umat perantau
memanjatkan doa dan ekaristi di aula yang tidak lain adalah pinjaman juga. Dari
kubur batu pinjaman, tempat jenazah Yesus disemayamkan, Allah membangkitkan-Nya dari alam maut. Dunia digemparkan dengan peristiwa
menghebohkan, kebangkitan Yesus dari alam
maut. Dari aula pinjaman ini pula, Allah yang sama membangkitkan iman
umat dan menengadahkan diri untuk menatap masa depan yang lebih pasti. Yesus
yang telah bangkit dari alam maut, membangkitkan pula
semangat iman umat yang tengah berziarah.
Keberadaan
lingkungan ini tidak terlepas dari
Paroki Santa Maria Tangerang. Jumlah umat yang minim ini tidak lalu diabaikan
oleh pihak paroki terutama perhatian pastor paroki. Romo Bin yang saat itu
menjabat sebagai pastor paroki, memberikan respons positif terhadap seluruh
aktivitas yang dilakukan oleh lingkungan yang tergolong masih sepi ini. Sebulan sekali pastor paroki
mempersembahkan ekaristi bagi umat di
lingkungan Bernadus. Sebenarnya misa bulanan ini dilakukan sebagai usaha untuk
meredam pengeluaran biaya transportasi bagi umat yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah karena sebelumnya, umat di
lingkungan Bernadus harus mengeluarkan biaya transportasi apabila mau ke Gereja
Santa Maria. Dengan misa bulanan ini
maka terjadi penghematan secara ekonomis
namun menambah kekayaan dari sisi rohani.
Misa
bulanan ini dilakukan di aula milik developer yang waktu itu dijadikan sebagai
tempat belajar dan bermain bagi TK Maria Mediatrix. Karena perkembangan umat
semakin hari semakin bertambah maka tahun 1993, pelayanan ekaristi dilaksanakan
di sekolah Maria Mediatrix dengan menempati beberapa ruangan. Apakah komunitas
iman yang telah sekian tahun dibentuk dengan pengorbanan berhenti di Maria
Mediatrix? Bunda Maria hanyalah pengantara yang mengantarkan umatnya pada Bapa
melalui Puteranya Yesus Kristus. Bunda Maria terus memberikan pendampingan
kepada anak-anaknya yang setia memangku kerinduan dan berharap untuk suatu saat
memadahkan nama Tuhan di tempat yang layak.
Semua umat yang
telah terbentuk dalam paguyuban iman, mungkin bertanya-tanya dalam hatinya. Ke
mana arah gerak perjalanan Gereja yang sudah dimulai ini? Pertanyaan ini wajar
terkuak di permukaan hidup karena merujuk pada keberadaan sebuah Gereja yang
mau tidak mau harus memiliki sarana yang baik, terutama gedung gereja yang bisa
dijadikan sebagai pusat kegiatan religius dan pertemuan antarumat yang seiman.
Apa yang menjadi kerinduan
besar umat yang mau memiliki sebuah gedung, nyatanya
sedang digeluti oleh sang gembala. Romo Bin sebagai gembala begitu jeli melihat
apa yang menjadi kerinduan besar dari hati domba-dombanya. Romo Binzler
berperan seperti Musa yang mengembalakan umat Israel keluar dari Mesir melewati
Laut Merah dan mengembara di padang gurun selama 40 tahun sebelum mencapai
Kanaan, tanah terjanji. Sebagai Israel baru, umat di wilayah Bernadus dihantar
oleh Romo Binzler, melewati “jalan raya” menuju ke Gedung Serba Guna untuk mengembara dalam
proses pematangan iman.*** (Valery Kopong) Bagian kedua
0 komentar:
Post a Comment